Thursday, June 27, 2013

China Setuju Renegosiasi Kontrak LNG Tangguh

MigasReview, Jakarta  –  Pemerintah China menyetujui usulan Indonesia untuk merenegosiasi kontrak harga gas dari Kilang LNG Tangguh, Papua Barat, ke Fujian.
Kesepakatan itu merupakan hasil pertemuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDMJero Wacik dengan Chairman of the Board of Director CNOOC Wang Yilin di Kementerian ESDM, Jumat (10/5).
Seperti dilansir situs Ditjen MigasJero mengatakan, Pemerintah Indonesia telah membentuk tim untuk melakukan renegosiasi tersebut dan paling lambat pada akhir tahun ini persetujuan harga baru sudah dapat ditandatangani.
Menurut Jero, harga ekspor gas ke Fujian sebesar US$ 3,5 per MMBTU sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini mengingat harga ekspor gas adalah rata-rata US$ 16 per MMBTU dan harga jual ke domestik sebesar US$ 10 per MMBTU.
LNG yang dijual ke Fujian berasal dari Blok Tangguh yang dikelola perusahaan asal Inggris BP Berau. Perjanjian penjualan ditandatangani Pemerintah Indonesia pada zaman Presiden Megawati Soekarnoputri.
Pembeli di Fujian adalah China National Offshore Oil Corporation (CNOOC). Volume kontrak ekspor LNG sebesar 2,6 juta ton per tahun itu mengunakan formula batas atas harga minyak sesuai patokan harga minyak Jepang (Japan Cocktail Crude/JCC). (cd)
migasreview.com

Kurtubi Desak Segera Batalkan Kontrak Ekspor Gas


Stok gas yang semula direncanakan diekspor ke Amerika, harus segera dibatalkan dan dialihkan untuk mencukupi kebutuhan gas di dalam negeri, terutama untuk industri.

Pemerintah juga harus membatalkan penjualan gas murah ke China. Hal itu ditegaskan Pengamat Perminyakan Kurtubi ketika dihubungi, Minggu (4/11).

Agar kebutuhan gas dalam negeri terpenuhi, caranya adalah mengalihkan ekspor yang tadinya direncanakan ke Amerika untuk tetap dalam negeri.

“Hari ini barangnya pun ada, lebih baik dialihkan ke Priok sana,” ujarnya.

Jika tidak ada langkah cepat untuk mencukupi kebutuhan gas dalam negeri, ia khawatir akan berdampak luas. Bagi industri, tidak pernah bisa berproduksi optimal dan tidak bisa menyerap tenaga kerja maksimal.

Sedangkan PLN kalau kekurangan pasokan gas, biaya listrik bisa melejit, tarif listrik dinaikkan, rakyat jadi korban.

“Padahal ini karena kelalaian pemerintah yang tidak mengalokasikan gas secara cukup.”
Untuk jangka panjang, ia menekankan perlunya dilakukan perubahan tata kelola gas. Sebab kondisi saat ini karena kesalahan tata kelola.

“Pengelolaan gas di BP Migas, ini bukan perusahaan minyak sehingga dia tidak bisa membangun pabrik LNG. Dia tidak bisa menjual sendiri gas milik negara, sehinga menyuruh orang lain.”

Akibatnya, gas yang dijual pihak yang ditunjuk BP Migas inilah, yang dijual dengan harga murah ke luar negeri.

Ditambah lagi, penjualan gas ini tidak memikirkan alokasi yang cukup untuk kebutuhan dalam negeri.

Bukan gas kita tidak ada, tapi karena tata kelola yang salah yang menyebabkan harga gas mahal, dan alokasi tidak cukup.

“Harus ada perubahan tata kelola, karena kalau tidak masalah ini akan berulang terus,” ujarnya.

Ia menyarankan agar BP Migas dibubarkan, dan fungsinya dikembalikan ke Pertamina. Agar Pertamina bisa membangun pabrik LNG tangguh sendiri.


Langkah ini harus dilakukan dengan mencabut UU Migas yang berlaku saat ini. (mediaindonesia.com)

SKK Migas Hentikan Kontrak Ekspor Gas
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Rudi Rubiandini


Oleh: Ranto Rajagukguk
ekonomi - Senin, 25 Maret 2013 | 16:30 WIB

INILAH.COM, Jakarta - SKK Migas mengklim kontrak ekspor gas tidak akan diperpanjang dengan tingginya kebutuhan gas bagi domestik.

"Saya pastikan kontrak perpanjangan ekspor gas tidak ada. Kecuali mungkin yang di Tangguh, kan masih berjalan. Untuk hal ini saja sebenarnya tidak mudah," kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Rudi Rubiandini di kantor Kementerian ESDM, Senin (25/3/2013).

