Friday, November 22, 2013

Ketahanan Pangan, Belanda Siap Transfer Teknologi Pertanian untuk Indonesia

JAKARTA – Kerja sama Belanda dan Indonesia dalam bidang pertanian sangat strategis dalam mendukung ketahanan pangan dunia.
“Kerja sama pertanian Belanda dan Indonesia sangat menguntungkan dan punya nilai besar bagi kedua negara untuk mendukung ketahanan pangan. Apalagi, jika dikaitkan dengan food security yang kini menjadi perhatian semua negara, kerja sama ini perlu ditingkatkan,” ujar Sharon Dijksma, Menteri Pertanian Belanda, saat berkunjung ke pabrik benih hortikultura PT East West Seed Indonesia, produsen benih cap Panah Merah, di Purwakarta, Jumat (22/11).
Dia menjelaskan kerja sama Belanda-Indonesia dalam bidang pertanian sungguh strategis dan penting untuk mendukung program food security global.
Kemitraan Indonesia, ujar Dijksma, bisa menghasilkan produk pertanian yang ‘dahsyat’ guna mencukupi kebutuhan pangan kedua negara ataupun dunia.
“Indonesia negara yang indah dan punya lahan yang subur, sedangkan Belanda punya keunggulan teknologi. Jika digabungkan teknologi berkualitas tinggi milik Belanda keunggulan Indonesia sebagai green country akan menghasilkan produk pangan bermutu tinggi,” ungkapnya.
Jika dikaitkan dengan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia dan sejumlah negara lainnya, sambungnya, produk pangan yang bermutu menjadi kebutuhan. Kelas menengah membutuhkan produk pangan yang berkualitas dan sesuai dengan standar kesehatan dan keamanan pangan.
Menurut Dijksma, keberadaan PT East West Seed Indonesia (Ewindo) menjadi contoh konkrit sinergi teknologi benih dari Belanda dan keunggulan Indonesia sebagai green country.
“Sangat penting untuk meningkatkan produksi tanaman pangan untuk mendukung food security. Belanda dan Indonesia juga sudah menandatangani MoU untuk bidang peternakan dan perikanan,” ujar Dijksma.
Glenn Pardede, Managing Director Ewindo, mengatakan kunjungan dari Menteri Pertanian, pejabat tinggi, dan pengusaha ke pabrik Ewindo sangat penting dan menunjukan apresiasi serta dukungan atas upaya yang dilakukan oleh sektor swasta dalam memajukan industri hortikultura nasional, khususnya bidang perbenihan.
Dia menjelaskan Ewindo telah menghasilkan sekitar 150 varietas unggul sayuran tropis lokal di antaranya tomat, cabai, timun, kacang panjang, terong, dan semangka.
Dalam menghasilkan beragam benih unggul sayuran itu, sambungnya, Ewindo menggandeng sekitar 7.000 petani produksi benih dan lebih dari 35.000 tenaga polinator yang bekerja pada petani produksi.
“Ewindo juga membina sekitar 10 juta petani komersial yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia,” ungkap Glenn.

Peneliti Bahas Isu Ketahanan Pangan

Jakarta (Metrobali.com)-
Peneliti bidang pangan se-Asia berkumpul di Bali dalam simposium internasional The 5th Head of Research Councils in Asia (ASIAHORCs), membahas solusi untuk menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkontribusi terhadap ketersediaan pangan di Asia.


Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Lukman Hakim di Jakarta, Sabtu (23/11), mengatakan negara-negara Asia mengalami perkembangan ekonomi yang pesat dan pertumbuhan pendapatan yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Pertumbuhan pendapatan yang tinggi di banyak negara Asia, katanya, mendorong pergeseran konsumsi makanan ke arah yang lebih sehat sehingga diprediksi kebutuhan makanan sehat akan meningkat tajam dan mengancam ketahanan pangan.
Penduduk negara-negara berkembang di Asia diperkirakan meningkat 3,6 hingga 4,5 miliar jiwa sejak 2010 hingga 2050.
Ia mengemukakan pertumbuhan penduduk itu tentu mengakibatkan permintaan yang tinggi terhadap kebutuhan pangan, begitu pula kualitasnya harus lebih meningkat.
Lukman mengatakan harga pangan di berbagai negara juga mengalami peningkatan yang pesat.
Misalnya, katanya, harga beras domestik di China, Indonesia, Bangladesh, dan Vietnam telah naik pada kisaran 13-46 persen antara Juni 2010 hingga Mei 2011.
Kecenderungan peningkatan tersebut dipengaruhi oleh kenaikan harga energi, ekspansi energi alternatif biofuel yang menjadikan bahan pangan sebagai sumber bahannya, dan kebijakan perdagangan.
Harga pangan yang tinggi, katanya, memacu tingkat kelaparan masih tinggi di sejumlah negara Asia.
Ia mengatakan The 2012 Global Hunger Index (GHI) mencatat bahwa proporsi gizi, ancaman gizi buruk anak, dan tingkat kematian anak pada 13 negara di Asia (Timor Leste, Bangladesh, India, Nepal, Laos, Pakistan, Kamboja, Korea Utara, Sri Lanka, Filipina, Indonesia, Mongolia, dan Vietnam) masih mengkhawatirkan.
Negara-negara tersebut perlu melakukan terobosan untuk mengatasi permasalahan yang ada khususnya soal kebutuhan pangan.
“Mereka harus melakukan terobosan inovatif melalui eksplorasi sumber daya alam untuk alternatif makanan, melakukan praktik pertanian yang berkelanjutan, penerapan teknologi bioprocessing makanan dan rekayasa pangan,” ujar Lukman.
Ia mengatakan teknologi akan mampu menaikkan produksi pangan yang berkualitas untuk mencukupi kebutuhan pangan dan menjaga stabilitasnya.
Pada simposium internasional The 5th ASIAHORCs, ia mengatakan para peneliti dari berbagai negara di Asia akan berkumpul membahas berbagai solusi untuk menciptakan iptek yang berkontribusi bagi pangan.
Para pimpinan lembaga penelitian dari sejumlah negara Asia akan membahas sistem inovasi nasional di masing-masing negaranya.
Kepala Biro Kerja Sama dan Pemasyarakatan Iptek (BKPI) LIPI Dr. Bogie Soedjatmiko Eko Tjahjono mengatakan ada lima bidang yang menjadi bahasan dalam simposium tersebut.
Bidang tersebut, antara lain bioresources untuk pangan, functional food, teknologi bioprocessing untuk pangan, rekayasa pangan, dan kebijakan iptek bidang pangan yang menjembatani antara kepentingan politik dan investasi.
Pertemuan dan simposium akan digelar di Bali pada 26-28 November 2013, dan akan dihadiri oleh ilmuwan, akademisi, praktisi dan pengambil kebijakan dari negara-negara anggota ASIAHORCs, yakni China, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Pertemuan para pimpinan lembaga penelitian dan pendanaan membahas sistem inovasi di masing-masing negara, ujar dia. AN-MB

Kedaulatan Pangan kunci Keamanan Nasional

JAKARTA – Sektor pangan saat ini dinilai sebagai kunci dari national security atau keamanan nasional. Oleh karena itu, setiap negara akan memprioritaskan kekuatan pangan masing-masing guna menjamin keamanan negara mereka. Bagi Indonesia pun, sebagai negara berpenduduk keempat terbesar dunia, masalah pangan sangat berpengaruh bagi national security, dan kebutuhannya kian meningkat setiap tahun. 

