Tuesday, August 27, 2013

Soal Anjloknya Nilai Tukar Rupiah, Rizal Ramli: SBY Tinggalkan ‘Bom Waktu’ Quatro Deficit!

RIMANEWS-Di akhir pemerintahannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata meninggalkan warisan ‘Bom Waktu’ berupa quatro-deficits. Jika tidak segera diatasi, tidak mustahil ‘bom waktu’ itu akan membawa Indonesia ke dalam jurang krisis seperti pada 1998 silam.

“’Bom waktu’ yang saya maksud itu adalah terjadinya quatro-deficits sekaligus. Yaitu,

  1. Defisit Neraca Perdagangan sebesar -U$6 miliar, 
  2. defisit Neraca Pembayaran -U$9,8 miliar, 
  3. deficit Balance Of Payments -U$6,6 miliar pada Q1-2013, dan 
  4. defisit APBN plus utang lebih dari Rp2.100 triliun. 

Ini benar-benar bahaya. Kita harus mencegah  agar Indonesia tidak kembali terpuruk seperti tahun 1998,” kata Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, kepada wartawan di selsa-sela Malam Penganugrahan Perempuan Tangguh, di Jakarta, senin malam (26/8).

Menurut tokoh nasional yang dinobatkan sebagai Calon Presiden Paling Ideal versi The President Center ini, sebetulnya quarto deficit itu tidak terjadi dalam semalam. Tanda-tandanya sudah tampak sejak dua tahun silam. Seharusnya, SBY dan para menteri ekonominya sudah bisa mengantisipasi sejak awal.

Selama 3 bulan terakhir cadangan devisa sudah berkurang  –US$14,6 miliar. Kemerosotan lebih tajam jika dibandingkan posisi akhir tahun lalu, yaitu sebesar –US$20 miliar. Sampai 31 Juli 2013 cadangan devisa tinggal US$92,7 miliar. Padahal, sampai akhir Agustus 2011 cadangan devisa tercatat US$124,6 miliar.

“Pertanyaannya, kemana saja pemerintah kita selama ini? Kok bisa, memburuknya berbagai indikator makro itu dibiarkan saja terus terjadi? Apa karena SBY dan para menterinya sibuk berpolitik? Yang pasti, akibat pemerintah telmi, rakyat menjadi korban. Setelah terpukul kenaikan harga ronde 1 akibat kenaikan harga BBM dan bulan puasa, rakyat kembali terpukul akibat kenaikan harga pangan ronde 2 (10-15%) akibat anjloknya nilai tukar Rupiah. Saya sudah sarankan sejumlah langkah untuk menurunkan harga pangan sejak tiga bulan lalu ke Kepala Bulog, Menteri Perdagangan dan melalui media masa. Namun saran-saran itu  diabaikan,” papar Rizal Ramli.

Sedangkan menyangkut terus melemahnya rupiah, Capres yang di kalangan Nahdiyin akrab disapa Gus Romli ini menyatakan, upaya Bank Indonesia (BI) yang terus-menerus melakukan intervensi dengan menjual dolar hanya akan sia-sia. Langkah itu ibarat ‘menggarami laut’ yang justru berakibat makin tergerusnya devisa.

Quatro-defisits itu ditambah pula dengan defisit kepercayaan dan kredibilitas terhadap kesungguhan dan kemampuan pemerintah menyelesaikan masalah. Perlu dicatat pada tahun 1998, defisit kepercayaan di tengah-tengah kemerosotan ekonomi makro serta gejolak eksternal, akhirnya berujung pada perubahan politik. (*)

www.rimanews.com

Sunday, August 11, 2013

Eropa Kampanye Hitam CPO Lokal

Untuk menyampaikan aspirasi itu, sejumlah pengurus Apkasindo menyambangi Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag) di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Sekjen Apkasindo Asmar Arsyad menegaskan, tuduhan Eropa terhadap produk CPO Indonesia sama sekali tidak benar. Oleh sebab itu, pihaknya berencana melakukan perlawanan.

Untuk menyampaikan aspirasi itu, sejumlah pengurus Apkasindo menyambangi Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag) di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Sekjen Apkasindo Asmar Arsyad menegaskan, tuduhan Eropa terhadap produk CPO Indonesia sama sekali tidak benar. Oleh sebab itu, pihaknya berencana melakukan perlawanan.

“Kita tidak mau mereka (Uni Eropa) mencekal CPO untuk biodisel kita di Uni Eropa. Ini persaingaan tidak sehat. Anggota kita 20 juta orang dan semua hidup dari kelapa sawit. Kalau ini dimatikan, Eropa jelas tidak pro terhadap rakyat,” tegas Asmar kepada wartawan di Kantor Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.
Eropa menuduh harga minyak sawit mentah atau CPO asal Indonesia lebih murah karena mendapatkan subsidi dari pemerintah. Ini dibantah Asmar. Menurutnya, para petani sawit tidak pernah dapat subsidi.