Menurut Rudi, saat ini ekspor gas juga telah mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari peningkatan alokasi gas domestik selama delapan tahun terakhir. Setidaknya dari jangka waktu yang ada persentase peningkatan sebesar 250%.

Rudi menambahkan, akumulasi total alokasi gas bagi domestik sampai Februari 2013 sebesar 21,87 terra cubic feet (TCF). Jumlah ini didistribusikan untuk Pupuk sebesar 3,890 TCF, kelistrikan 7,648 TCF, dan industri 10,335 TCF. "Jadi tidak benar kalau kami ini tidak memperhatikan kebutuhan gas domestik seperti sektor industri bilang tidak memperhatikan," ujar dia.


Pada 2014, pemerintah akan meningkatkan pasokan untuk masing-masing bidang. Pupuk dari sebelumnya 3.890 TCF akan naik jadi 3.929 TCF, Kelistrikan sebelumnya 7.648 TCF di 2014 jadi 7.877 TCF, Industri sebelumnya memperoleh gas 10.335 TCF sedangkan di 2014 pasokannya sebanyak 10.748 TCF. "Tahun 2013 total pasokan gas 21,87 TCF, sedangkan 2014 ditargetkan 22,55 TCF," ujarnya. [hid]


Wednesday, June 26, 2013

Demografi, Peluang dan Tantangan

Belakangan ramai diberitakan tentang pertumbuhan kelas menengah1 Indonesia yang menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi saat ini.2 Berdasarkan data tersebut, Indonesia diproyeksikan akan mendapatkan bonus demografi, yaitu suatu keadaan dimana struktur penduduk didominasi oleh usia produktif antara 16-64 tahun dengan pengeluaran per kapita USD 2 – USD 20 per hari.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh BPS, jumlah usia produktif Indonesia meningkat dari 65% pada tahun 2000 menjadi 66,1% pada tahun 2010. Banyaknya usia produktif diharapkan mampu menjadi penggerak perekonomian, baik sebagai tenaga kerja berkualitas maupun pembuka lapangan kerja yang akan menyerap angkatan kerja. Jika peran ini mampu dilaksanakan, hal ini akan membantu pemerintah dalam mensubsidi penduduk dengan usia lanjut atau yang masih di bawah 16 tahun.

Gambar 1. Piramida Penduduk Indonesia

Peningkatan usia produktif ini disertai dengan meningkatnya pendapatan kelompok usia produktif tersebut. Tercatat, pada tahun 2003 hingga 2010 terjadi kenaikan pengeluaran per kapita kelas menengah Indonesia sebesar 18,8%. Hal ini seperti yang terlihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1. Peningkatan kelas menengah dalam populasi penduduk Indonesia(3)

Menurut studi Bank Dunia, kalangan kelas menengah ini terbagi empat kelas(7). 

  • Pertama, kelas menengah dengan pengeluaran harian US$2-4 (38,5 persen). 
  • Kedua, kelas menengah dengan pengeluaran harian US$4-6 (11,7 persen).
  • Ketiga, kelas menengah dengan pengeluaran harian US$6-10 (5 persen) serta
  • golongan menengah dengan pengeluaran harian US$10-20 (1,3 persen).

Pertumbuhan usia produktif yang menghasilkan kelas menengah Indonesia dengan pendapatan yang meningkat, telah memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang setiap tahun terus meningkat.4 Hal ini dikarenakan golongan masyarakat ini membutuhkan ketersediaan konsumsi yang besar.

Situasi perekonomian yang kian membaik disertai pertumbuhan penduduk dengan tingkat pendapatan yang meningkat. Apabila peluang bonus demografi dapat dipertahankan dan dimanfaatkan, boleh jadi cita-cita menuju negara maju akan tercapai.

Bonus demografi tidak hanya memberikan peluang, namun juga tantangan. Jika tidak mampu memanfaatkan peluang ini, Indonesia akan mengalami jebakan kelas menengah (Middle income trap), yaitu stagnansi atau bahkan kemunduran dari kelas menengah menjadi kelas bawah. Filipina dan beberapa negara di Amerika Latin adalah contoh negara yang masuk dalam jebakan kelas menengah. Sebab negara-negara tersebut tidak mampu memperbaiki kualitas sumber daya manusianya sehingga tidak mampu menciptakan produk-produk inovatif yang berdaya saing untuk industrinya.5

Kualitas sumber daya manusia setidaknya bisa dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh United Nation Development Program (UNDP), skor IPM Indonesia telah mengalami peningkatan dari tahun 2000 hingga 2011. Tapi skor IPM Indonesia ini masih tertinggal jika dibandingkan dengan Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura.