Untuk itu, pemerintah perlu segera mewujudkan kemandirian pangan dengan sumber dari dalam negeri sendiri. Jangan menunggu bencana kelaparan pangan ketika negara eksportir enggan menjual pangan ke negara lain karena mendahulukan kepentingan negara masing-masing. Pengamat pertanian Khudori mengatakan pangan merupakan bagian dari keamanan nasional yang sangat strategis, bahkan melebihi kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista) yang canggih sekalipun. Melalui kemandirian pangan, ketahanan nasional bakal terwujud sehingga menjamin keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

"Sudah seharusnya pemerintah lebih serius mewujudkan kemandirian pangan, misalnya membantu meringankan kinerja petani. Petani bisa dibantu dengan memberikan kemudahan memeroleh modal kerja atau perbaikan infrastruktur lahan pertanian,’’ papar Khudori ketika dihubungi, Senin (4/11). 

Ia menilai pemerintah Indonesia hingga saat ini terlihat belum serius mewujudkan program kemandirian pangan. Belum terlihat kemauan nyata dari pemerintah Indonesia untuk membantu pertanian Indonesia sehingga bisa keluar dari ketergantungan pangan impor yang membebani. Indonesia saat ini mengalami defi sit pada hampir semua komoditas pangan seperti beras, gandum, jagung, dan gula, sehingga masih bergantung pada impor. Akibatnya, impor pangan menghabiskan devisa hingga 12 miliar dollar AS per tahun. Padahal, menurut Khudori, dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk mendukung pengembangan petani dan industri Indonesia. 

"Yang terjadi selama belasan tahun kita justru mendukung petani negara-negara eksportir pangan dunia." Sebelumnya, Wakil Dekan FEB-UGM, M Edhie Purnawan, menegaskan persaingan dunia di sektor pertanian adalah persaingan terhadap kedaulatan perekonomian sebuah bangsa. Tidak bisa dimungkiri bahwa selama ini negara-negara di dunia sedemikian protektif terhadap sektor dan industri manufaktur di bidang pertanian. 

Bahkan negara-negara maju sekalipun, mereka sangat sensitif ketika memperjuangkan farmer dan rancher mereka. "Bagi Indonesia, perjuangan di sektor pertanian terihat kurang hebat. Perjuangan di sektor ini sangat mendesak karena sektor ini menguasai penghidupan banyak sekali rumah tangga Indonesia," jelas Edhie. 

Berdasarkan kepentingan strategik dan kedaulatan Indonesia, lanjut dia, pemerintah tidak perlu ragu memproteksi sektor pertanian dan industri manufaktur di sektor pertanian dalam satu sistem rantai agribisnis. Jaminan Harga Menurut Edhie, tanpa keberpihakan pemerintah, mustahil sektor pertanian Indonesia mampu berdaulat di negeri sendiri karena kalah bersaing dengan petani dari negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), yang diproteksi ketat dan disubsidi sangat besar oleh pemerintahnya. 

"Karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk bersatu padu, mendukung sektor pertanian dengan proteksi yang inovatif, negosiasi dalam percaturan pertanian dunia yang cemerlang, serta memacu produktivitas dengan berbagai cara," imbuh Edhie. Salah satu bentuk proteksi adalah menerapkan tarif impor tinggi guna melindungi kepentingan petani dalam negeri. 

Akan tetapi, saat ini tarif impor produk pangan Indonesia terbilang sangat rendah, berkisar 5 persen. Padahal, negara raksasa seperti AS memberikan jaminan harga pangan kepada petaninya, seperti gula, lebih dari 60 persen dari harga dunia. Apabila petani AS diproteksi ketat pemerintahnya, kata Khudori, saat ini sebagian besar petani di tanah air mendapat diskriminasi dari perbankan. Alasannya, para petani umumnya tidak memiliki jaminan sertifi kasi maupun asuransi guna memenuhi persyaratan menerima kredit modal dari bank. mza/WP

koran-jakarta.com

Krisis Kedaulatan Pangan Indonesia adalah karena PEMERINTAH KECANDUAN IMPOR

JAKARTA – Ancaman krisis kedaulatan pangan Indonesia dinilai sudah berlangsung sejak lama, bahkan kini kian menguat. 