Belum pulihnya krisis ekonomi di Eropa dan  Amerika, membuat perang dagang antar negara semakin memanas.  Begitu juga dengan komoditas ekspor andalan Indonesia, kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO).

Seperti diketahui, Eropa merupakan pasar utama CPO Indonesia. Namun, perdagangan CPO sudah satu tahun lebih mengalami masalah. Penyebabnya, kampanye negatif sejumlah NGO atau LSM di Eropa terhadap produk CPO Indonesia. Mereka menuding, CPO Indonesia tidak ramah terhadap lingkungan dan kesehatan.


Kalimantan Dijadikan Food Estate Nasional

Bisnis.com, JAKARTA - Kalimantan segera menjadi kawasan industri pangan berskala besar (Food Estate) di Indonesia. Hal ini terlihat dengan mulai masuknya beberapa investor ke wilayah tersebut.

 Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan Sumardjo Gatot Irianto mengatakan pengembangkan kalimantan sebagai basis food estate nasional terus berjalan, bahkan sudah jauh mengalahkan program MIFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).

 "Kalimantan sudah berjalan dengan cukup baik, beberapa investor sudah berinvestasi pangan di kawasan ini. Ini merupakan sinyal bagus, dan akan terus berkembang," Jelasnya Minggu (11/8/2013).

 Dipilihnya Kalimantan, lanjut Gatot, sudah sesuai dengan program pemerintah yang tertuang dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia), di mana dalam masterplantersebut, kawasan Kalimantan memang dijadikan sebagai salah satu sentra produksi pangan.

 Beberapa investasi yang sudah berjalan di kawasan tersebut, jelasnya, berasal dari berbagai instansi. Tidak hanya BUMN, beberapa pihak swasta juga sudah menyatakan minatnya dan berinvestasi dengan membuka kawasan pangan.

 "Sudah ada beberapa instansi yang menyatakan minatnya, bahkan beberapa sudah merealisasikan minatnya tersebut," katanya.

 Gatot mengungkapkan food estate yang telah di kembangkan Kalimantan di antaranya dilakukan oleh PT Nusa Agro Mandiri (NAM) dengan luas lahan 3.000 hektare. Kemudian PT Sinar Solaria dengan luas lahan 200 hektare di Bulungan, Kalimantan Timur, bahkan untuk PT Solaria sudah menambah areal lahannya sebesar 1.000 hektare.

Sementara itu, beberapa BUMN juga sudah merealisasikan investasinya. Seperti PT Sang Hyang Sri (SHS) yang telah mengembangkan food estate di Kalimantan Tengah.

"Prioritas pemerintah adalah kepada BUMN, namun kami juga tidak menutup investor lain untuk ikut berinvestasi," terangnya
Editor : Sutarno


Sudah lumayan, di Kementrian Pertanian sudah tidak ada makanan kudapan dari produk tepung

Jakarta (ANTARA) - Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan Indonesia tidak akan bisa menjadi bangsa yang maju tanpa didukung kemandirian pangan nasional. 

Ketika membuka Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian 2013 di Kementerian Pertanian Jakarta, Rabu dia mengatakan negara maju adalah negara yang dapat mewujudkan kemandirian pangannya dengan penguatan sektor pertanian. 

"Meski terjadi industrialisasi tapi pertanian jangan dilupakan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan impor," ujarnya. 

Oleh karena itu, lanjutnya, pengembangan sektor pertanian menjadi salah satu kunci dan syarat menjadikan Indonesia sebagai negara maju. 

Selama ini, sektor ini kurang mendapat perhatian, padahal, selain sektor industri, sektor ini berperan strategis. 

Dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) dan Masterplane Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI), sektor pertanian masuk dalam strategi pembangunan nasional. Sektor pertanian penting dalam menjaga daya saing bangsa di dunia. 

"Untuk mewujudkan bangsa yang berdaya saing sehingga pertanian menjadi basis ekonomi didukung sektor industri," katanya. 

Menurut Hatta Rajasa, ketersediaan pangan juga diperlukan untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional karena sektor pangan memiliki pengaruh signifikan pada besaran inflasi. 

"Hampir seluruh pengeluaran masyarakat rendah dikeluarkan untuk kebutuhan pangan," katanya. 