Jalan panjang menuju kesejahteraan seluruh masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi telah terbuka lebar di depan mata. Dalam hal ini, sinergitas seluruh elemen bangsa tentu saja diperlukan untuk mewujudkannya. (NI)


Sumber:
1. Ada beberapa definisi tentang kelas menengah. Salah satunya adalah definisi yang diberikan oleh World Bank, yang melihat kelas menengah bedasarkan usia dan tingkat pengeluaran, yaitu masyarakat yang memiliki tingkat pengeluaran harian per-kapita sebesar USD 2 – USD 20 berdasarkan purchasing power parity (PPP) absolut tahun 2005.

2. Lihat http://www.apindo.or.id/index.php/berita-a-artikel/news/927-pertumbuhan-kelas-menengah-dongkrak-ekonomi-ri-

3. Hasil Susenas dan Penghitungan staf World Bank dalam Aviliani, dkk. 2011. Demographic Bonus dan Pertumbuhan Kelas Menengah.

4. Bank Indonesia. 2011. Analisis Sensitivitas Konsumsi Rumah Tangga terhadap PDB dan Pengaruh Inflasi terhadap Pola Konsumsi.

5. http://www.tempo.co/read/news/2012/09/13/090429281/Indonesia-Diminta-Waspada-Jebakan-Kelas-Menengah

6. Bank Indonesia. 2011. Informasi Kependudukan Indonesia

7. http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/229748-bank-dunia--asing-incar-kelas-menengah-ri


Saturday, June 22, 2013

Daftar Subsidi di Amerika Serikat

Definition of Farm, Oil and Other Government Subsidies

Each year, the U.S. Federal government subsidizes a wide range of economic activities it wants to promote. What exactly are subsidies? The definition may be broader than you think. Find out about the most well-known subsidies, the history of these subsidies, and some of their costs.

What Are Subsidies?

Subsidies are usually defined as money directly given by the government to businesses to encourage activities that it wishes to promote. The amount of the subsidy is often based on the amount of the goods or services provided. Subsidies can also be given by one level of government to another. This usually means Federal grants given to state or local governments, or even state grants given to municipal governments. (Source: Bureau of Economic Analysis, Subsidies)
The World Trade Organization (WTO) has a broader definition of subsidies. It considers a subsidy to be any financial benefit provided by a government that gives an unfair advantage to a specific industry, business or even individual. The WTO mentions five types of subsidies:
  1. Cash subsidies, such as the grants mentioned already.
  2. Tax concessions, such as exemptions, credits or deferrals.
  3. Assumption of risk, such as loan guarantees.
  4. Government procurement policies that give more than the free-market price.
  5. Stock purchases that keep the company's stock price higher than market levels.
These are all considered subsidies because they reduce the cost of doing business. (Source: World Trade Organization, World Trade Report 2006, "Defining Subsidies")

Farm Subsidies

Many experts argue that U.S. farms don't even need subsidies. After all, they are located in one of the world's most favorable geographic regions: rich soil, abundant rainfall, and access to rivers for irrigation when rainfall fails. In addition, today's farms have all the advantages of modern business: highly trained labor, computerized equipment, and cutting-edge chemical research in fertilizers and seeds.
However, America's food supply must also be protected from droughts,tornadoes, and recessions. In fact, agricultural subsidies were originally created to help farmers ravaged by the Dust Bowl and the Great Depression of 1929. This price support system lasted until the 1990s.
Basically, the Federal government guaranteed farmers a high enough price to remain profitable. How did it do this? It paid farmers to make sure supply did not exceed demand. First, the government subsidized farmers to idle crop lands to prevent over-production. Second, it bought excess crops, and either stored them or gave them away to feed low-income people throughout the world.
Most subsidies went to farmers of grains, such as corn, wheat and rice. That's because grains provide 80% of the world's caloric needs. By 1999, farm subsidies had reached a record $22 billion. (Source: U.S. State Department, American Agriculture: Its Changing Significance)
Between 2001-2006, farm subsidies tapered off a bit, averaging $19 billion a year. Of this, possibly 15% billion was wasteful, unnecessary or redundant. Between 1995-2010, farm subsidies had ballooned to $52 billion a year on average. Of this, more than 6% went toward four "junk food" components: corn syrup, high fructose corn syrup, corn starch and soy oils. Many people wondered why the Federal government was subsidizing food that contributed to America's obesity problem. (Source: Huffington Post, Billions in Farm Subsidies Benefit Underwrite Junk Food; Food Safety News, AG Subsidies Fund Junk Food, September 22, 2011)
During the recession, as lawmakers looked for ways to cut the budget, many asked "Do corn growers need subsidies?" In 2011, a record 14 billion bushels of corn was produced. In 2012, 94 million acres of corn were scheduled to be planted -- more than in any year since World War II. (Source: Washington Post, Harvesting Cash, December 2006)
As a result, the FY 2012 budget proposed a 22% cut to farm subsidies, including the $5 billion direct payment program. Half of farmers receiving subsidies made more than $100,000 a year. In fact, 74% of farm subsidies went to just 4% of the businesses. The House budget also proposed $180 billion in cuts to the farm subsidy program. However, $133 billion would come from the food stamp program, affecting 8 million consumers, not farmers. (Source: San Jose Mercury News, Subsidizing Big Ag, April 19, 2012)