Penyebabnya, Pemerintah Indonesia yang sebenarnya memiliki potensi produk pangan melimpah lebih memilih jalan pintas atau jangka pendek dengan mengimpor segala jenis pangan dari negara lain.

Padahal, seperti dikabarkan, kebergantungan yang tinggi pada produk impor akan mengancam kedaulatan pangan yang menjadi kunci keamanan nasional. Untuk itu, pemerintah perlu segera menggeser orientasi kebijakan pangan menuju ke kedaulatan pangan.

Demikian rangkuman wawancara dengan Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta, M Maksum Machfoedz, dan pengamat pertanian dari Fakultas Pertanian dan Peternakan Undip, Semarang, Anang Legowo. Keduanya dihubungi Koran Jakarta secara terpisah, Rabu (6/11).

Maksum menilai defisit pangan yang melanda Indonesia disebabkan ketidakjelasan arah pengembangan sistem pangan nasional yang selama ini hanya membesar-besarkan romantisme pangan murah. 

"Pangan harus murah, semurah-murahnya dengan dalih daya beli terbatas. Senjatanya importasi. Karena hobi mengimpor, maka makin bergantung sehingga menjadi ketahanan pangan berbasis impor. Maka, musnahlah kedaulatan pangan kita," ujar dia.

Dari situlah, lanjut Maksum, dampaknya lantas meluas ke berbagai bidang. Jika soal pangan saja tidak berdaulat, bisa dipastikan perekonomian juga tanpa kedaulatan. "Jika demikian, kekuatan merdeka dan kedaulatan apa yang kita punya dalam pergaulan dunia."

Anang Legowo mengungkapkan potensi krisis kedaulatan pangan dan kemandirian pangan di Indonesia menjadi kian kuat akibat pemerintah tidak bersinergi untuk memperkuat potensi sumber daya dalam negeri, namun memilih jangka pendek dengan mengimpor bahan pangan.

Seperti diketahui, Indonesia saat ini mengalami defisit pada hampir semua komoditas pangan, seperti beras, gandum, jagung, dan gula, sehingga masih bergantung pada produk impor. Akibatnya, impor pangan menghabiskan devisa hingga 12 miliar dollar AS per tahun.

Padahal, dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk mendukung pengembangan petani dan industri Indonesia. Akan tetapi, selama belasan tahun, Indonesia justru mendukung petani negara-negara eksportir pangan dunia.

Menurut Anang, Indonesia telah masuk "jebakan pangan", artinya telah bergantung pada impor secara terus-menerus dan tidak memiliki upaya melepaskan diri dari perangkap importansi itu. Seharusnya impor boleh dilakukan, namun sifatnya sementara, tidak terus-menerus.

Perubahan Mendasar

Sebelumnya, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Ahmad Yakub, mengungkapkan Indonesia kini menghadapi ancaman serius soal kedaulatan pangan karena pemerintah tidak serius mewujudkan kemandirian pangan yang berasal dari sumber dalam negeri. 

Bahkan, jika tidak segera melakukan perubahan mendasar pada semua parameter yang dipersyaratkan untuk menjadi negara berdaulat pangan, sektor pangan nasional dipastikan akan ambruk.

Menurut Maksum, solusi untuk mengatasi hal itu adalah menggeser orientasi kebijakan pangan menuju ke kedaulatan pangan seperti amanat UU No 18/2012 tentang Pangan. Ini adalah panduan legal, bukan hanya untuk pemerintahan sekarang, tetapi juga bagi pemerintah mendatang. 

Pengelola negara jangan menunggu krisis pangan dan bencana kelaparan benar-benar terjadi ketika negara eksportir enggan menjual pangan ke negara lain karena mendahulukan kepentingan negara masing-masing. 