Sementara itu Menteri Pertanian Suswono menyatakan, salah satu bentuk upaya mewujudkan kemandirian pangan yang telah dilakukan pihaknya adalah meminta para kepada dinas (kadinas) pertanian tidak menyajikan produk hortikultura dan kudapan impor dalam setiap perhelatan di setiap instansinya. 

Menurut dia, ajakan itu sebagai gerakan mencintai produk pertanian anak negeri. 

"Kebiasaan menyajikan makanan tradisional sudah dilakukan di kementerian. Jangan ada lagi buah impor atau bahan bakunya seperti tepung," ujarnya. 

Suswono menyatakan, komitmen menuju ke arah kemandirian tepung nasional melalui upaya pertumbuhan tepung nasional melalui upaya pertumbuhan industri tepung berbahan baku lokal harus dipriortiaskan. 

"Dengan begitu mampu mensubstitusikan tepung impor secara bertahap," katanya.(rr)


Pemerintah Lamban Sesuaikan Struktur Ekonomi

JAKARTA – Pemerintah dinilai terlambat menyesuaikan struktur perekonomian Indonesia agar lebih tahan terhadap guncangan dan tekanan dari faktor eksternal maupun internal.

Akibatnya, ketika ekonomi China melambat dan permintaan serta harga komoditas primer di pasar global menyusut, Indonesia ikut terkena getahnya. 

Pasalnya, selama ini, pemerintah tidak berupaya melepaskan diri dari kebergantungan pada ekspor komoditas primer sebagai sumber pendapatan sehingga penurunan ekspor itu bakal memperburuk defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan.

Selain itu, ketika muncul tekanan dari dalam negeri seperti melejitnya laju inflasi akibat penaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pertumbuhan ekonomi pun langsung tersendat. Hal itu disebabkan strategi pemerintah yang hanya mengandalkan konsumsi domestik sebagai motor pertumbuhan.

"Ekonomi kita masih bergantung pada konsumsi. Akibatnya, kita belum mencapai masyarakat industri karena impor begitu besar di sektor konsumsi. Selain itu, pertumbuhan akan terganggu ketika konsumsi menyusut," jelas pengamat ekonomi dari FEUI, Telisa Aulia Falianty, di Jakarta, Minggu (4/8).

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2013 turun 0,22 persen menjadi 5,81 persen (year-on-year), dibandingkan dengan yang dicapai pada triwulan II-2012 yang mencapai 6,03 persen. Kinerja itu di luar perkiraan banyak kalangan sehingga target pertumbuhan sepanjang 2013 sebesar 6,3 persen diperkirakan juga tidak tercapai.

Menurut Telisa, dari sisi angka pertumbuhan ekonomi, Indonesia sebenarnya sudah baik. Namun, pertumbuhan ekonomi hanya ditopang oleh konsumsi akibat pertumbuhan jumlah penduduk kelas menengah tanpa diimbangi oleh kemandirian, baik kemandirian pangan, kemandirian energi, maupun kemandirian struktur industri. 

Oleh karena itu, Telisa menyarankan pemerintah segera mewujudkan kemandirian guna mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia. "Kemandirian pangan, energi, dan industri harus diselesaikan oleh pemerintah. Impor bahan baku kita masih sangat besar. Kita belum siap memenuhi bahan baku dari lokal. Meski ada investasi asing (FDI), tetapi bahan bakunya masih impor," papar dia.

Kebergantungan Indonesia pada beragam impor seperti pangan, BBM, bahan baku, serta barang modal akhirnya memukul neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.

Bahkan, Bank Indonesia (BI) memprediksi defisit transaksi berjalan pada triwulan II tahun ini akan melebar dibandingkan dengan ekspektasi sebelumnya karena pertumbuhan ekspor melambat dan penurunan impor setelah penaikan harga BBM belum terasa.

Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan defisit transaksi berjalan pada triwulan II akan menembus 9 miliar dollar AS, lebih tinggi dari perhitungan sebelumnya, yakni 8,6 miliar dollar AS atau 3,6 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Telisa menambahkan defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan menjadi gambaran struktur ekonomi Indonesia belum baik. "Kita bisa menekan defisit kalau struktur ekonomi kita diperbaiki," tutur dia.

Dia juga mengungkapkan sektor jasa yang terlalu bergantung pada luar negeri juga menggerus cadangan devisa kita. 


"Konsep struktrur ekonomi Indonesia salah arah karena tidak ditopang oleh kemampuan domestik. Kita bangun pabrik, tetapi bahan bakunya dari impor. Jadi, struktur industri kita tidak jelas. Kebijakan industrialisasi kita tidak jelas," katanya. lex/WP

Thursday, August 8, 2013

Kecelakaan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir berdasarkan Skalanya

International Nuclear Event Scale

The International Nuclear and Radiological Event Scale (INES) was introduced in 1990 by the International Atomic Energy Agency (IAEA) in order to enable prompt communication of safety-significant information in case of nuclear accidents.