Oil Subsidies

In March 2012, President Obama called for an end to $4 billion in oil industry subsidies. However, some estimates indicate that the real level of oil industry subsidies is higher, between $10-$40 billion. At the same time, oil company profits have benefited as oil prices reached a new record of $145 a barrel in 2008. (Source: Christian Science Monitor,Taxpayers Shouldn't Subsidize Oil Industry Profits, March 29, 2012)
Oil industry subsidies have a long history in the U.S. As early as World War I, the government stimulated oil and gas production to ensure a domestic supply. As recently as 1995, Congress established the Deepwater Royalty Waiver Program. It allowed oil companies to drill on Federal property without paying royalties. It encouraged this expensive form of oil extraction because oil was only $18 a barrel. The Treasury Department reported that the Federal Government has missed $50 billion of foregone revenue over the program's lifetime. It argued that this may no longer be needed now that deepwater extraction has become profitable. (Source: Energy Information Administration, Federal Energy Subsidies; LA Times Oil Companies Have a Rich History of Subsidies, May 25, 2010)
Here is an summary of 2011 oil industry subsidies compiled by Taxpayers for Common Sense in its report, Subsidy Gusher.
  • Volumetric Ethanol Excise Tax Credit - $31 billion.
  • Intangible Drilling Costs - $8.9 billion.
  • Oil and Gas Royalty Relief - $6.9 billion.
  • Percentage Depletion Allowance  - $4.327 billion.
  • Refinery Equipment Deductions - $2.3 billion.
  • Geological and Geophysical Costs Tax Credit - $698 million.
  • Natural Gas Distribution Lines - $500 million.
  • Ultradeepwater and Unconventional Natural Gas and other Petroleum Resources R&D - $230 million.
  • Passive Loss Exemption - $105 million.
  • Unconventional Fossil Technology Program - $100 million.
  • Other subsidies - $161 million.
Some organizations, such as Greenpeace, argue that oil industry subsidies should also include these additional activities:
  • The Strategic Petroleum Reserve.
  • Defense spending that involves military action in oil-rich countries in the Persian Gulf.
  • The construction of the U.S. Federal highway system, which encourages reliance on gas-driven cars.
However, the BEA argues that these Federal government activities were primarily done to protect national security, not promote specific activities within the oil industry. They may have benefited the industry indirectly, but the intent was not to directly subsidize it.

Ethanol Subsidies

Since 1979, the corn industry has received $20 billion in Federal subsidies, recently reaching $6 billion a year. The purpose was to divert production into ethanol, a component of gasoline. The subsidies were to help producers meet a 2005 Federal law that required 7.5 billion gallons of renewable fuel be produced by 2012. In 2007, a revision increased the goal to 36 billion gallons by 2022. Only 6.25 billion gallons were produced in 2011.
The corn subsidy, a tax credit of $.46 a gallon, ended in January 2012. However, ethanol producers would like to see a larger credit, of $1.10 per gallon, remain. This credit is to continue further research for cost-effective ways to convert other bio-fuels, like switch-grass, wood chips and non-food corn byproducts. (Source: MSNBC.com, Ethanol Subsidy Dies But Wait There's More, December 29, 2011; NPR, Congress End Era of Ethanol Subsidies, January 3, 2012;
Once the corn subsidy ended in 2012, ethanol producers were left with a bit of a glut. However, they expect demand to strengthen for three reasons:
  1. The glut resulted from gasoline refiners stocking up on subsidized ethanol before prices went up. The glut will be absorbed in time.
  2. Demand will increase during the U.S. summer driving season.
  3. Growing markets, such as Brazil, can't keep up with their own need for ethanol, and are looking to import it from the U.S. (Source: NPR,Ethanol Subsidy Loss, February 28, 2012)
Converting corn for fuel became highly controversial when it helpeddrive food prices higher in 2008, causing food riots throughout the world. However, part of the high price for corn and other commoditieswas because investors fled to the commodities markets in response to the global financial crisis of 2008.
Many exports argue that using corn for fuel is a poor allocation ofnatural resources when 60% of the world's population is malnourished. Furthermore, corn is not an efficient fuel source. Even if all the corn in the U.S. was converted to ethanol, it would only meet 4% of America's fuel consumption needs. (Source: Harvard International Review, Corn Ethanol as Energy, October 26, 2009)