Apalagi, dalam satu dasawarsa terakhir, tren harga pangan global terus menguat sehingga untuk urusan perut, devisa negara harus terkuras lebih dalam (lihat infografis).

"Masalahnya, pemerintah sekarang tidak tegas, tidak mampu, dan atau tidak mau mengendalikan komprador dalam importasi untuk tidak menyebutnya kongkalikong dalam kartel," ujar Maksum. 

Dia mengungkapkan pemerintah mengaku swasembada pangan, tetapi kebanjiran komoditas impor dan tidak berani menghentikan. Pemerintah menyatakan surplus beras, namun impor jalan terus. 
"Katanya impor sapi banyak, kok harga masih tinggi. Katanya ada ratusan plasma nutfah kedelai, tetapi tetap impor. Katanya panjang pantai 96.000 km (kilometer), kok garamnya dijajah impor."

Maksum berpendapat hal itu semua bisa terjadi karena pemerintah sekarang sudah dikebiri komprador. Pemerintah, menurut dia, kalah dengan importir pangan karena memiliki hobi yang sama, yakni lebih menyukai impor ketimbang memberdayakan petani. 

Dia menegaskan pemerintah harus mengubah paradigma bahwa swasembada pangan seharusnya dimaknai sebagai pengambilalihan pangsa pasar impor oleh produksi domestik karena kualitas produk dan daya saingnya. Ukurannya adalah keswasembadaan yang artinya penurunan nilai impor. 

Untuk itu, kata Maksum, produksi pangan dalam negeri harus digenjot dan impor mesti dibatasi sampai tercapai swasembada. "Tetapi salahnya pemerintah, swasembada hanya diterjemahkan sebagai turunnya impor." YK/SM/fad/WP

koran-jakarta.com

30 Juta Hektar Lahan Potensial di Indonesia Menganggur

Jakarta -Masih banyak lahan-lahan potensial di Indonesia yang belum difungsikan. Sekitar 30 juta hektar lahan potensial bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan.

Demikian disampaikan oleh Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Didik J. Rachbini dalam sebuah diskusi Pertanian dan Pangan di Menara Kadin, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Jumat (14/6/2013).

"Banyak lahan tersedia itu. Kita punya lahan potensial 30 juta hektar. Itu harus dimanfaatkan secara selektif," kata Didik.

Didik mengatakan, lahan-lahan tersebut terdiri atas lahan kering semusim, tahunan, juga lahan basah rawa dan non rawa. Dari keseluruhan ketersediaan lahan potensial tersebut, Didik mengatakan, paling banyak terdapat di Papua, sedangkan di Jawa sudah hampir tak tersedia.

"(Untuk meningkatkan lahan) harus dengan cara membuka lahan di pulau-pulau tertentu. Maluku, Papua, di Jawa sudah tidak bisa," lanjutnya.

Ia pun mengatakan, rekomendasi mengenai percepatan pembukaan lahan baru ini akan disampaikan ke pemerintah pusat termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurutnya, dalam mewujudkan ketahanan pangan, diperlukan ekstensifikasi lahan, juga peningkatan produktivitas agar tak lagi bergantung pada impor pangan.

"Ini akan kita rekomendasikan ke pemerintah melalui Ketum (Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto)," tutupnya.

finance.detik.com

Ini Saran Agar RI Tak 'Kecanduan' Impor Pangan

Jakarta - Institut Pertanian Bogor (IPB) salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang cukup berkonsentrasi dalam persoalan pangan. Di tengah persoalan impor pangan yang terus membanjiri Tanah Air, diharapkan ada solusi dari pada akademisi.

Guru Besar IPB Hermanto Siregar mengatakan kedaulatan pangan adalah cita-cita bangsa, sesuai yang tertera pada undang-undang (UU) No.18 tahun 2012 tentang pangan. Di dalamnya terdapat unsur hak negara, kebijakan pangan, sistem pangan dan potensi sumberdaya lokal.