The scale is intended to be logarithmic, similar to the moment magnitude scale that is used to describe the comparative magnitude of earthquakes. Each increasing level represents an accident approximately ten times more severe than the previous level. Compared to earthquakes, where the event intensity can be quantitatively evaluated, the level of severity of a man-made disaster, such as a nuclear accident, is more subject to interpretation. Because of the difficulty of interpreting, the INES level of an incident is assigned well after the incident occurs. Therefore, the scale has a very limited ability to assist in disaster-aid deployment.

As INES ratings are not assigned by a central body, high-profile nuclear incidents are sometimes assigned INES ratings by the operator, by the formal body of the country, but also by scientific institutes, international authorities or other experts which may lead to confusion as to the actual severity.

Details
A number of criteria and indicators are defined to assure coherent reporting of nuclear events by different official authorities. There are seven nonzero levels on the INES scale: three incident-levels and four accident-levels. There is also a level 0.
The level on the scale is determined by the highest of three scores: off-site effects, on-site effects, and defence in depth degradation.



Level 7: Major accident
Impact on people and environment
Major release of radio¬active ¬material with widespread health and environmental effects requiring implementation of planned and extended ¬countermeasures

There have been two such events to date:
Chernobyl disaster, 26 April 1986. A power surge during a test procedure resulted in a criticality accident, leading to a powerful steam explosion and fire that released a significant fraction of core material into the environment, resulting in a death toll of 56 as well as estimated 4,000 additional cancer fatalities (official WHO estimate) among people exposed to elevated doses of radiation. As a result, the city of Chernobyl (pop. 14,000) was largely abandoned, the larger city of Pripyat (pop. 49,400) was completely abandoned, and a permanent 30 km exclusion zone around the reactor was established.
Fukushima Daiichi nuclear disaster, a series of events beginning on 11 March 2011. Rated level 7 on 11 April 2011 by the Japanese government's nuclear safety agency.[2][3] Major damage to the backup power and containment systems caused by the 2011 Tōhoku earthquake and tsunami resulted in overheating and leaking from some of the Fukushima I nuclear plant's reactors. Each reactor accident was rated separately; out of the six reactors, three were rated level 5, one was rated at a level 3, and the situation as a whole was rated level 7.[4] A temporary exclusion zone of 20 km was established around the plant as well as a 30 km voluntary evacuation zone;[5] in addition, the evacuation of Tokyo – Japan's capital and the world's most populous metropolitan area, 225 km away – was at one point considered, threatening the future of the Japanese state.[6] See also 2011 Japanese nuclear accidents.
See also: Comparison of Fukushima and Chernobyl nuclear accidents

Level 6: Serious accident
Impact on people and environment
Significant release of radioactive material likely to require implementation of planned countermeasures.
There has been only one such event to date:
Kyshtym disaster at Mayak, Soviet Union, 29 September 1957. A failed cooling system at a military nuclear waste reprocessing facility caused a steam explosion that released 70–80 tons of highly radioactive material into the environment. Impact on local population is not fully known.

Level 5: Accident with wider consequences
Impact on people and environment
Limited release of radioactive ¬material likely to require i¬mplementation of some planned¬ countermeasures.

Several deaths from ¬radiation.

Impact on radiological barriers and control
Severe damage to reactor core.
Release of large quantities of radioactive material within an installation with a high probability of significant public exposure. This could arise from a major criticality accident or fire.
Examples:
Windscale fire (United Kingdom), 10 October 1957.[7] Annealing of graphite moderator at a military air-cooled reactor caused the graphite and the metallic uranium fuel to catch fire, releasing radioactive pile material as dust into the environment.
Three Mile Island accident near Harrisburg, Pennsylvania (United States), 28 March 1979.[8] A combination of design and operator errors caused a gradual loss of coolant, leading to a partial meltdown. Radioactive gases were released into the atmosphere, no health risks have been attributed to this accident.
First Chalk River accident,[9][10] Chalk River, Ontario (Canada), 12 December 1952. Reactor core damaged.
Lucens partial core meltdown (Switzerland), 21 January 1969. A test reactor built in an underground cavern suffered a loss-of-coolant accident during a startup, leading to a partial core meltdown and massive radioactive contamination of the cavern, which was then sealed.
Goiânia accident (Brazil), 13 September 1987. An unsecured caesium chloride radiation source left in an abandoned hospital was recovered by scavenger thieves unaware of its nature and sold at a scrapyard. 249 people were contaminated and 4 died.