Export Subsidies


Export subsidies are prohibited by the WTO. However, there are two U.S. Federal Government export subsidy programs to help U.S. farmers compete with other countries' subsidized exports. These programs are allowed by the WTO. The U.S. Department of Agriculture promotes:
  • The Export Credit Guarantee Programs provides commercial financing to enable the exports of U.S. farm products. Specifically, the USDA guarantees the credit of foreign buyers when they can't get credit approval locally.
  • The Dairy Export Incentive Program (DEIP) pays cash subsidies to dairy exporters to help them meet the subsidized prices of foreign dairy producers. (Source: USDA, Export Programs)

Housing Subsidies


Housing subsidies promote homeownership and support the homebuilder industry. They take two forms: interest rate subsidies and down-payment assistance. The primary interest rate subsidy is the mortgage interest deduction on the Federal income tax. There are also some smaller interest subsidies, such as tax exemptions on municipal bond interest used to subsidize mortgages for low-income families. They total about $15 billion a year. The Federal government also matches the amount low-income families save for a downpayment. This came to only $10.9 million in 2008. (Source: O. Emre Ergungor, Federal Reserve Bank of Cleveland, Homeowner Subsidies, February 23, 2011)
These direct homeowner subsidies paled in comparison to what the Federal government spent to support its FHA mortgage loan guarantee program. The real trouble started when it created two government-sponsored enterprises, Fannie Mae and Freddie Mac, to provide a secondary market to buy these mortgages from banks. When they bought too many subprime mortgages, the government spent $130 billion to bail out Fannie and Freddie, and eventually nationalize them. Was the bailout a subsidy? Yes, in a sense, because without it, there would have been no housing activity whatsoever after the subprime mortgage crisis. That's because Fannie, Freddie and the Federal Home Loan Guaranty Corporation were behind 90% of all home loans, effectively replacing the private sector's role in the home mortgage market in the U.S.

Other Subsidies


The U.S. Federal Government offers many more subsidies that it thinks will improve the economy. For example, the Cash for Clunkers program in 2009 was considered a subsidy to the auto dealer, according to the BEA. In this program, the dealer received a $3,500-$4,500 subsidy from the Federal government after discounting a new vehicle to a consumer who traded in an old car. The goal was to jumpstart the economy after the recession, and to encourage people to buy more fuel-efficient vehicles and lessen U.S. reliance on foreign oil. (Source: BEA FAQs, How Is the CARS Program Reflected in the National Income and Product Accounts (NIPAs)?(Article updated April 20, 2012)

Harga premium Rp 4.500/liter tahun 2013 hampir sama dgn zaman Soeharto ketika harga bensin dinaikan dari Rp700 ke Rp1200

Pergerakan Harga BBM Dari Zaman Presiden Soeharto Hingga Presiden SBY - Harga bahan bakar minyak / BBM bersubsidi resmi dinaikkan menjadi Rp 6.500 untuk premium dan Rp 5.500 untuk solar. Harga premium Rp 6.500 ini menjadi harga tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.

Berikut pergerakan harga BBM di 
Indonesia mulai zaman Presiden Soeharto hingga Presiden SBY:

Presiden Soeharto
1991: Rp 150 naik jadi Rp 550 per liter
1993: Rp 550 naik jadi Rp 700 per liter
1998: Rp 700 naik jadi Rp 1.200 per liter

Presiden BJ Habibie
1998: Rp 1.200 turun ke Rp 1.000 per liter

Presiden Abdurrahman Wahid
1999: Rp 1.000 turun jadi Rp 600 per liter
2000: Rp 600 naik ke Rp 1.150 per liter
2001: Rp 1.150 naik ke Rp 1.450 per liter

Presiden Megawati Soekarnoputri
2002: Rp 1.450 naik jadi Rp 1.550 per liter
2003: Rp 1.500 naik jadi Rp 1.810 per liter

Presiden SBY
2005: Rp 1.810 naik jadi Rp 2.400 per liter
2005: Rp 2.400 naik jadi Rp 4.500 per liter
2008: Rp 4.500 naik jadi Rp 6.000 per liter
2008: Rp 6.000 turun ke Rp 5.500 per liter
2008: Rp 5.500 turun ke Rp 5.000 per liter
2009: Rp 5.000 turun ke Rp 4.500 per liter
2013: Rp 4.500 naik ke Rp 6.500 per liter

Note:
Untuk membandingkan harga minyak pada tahun 1993 dimana dari Rp 700/liter dinaikan menjai Rp 1200/ liter maka setelah di-adjust dgn accumulated inflation dari thn 1993-2012 yg besarnya 227.39% maka harga 

  • Rp700/Liter tahun 1993 sebanding dgn  Rp 2.292/Liter tahun 2013
  • Rp 1200/Liter tahun 1993 sebanding dgn Rp 3.929/Liter tahun 2013
Jadi harga premium sebesar Rp 4.500/liter tahun 2013 masih lebih mahal sedikit drpd Rp 3.929/Liter atau dgn kata lain Harga premium Rp 4.500/liter tahun 2013 hampir sama dgn zaman Soeharto ketika harga bensin dinaikan dari Rp700 ke Rp1200.