Dalam paparannya yang dikutip detikFinance, Jumat (15/11/2013), impor pangan cukup menjadi masalah negara untuk mencapai kedaulatan pangan. Dari sekian banyak impor, hampir keseluruhan produk harusnya dapat dikembangkan di dalam negeri seperti beras, kedelai, kentang, bawang, daging sapi, ikan, gula bahkan termasuk garam yang selama ini masih diimpor.

Alasan impor pangan untuk menstabilkan harga di dalam negeri dianggap tidak tepat. Sebab dengan cara instan tersebut, masih akan berbenturan dengan kendala teknis dan non teknis di lapangan.

Berikut solusi yang ditawarkan agar Indonesia mencapai kedaulatan pangan dan bebas dari impor, antara lain:

1. Peningkatan Stok Pangan
Ini adalah solusi dalam jangka pendek. Pemerintah harus memastikan tidak ada gejolak harga akibat berbagai hal, termasuk tren dari kenaikan harga internasional.

Bulog dapat meningkatkan pengadaan atau pembelian beras dalam negeri. Manakala tidak cukup, bisa melakukan impor. Ini pun dengan perhitungan yang tepat.

Stok pangan juga bisa dengan cara menggandeng pihak swasta. Terutama dalam meningkatkan distribusi pangan nasional. Sistem informasi pangan dibua secara komperhensif untuk tiap daerah dan regional.

2. Peningkatan Produksi Pangan
Program ini sudah masuk dalam rentang jangka menengah dan panjang. Fokusnya ditujukan untuk produk seperti padi, jagung, kedelai, sapi dan umbi-umbian.

Kemudian perlu dipercepat food estate, melalui pendekatan Public Private Partnership (PPP). Kemudian mengikutsertakan rakyat yang juga dapat menyerap tenaga kerja.

Program ini juga harusnya memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Agar kegiatan pertanian yang dilakukan tidak berhenti karena ada lingkungan yang rusak.

3. Pengembangan Agroindustri
Ini merupakan program lanjutan setelah produksi pangan memperlihatkan pertumbuhan yang signifikan. Caranya adalah dengan menyediakan insentif untuk investasi agroindustri yang menyerap tenaga kerja.

Kemudian optimalisasi Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk mendorong pengembangan agroindustri pedesaan. Khususnya skala mikro kecil.

4. Peningkatan Kualitas Sistem Distribusi
Program ini lebih mengarah kepada pengembangan sistem logistik nasional pangan. Ini menjadi keharusan karena kawasan produksi berbeda atau kurang terhubung dengan kawasan konsumsi.

Infrastruktur adalah unsur penting yang mesti dibenahi. Baik secara kuantitas maupun kualitas. Khususnya pada infrastuktur pedesaan dan keluar pedesaan (rural-urban linkages).

Bulog sebagai lembaga pemerintah yang berfokus untuk pangan, juga bisa mengambil andil dalam efektifitas.

5. Peningkatan Research and Development (R&D)

Pangan yang diproduksi harus selalu diikuti dengan penelitian. Misalnya dalam penggunaan bibit-bibit unggul yang mampu beradaptasi dengan perkembangan iklim di lahan-lahan yang kurang subur.

Kemudian juga pengembangan produk pangan seperti beras analog dan sejenisnya. Ada dorongan untuk diversifikasi dan peningkatan gizi. Setiap hasil riset, dapat dikonsolidasikan oleh para lembaga dan perguruan tinggi. Sehingga dapat diimplementasikan oleh pemerintah.

finance.detik.com

Sunday, November 3, 2013

Pengusaha: Tim ekonomi SBY penakut

JAKARTA. Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Riza Suarga mengatakan, pemerintah perlu mengambil langkah radikal untuk membenahi fundamental ekonomi Indonesia. Namun, yang terjadi saat ini pemerintah justru takut mengambil langkah radikal menjelang pelaksanaan pemilihan umum.
Riza mengatakan, pembenahan fundamental ekonomi itu dapat dilakukan dengan mulai memperbaiki nilai tukar rupiah. Hal itu perlu karena nilai tukar rupiah terus merosot. Pada 1998, kurs dollar AS setara dengan Rp 2.500 dan kini merosot menjadi Rp 11.000 per dollar AS.