Level 4: Accident with local consequences
Impact on people and environment

Minor release of radioactive material unlikely to result in implementation of planned countermeasures other than local food controls.
At least one death from radiation.

Impact on radiological barriers and control
Fuel melt or damage to fuel ¬resulting in more than 0.1% release of core inventory.
Release of significant quantities of radioactive material within an installation with a high ¬probability of significant public exposure.
Examples:
Sellafield (United Kingdom) – five incidents 1955 to 1979[11]
SL-1 Experimental Power Station (United States) – 1961, reactor reached prompt criticality, killing three operators.
Saint-Laurent Nuclear Power Plant (France) – 1969, partial core meltdown; 1980, graphite overheating.
Buenos Aires (Argentina) – 1983, criticality accident during fuel rod rearrangement killed one operator and injured 2 others.
Jaslovské Bohunice (Czechoslovakia) – 1977, contamination of reactor building.
Tokaimura nuclear accident (Japan) – 1999, three inexperienced operators at a reprocessing facility caused a criticality accident; two of them died

Level 3: Serious incident
Impact on people and environment
Exposure in excess of ten times the statutory annual limit for workers.
Non-lethal deterministic health effect (e.g., burns) from radiation.

Impact on radiological barriers and control
Exposure rates of more than 1 Sv/h in an operating area.
Severe contamination in an area not expected by design, with a low probability of ¬significant public exposure.

Impact on defence-in-depth
Near accident at a nuclear power plant with no safety provisions remaining.
Lost or stolen highly radioactive sealed source.
Misdelivered highly radioactive sealed source without adequate procedures in place to handle it.
Examples:
THORP plant Sellafield (United Kingdom) – 2005.
Paks Nuclear Power Plant (Hungary), 2003; fuel rod damage in cleaning tank.
Vandellos Nuclear Power Plant (Spain), 1989; fire destroyed many control systems; the reactor was shut down.
San Onofre Nuclear Generating Station (United States), 2011; Ammonia leak. No evacuation called for.

Level 2: Incident
Impact on people and environment
Exposure of a member of the public in excess of 10 mSv.
Exposure of a worker in excess of the statutory annual limits.

Impact on radiological barriers and control
Radiation levels in an operating area of more than 50 mSv/h.
Significant contamination within the facility into an area not expected by design.

Impact on defence-in-depth
Significant failures in safety ¬provisions but with no actual ¬consequences.
Found highly radioactive sealed orphan source, device or transport package with safety provisions intact.
Inadequate packaging of a highly radioactive sealed source.
Examples:
Blayais Nuclear Power Plant flood (France) December 1999
Ascó Nuclear Power Plant (Spain) April 2008; radioactive contamination.
Forsmark Nuclear Power Plant (Sweden) July 2006; backup generator failure; two were online but fault could have caused all four to fail.
Gundremmingen Nuclear Power Plant (Germany) 1977; weather caused short-circuit of high-tension power lines and rapid shutdown of reactor
Shika Nuclear Power Plant (Japan) 1999; criticality incident caused by dropped control rods, covered up until 2007

Level 1: Anomaly
Impact on defence-in-depth

Overexposure of a member of the public in excess of statutory ¬annual limits.
Minor problems with safety components with significant defence-in-depth remaining.
Low activity lost or stolen radioactive source, device or transport package.
Examples:
Penly (Seine-Maritime, France) 5 April 2012; an abnormal leak on the primary circuit of the reactor n°2 was found in the evening of 5 April 2012 after a fire in reactor n°2 around noon was extinguished.
Gravelines (Nord, France), 8 August 2009; during the annual fuel bundle exchange in reactor #1, a fuel bundle snagged on to the internal structure. Operations were stopped, the reactor building was evacuated and isolated in accordance with operating procedures.
TNPC (Drôme, France), July 2008; leak of 6,000 litres (1,300 imp gal; 1,600 US gal) of water containing 75 kilograms (170 lb) of uranium into the environment.

Criticism

Deficiencies in the existing INES have emerged through comparisons between the 1986 Chernobyl disaster and 2011 Fukushima nuclear disaster. 
Firstly, the scale is essentially a discrete qualitative ranking, not defined beyond event level 7. 
Secondly, it was designed as a public relations tool, not an objective scientific scale. 
Thirdly, its most serious shortcoming is that it conflates magnitude with intensity. David Smythe has proposed a new quantitative nuclear accident magnitude scale (NAMS).[24]

Nuclear experts say that the "INES emergency scale is very likely to be revisited" given the confusing way in which it was used in the 2011 Japanese nuclear accidents.