Grafik Inflasi tahun 1993-2012 www.bps.go.id


Tabel inflasi dibawah juga bisa di-download dari BPS www.bps.go.id

Daftar Inflasi

Daftar Inflasi



Presiden SBY Menghilang Saat Pengumuman Kenaikan Harga BBM

Presiden SBY Menghilang Saat Pengumuman Kenaikan Harga BBM - Saat diumumkannya penaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada Jumat (21/6/2013) malam, banyak pihak yang bertanya kemana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?

Presiden SBY Menghilang Saat Pengumuman Kenaikan Harga BBM - Saat diumumkannya penaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada Jumat (21/6/2013) malam, banyak pihak yang bertanya kemana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?

Pengamat politik UI Boni Hargens mengaku tidak kaget dengan tidak adanya Presiden saat pengumuman penaikan tersebut. Apalagi, kebijakan ini diakui oleh pemeritah adalah kebijakan yang tidak populis.

"Ini kan presiden citra. Nggak ada yang aneh. Menteri-menteri akan disuruh jadi bamper, tameng," kata Boni kepada inilah.com, Sabtu (22/6/2013).

Boni mengatakan, kebijakan yang tidak pro rakyat ini jelas membuat SBY memilih tidak tampil. Bagi dia, ini adalah cara aman agar kritikan publik tidak hanya dialamatkan padanya.

"SBY tipe pemimpin cari aman. Dia tidak akan berani ambil risiko. Makanya pemerintahan SBY pun begitu-begitu saja," jelas Boni.

Karena terlalu safety atau mengambil aman, berpengaruh pada kebijakan yang diambil. Menurut Boni, jika pemimpin tidak berani berhadapan dengan rakyatnya seperti dalam penaikan harga ini, dia menilai bukan sebagai pemimpin sejati.

"Tidak ada yang spektakuler seperti janji politiknya. SBY safety player. Dia bukan pemimpin sejati yang berani memikul segala bentuk tanggungjawab yang merupakan konsekuensi dari keputusan politik," jelasnya.

Sebelumnya, seluruh Menteri hadir saat memberikan pengumuman penaikan harga BBM ini. Keputusan penaikan ini langsung dibacakan oleh Menteri ESDM Jero Wacik.

Seperti diberitakan sebelumnya, harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi resmi dinaikkan. Harga BBM bersubsidi yang baru, berlaku efektif Sabtu (22/6/2013). Harga BBM jenis premium menjadi Rp6.500 dan solar Rp5.500.

"Untuk premium Rp6.500. Untuk minyak solar Rp5.500. Harga tersebut berlaku serentak di seluruh wilayah RI terhitung sejak tanggal 22 juni 2013 pukul 00.00 WIB," jelas Jero Wacik, dalam keterangan pers di kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Jumat (21/6/2013) malam

ANEH, Anggota DPR Kok Tak Tahu Ada Anggaran Untuk Kasus Lapindo

Lumpur Lapido

Anggota DPR Kok Tak Tahu Ada Anggaran Untuk Kasus Lapindo - Kasus lumpur Lapindo yang terjadi sejak 2006 ternyata masih mendapat perhatian dalam rapat APBN Perubahan 2013 lalu.

Buktinya, dalam penanggulangan kerugian akibat kasus itu, ada ratusan miliar yang digelontorkan untuk kasus lumpur Lapindo.

Namun, ketika ditanya kepada salah satu anggota Komisi V DPR, Saleh Husin, ia mengaku terlambat mengetahui alokasi dana sebesar Rp. 155 miliar untuk penanggulangan kasus lumpur Lapindo.

Menurut Saleh, yang mengetahui secara pasti besarnya alokasi dana tersebut adalah Badan Anggaran (Banggar) DPR. Ia sendiri baru mengetahui ada alokasi anggaran ratusan miliar tersebut saat rapat paripurna pada Senin, 17 Juni 2013 lalu.

“Saya baru tahu itu ketika di ruang paripurna, salah satu teman menyampaikan, dan ternyata ada. Mungkin Banggar yang lebih tahu,” kata Saleh, Kamis, 20 Juni 2013 kepada sumber berita, Kompas.com.

Anggaran untuk kasus lumpur Lapindo sendiri sudah disahkan dalam rapat paripurna DPR Senin lalu. Penanggulangan kasus tersebut diatur dalam Pasal 9 UU APBN-P 2013 yang mengatur alokasi dana untuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) 2013 sebesar Rp 155 miliar. Sedangkan BPLS adalah merupakan salah satu mitra kerja dari Komisi V.