"Konkretnya untuk membenahi fundamental ekonomi, jelas nilai tukar. Tapi sekarang ini kan tim ekonomi pemerintah itu tim ekonomi penakut," kata Riza seusai diskusi soal polemik upah minimum provinsi, Sabtu (2/11/2013) di Jakarta.

Riza mengatakan, keterpurukan itu bukan serta-merta kesalahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut dia, hal yang sama juga terjadi pada masa sebelumnya. Meski demikian, Riza menyatakan bahwa formula pembenahan ekonomi saat ini tidak relevan lagi.

Menurut Riza, keterpurukan nilai tukar rupiah itu antara lain akibat pemerintah mengikuti saran International Monetary Fund (IMF) untuk mengeluarkan kebijakan devisa bebas. Sejak pemberlakukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, penggunaan mata uang rupiah justru tersisihkan. Sebagian besar sektor ekonomi, seperti industri pertambangan, perhotelan, dan jasa keuangan, justru menggunakan dollar AS sebagai sistem pembayaran. Begitu juga dengan ekspor barang-barang yang harus mampir di Singapura.

Menurut Riza, hal itu justru memberikan keuntungan lebih pada asing. Ia membandingkan kebijakan ekonomi di Indonesia dengan India, di mana kedua negara itu tercatat memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi nilai tukar uangnya sama-sama terpuruk. India yang sebelumnya sama-sama terpuruk 20 persen atas dollar AS, seperti Indonesia. Namun, India kini sudah rebound menjadi di bawah 10 persen karena kebijakan semikontrol devisa.

"Sekarang rupee itu rebound, terpuruk enggak sampai 10 persen. Indonesia tetap. Kapan kita balik lagi, apa masalahnya? Saya enggak melihat ada masalah pertumbuhan ekonomi, tapi kenapa rupiah sempoyongan," ujarnya.

Akibat rupiah yang belum menguat, impor barang pemenuhan kebutuhan, seperti bahan bakar minyak (BBM), menjadi mahal. Hal itu menyebabkan harga barang-barang lain turut terkerek naik.

Untuk itu, Riza mendesak agar pemerintah mengambil langkah yang lebih jelas dan bukan sekadar mencari aman. "Saya tahu ini mau pemilu. Kalau ambil langkah radikal, yang extraordinary suka takut salah. Akhirnya kebiasaan cari aman, yang dikorbankan rakyat,” ujarnya.

Mengenai tuntutan kenaikan upah minimum provinsi, Riza menilai bahwa UMP hanyalah ekses mikro dari kegagalan pemerintah dalam membenahi fundamental ekonomi. Menurut dia, masalah itu tidak akan terulang setiap tahun jika pemerintah berhasil memperbaiki nilai tukar uang, sehingga inflasi bisa terkendali dan daya beli buruh terjamin.

"Kita ini kan selalu takut-takut terus. Lima belas tahun kebijakan fundamental ekonomi yang keliru. Itu yang harus diluruskan. Persoalan ini ngikut semua. UMP itu hanya turunan dari persoalan fundamental yang riil," kata Riza.

Riza menyayangkan adanya pernyataan tentang nilai tukar rupiah sebesar Rp 11.000 per dollar AS sebagai ekuilibirum baru. Ia berpendapat pemerintah seharusnya bisa menentukan kebijakan ekonomi yang bisa mengembalikan nilai tukar rupiah minimal menjadi Rp 9.000 per dollar AS. Dengan demikian, asumsi APBN tak terganggu, begitu juga dengan asumsi subsidi. (Estu Suryowati)