Selain anggota DPR, pimpinan DPR juga tidak mengetahui besaran alokasi dana untuk penanggulangan kasus lumpur Lapindo.

Dalam rapat paripurna awal pekan ini, agenda rapat adalah persetujuan RAPBN-P 2013 tentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Berdasarkan hasil voting, DPR RI menyetujui RAPBN-P sehingga dalam waktu dekat ini, harga BBM premium akan naik dari Rp. 4.500 menjadi Rp. 6.500 dan harga solar naik dari Rp. 4.500 menjadi Rp. 5.500. |

Wednesday, June 19, 2013

SBY BOHONG, pemerintah TIDAK PERNAH memberikan SUBSIDI BBM itu cuma AKAL-AKALAN

Oleh Kwik Kian Gie
Kita ikuti percakapan antara Djadjang dan Mamad. Djadjang (Dj) seorang anak jalanan yang logikanya kuat dan banyak baca. Mamad (M) seorang Doktor yang pandai menghafal.

Dj : “Mad, apa benar sih pemerintah mengeluarkan uang tunai yang lebih besar dari harga jualnya untuk setiap liter bensin premium ?”

M : “Benar, Presiden SBY pernah mengatakan bahwa semakin tinggi harga minyak mentah di pasar internasional, semakin besar uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengadakan bensin. Indopos tanggal 3 Juli 2008 mengutip SBY yang berbunyi : “Jika harga minyak USD 150 per barrel, subsidi BBM dan listrik yang harus ditanggung APBN Rp. 320 trilyun. Kalau USD 160, gila lagi. Kita akan keluarkan (subsidi) Rp. 254 trilyun hanya untuk BBM.”

Dj : “Jadi apa benar bahwa untuk mengadakan 1 liter bensin premium pemerintah mengeluarkan uang lebih dari Rp. 4.500 ? Kamu kan doktor Mad, tolong jelaskan perhitungannya bagaimana ?”

M : “Gampang sekali, dengarkan baik-baik. Untuk mempermudah perhitungan buat kamu yang bukan orang sekolahan, kita anggap saja

  • 1 USD = Rp. 10.000 dan
  • harga minyak mentah USD 80 per barrel.
  • Biaya untuk mengangkat minyak dari perut bumi (lifting) + biaya pengilangan (refining) + biaya transportasi rata-rata ke semua pompa bensin = USD 10 per barrel. 1 barrel = 159 liter.
  • Jadi agar minyak mentah dari perut bumi bisa dijual sebagai bensin premium per liternya dikeluarkan uang sebesar (USD 10 : 159) x Rp. 10.000 = Rp. 628,93 – kita bulatkan menjadi Rp. 630 per liter.
  • Harga minyak mentah USD 80 per barrel. Kalau dijadikan satu liter dalam rupiah, hitungannya adalah : (80 x 10.000) : 159 = Rp. 5.031,45. Kita bulatkan menjadi Rp. 5.000.
  • Maka jumlah seluruhnya kan Rp. 5.000 ditambah Rp. 630 = Rp. 5.630 ?
  • Dijual Rp. 4.500. Jadi rugi sebesar Rp. 1.130 per liter (Rp. 5.630 – Rp. 4.500).
  • Kerugian ini yang harus ditutup oleh pemerintah dengan uang tunai, dan dinamakan subsidi”.

Dj : “Hitung-hitunganmu aku ngerti, karena pernah diajari ketika di SD dan diulang-ulang terus di SMP dan SMA. Tapi yang aku tak paham mengapa kau menghargai minyak mentah yang milik kita sendiri dengan harga minyak yang ditentukan oleh orang lain ?”

M : “Lalu, harus dihargai dengan harga berapa ?”

Dj : Sekarang ini, minyak mentahnya kan sudah dihargai dengan harga jual dikurangi dengan harga pokok tunai ? Hitungannya Rp. 4.500 – Rp. 630 = Rp. 3.870 per liter ? Kenapa pemerintah dan kamu tidak terima ? Kenapa harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga yang Rp. 5.000 ?”

M :” Kan tadi sudah dijelaskan bahwa harga minyak mentah di pasar dunia USD 80 per barrel. Kalau dijadikan rupiah dengan kurs 1 USD = Rp. 10.000 jatuhnya kan Rp. 5.000 (setelah dibulatkan ke bawah)”.

Dj : “Kenapa kok harga minyak mentahnya mesti dihargai dengan harga di pasar dunia ?”

M : “Karena undang-undangnya mengatakan demikian. Baca UU no. 22 tahun 2001 pasal 28 ayat 2. Bunyinya : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.” Nah, persaingan usaha dalam bentuk permintaan dan penawaran yang dicatat dan dipadukan dengan rapi di mana lagi kalau tidak di New York Mercantile Exchange atau disingkat NYMEX ? Jadi harga yang ditentukan di sanalah yang harus dipakai untuk harga minyak mentah dalam menghitung harga pokok”.

Dj : “Paham Mad. Tapi itu akal-akalannya korporat asing yang ikut membuat Undang-Undang no. 22 tahun 2001 tersebut. Mengapa bangsa Idonesia yang mempunyai minyak di bawah perut buminya diharuskan membayar harga yang ditentukan oleh NYMEX ? Itulah sebabnya Mahkamah Konstitusi menyatakannya bertentangan dengan konstitusi kita. Putusannya bernomor 002/PUU-I/2003 yang berbunyi : “Pasal 28 ayat (2) yang berbunyi : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.”

M : “Kan sudah disikapi dengan sebuah Peraturan Pemerintah (PP) ?”

Dj : Memang, tapi PP-nya yang nomor 36 tahun 2004, pasal 27 ayat (1) masih berbunyi : “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, keuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, DISERAHKAN PADA MEKANISME PERSAINGAN USAHA YANG WAJAR, SEHAT DAN TRANSPARAN”. Maka sampai sekarang istilah “subsidi” masih dipakai terus, karena yang diacu adalah harga yang ditentukan oleh NYMEX”

M : “Jadi kalau begitu kebijakan yang dinamakan “menghapus subsidi” itu bertentangan dengan UUD kita ?”

Dj : “Betul. Apalagi masih saja dikatakan bahwa subsidi sama dengan uang tunai yang dikeluarkan. Ini bukan hanya melanggar konstitusi, tetapi menyesatkan. Uang tunai yang dikeluarkan untuk minyak mentah tidak ada, karena milik bangsa Indonesia yang terdapat di bawah perut bumi wilayah Republik Indonesia. Menurut saya jiwa UU no. 22/2001 memaksa bangsa Indonesia terbiasa membayar bensin dengan harga internasional. Kalau sudah begitu, perusahaan asing bisa buka pompa bensin dan dapat untung dari konsumen bensin Indonesia. Maka kita sudah mulai melihat Shell, Petronas, Chevron”.

M : “Kembali pada harga, kalau tidak ditentukan oleh NYMEX apakah mesti gratis, sehingga yang harus diganti oleh konsumen hanya biaya-biaya tunainya saja yang Rp. 630 per liternya ?”

Dj : “Tidak. Tidak pernah pemerintah memberlakukan itu dan penyusun pasal 33 UUD kita juga tidak pernah berpikir begitu. Sebelum terbitnya UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas, pemerintah menentukan harga atas dasar kepatutan, daya beli masyarakat dan nilai strategisnya. Sikap dan kebijakan seperti ini yang dianggap sebagai perwujudan dari pasal 33 UUD 1945 yang antara lain berbunyi : ”Barang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

Dengan harga Rp. 2.700 untuk premium, harga minyak mentahnya kan tidak dihargai nol, tetapi Rp. 2.070 per liter (Rp. 2.700 – Rp. 630). Tapi pemerintah tidak terima. Harus disamakan dengan harga NYMEX yang ketika itu USD 60, atau sama dengan Rp. 600.000 per barrel-nya atau Rp. 3.774 (Rp. 600.000 : 159) per liternya. Maka ditambah dengan biaya-biaya tunai sebesar Rp. 630 menjadi Rp. 4.404 yang lantas dibulatkan menjadi Rp. 4.500.

Karena sekarang harga sudah naik lagi menjadi USD 80 per barrel pemerintah tidak terima lagi, karena maunya yang menentukan harga adalah NYMEX, bukan bangsa sendiri. Dalam benaknya, pemerintah maunya dinaikkan sampai ekivalen dengan harga minyak mentah USD 80 per barrel, sehingga harga bensin premium menjadi sekitar Rp. 5.660, yaitu: Harga minyak mentah : USD 80 x 10.000 = Rp. 800.000 per barrel. Per liternya Rp. 800.000 : 159 = Rp. 5.031, ditambah dengan biaya-biaya tunai sebesar Rp. 630 = Rp. 5.660 Karena tidak berani, konsumen dipaksa membeli Pertamax yang komponen harga minyak mentahnya sudah sama dengan NYMEX”.

M : “Kalau begitu pemerintah kan kelebihan uang tunai banyak sekali, dikurangi dengan yang harus dipakai untuk mengimpor, karena konsumsi sudah lebih besar dibandingkan dengan produksi”.


Dj : “Memang, tapi rasanya toh masih kelebihan uang tunai yang tidak jelas ke mana perginya. Kaulah Mad yang harus meneliti supaya diangkat menjadi Profesor.”