Sunday, November 30, 2014

Shale Gas tetap menguntungkan sekalipun harga minyak rendah


The Oil Price Swoon Won’t Stop the Shale Boom

Still profitable at lower prices, fracking is ripe for technology gains that would help it weather further declines

By Mark P. Mills

With oil prices sliding, energy investors are worried, while Saudi Arabia and Russia no doubt hope, that low prices will cap America’s boom in shale-oil production. Green-energy types sit by, happy to see turmoil in the fossil-fuel sector.

But price dips are common in oil and other markets subject to cyclical swings. True enough, sellers of any product prefer high prices to low; but the current slump sets the stage for what I call America’s shale boom 2.0.

Three factors make it unlikely that the decline in oil prices will bring the shale revolution to an end.

First, shale production is profitable at today’s lower prices. We know this because the boom began during the Great Recession years of 2008-09, when prices fell below $50 a barrel. The price U.S. shale producers got for their oil during the boom averaged around $85 to $90, even though the world price stayed well over $100.

That spread—the difference between the West Texas Intermediate (WTI) and world (Brent) price—was a direct consequence of too much domestic oil chasing too little capacity to move, store and use it. Yet in the past five years alone more than $500 billion of private investment went into hydrocarbon infrastructure. U.S. shale output was obviously profitable enough to spur the stunning growth in production and infrastructure when domestic prices were in the same range as world prices today.

Second, shale production is getting more efficient, which means that profits are possible at prices even lower than today. Smart drilling techniques—horizontal drilling, hydraulic fracturing and information technologies that accurately locate where to place rigs and enable precise steering of the drill through meandering horizontal hydrocarbon-rich shales—are far more productive than when the boom started.

According to the Energy Information Administration, the quantity of shale or natural gas produced per rig has increased by more than 300% over the past four years. This rise in productivity matches (in equivalent terms of capital cost per unit energy out) the improvements in solar power, but it took 15 years for solar’s gains. Solar is now experiencing a slow-down in efficiency improvements; there is no sign of a slow-down in shale technology.

The third factor is the profound economic leverage afforded by the enormous scale and diversity of America’s hydrocarbon infrastructure. Many oil-producing nations have only a few big oil fields and a handful of companies, sometimes just one. The U.S. has dozens of world-class fields, thousands of production companies, tens of thousands of related businesses, and millions of miles of pipe and rail.

Among the thousands of shale producers, you can guarantee there are pioneers just like those who started the shale revolution. As profit margins erode due to low or even lower future prices, the pioneers will try out the revolutionary new shale techniques that have yet to be deployed.

You might think that the latest drilling technologies are already in use, an easy sell when cash is gushing. Not so. Businesses rationally resist spending to disrupt existing machinery and operations simply to learn new tools and techniques. But they will chase profits through efficiency-boosting innovation in leaner times.

The pipeline of next-generation shale tech has been piling up with unfielded advances. These include automated drilling, micro drilling that allows for far faster deployment with a smaller rig footprint and new types of drills (some may use lasers soon), and big-data analytics to maximize yields by tapping into the surprising volume of data from complex shale operations. There is also nanotechnology to radically improve chemical formulations and safety, on-site water recycling and even water-free fracturing, and new classes of high-resolution subsurface imaging to radically improve exploration and production using real-time and microseismic imaging.

In a few years, as new technologies are adopted, journalists will be writing again about the “surprise” that U.S. production expanded by another three million barrels per day on top of that much growth over the past few years. The bounty will in due course spread to other nations where the geophysical shale resources easily match the thousands of billions of barrels in the U.S.

Oil prices will continue to experience cycles as technologies are deployed. And the world will stay awash in oil.

Mr. Mills, a physicist, is a Manhattan Institute senior fellow and co-author of “The Bottomless Well” (Basic, 2006).

barkleypeschel.com

Shale oil & gas produced per drilling rig in the US has increased 300% over the past 4 years

Saturday, November 29, 2014

Surya Paloh Akui di Balik Impor Minyak Angola, Diragukan Hemat 25%

FASTNEWS, Jakarta (7/11) - Penandatanganan Perjanjian PT Pertamina (Persero) - Sonangol EP kurang dari 7 hari Kabinet Kerja, 31 Oktober adalah suatu keajaiban mengingat proses kerjasama biasanya perlu waktu lama negosiasinya. Belum lagi, nama Sonangol mungkin tak akrab di sebagian besar publik ditambah kepastian tidak dibubarkannya Petral. Ternyata, nama Bos Media Group, Surya Paloh ada di balik impor minyak Angola tersebut.

Pendiri Partai Nasdem ini tak menampik soal peran masuknya Angola dalam sistem perdagangan BBM di Indonesia. Ia mengakui menyarankan Presiden Jokowi agar Pertamina bekerjasama dengan Sonangol. "Tapi saran kecil saja," ujar Surya kepada KONTAN di Kantor Partai Nasdem, Jakarta, dengan nada merendah. Surya menyatakan saran itu bertujuan membantu pemerintah baru agar bisa menghemat dari impor minyak dan bahan bakar minyak (BBM).

Maklum, selama ini Pertamina mengimpor minyak melalui pihak ketiga atau trader alias tidak membeli minyak langsung ke produsennya. Akibatnya, kata pemilik Media Group ini, impor minyak jadi mahal dan memberatkan negara. Nah, ia yakin, jika Indonesia membeli langsung ke produsen, biaya impor bisa ditekan. "Seperti yang dilaksanakan dengan Sonangol, itu baik," kata Surya. Namun, kendati melibatkan PT Surya Energi Raya, perusahaan minyak miliknya, dalam mempertemukan Pertamina dan Sonangol, Surya Paloh membantah dirinya memiliki kepentingan bisnis dalam impor minyak Angola. "Saya hanya memperkenalkan mereka. Setelah itu tak ada hubungan lagi," tandasnya. Sebagai catatan, Grup Sonangol adalah kongsi lama Surya Paloh.

Tahun 2009, Surya Energi mendapat pinjaman modal dari China Sonangol International Holding Ltd. Anak usaha Sonangol EP tersebut menyuntikkan dana US$ 200 juta ke Surya Energi untuk menggarap Blok Cepu. Asal tahu saja, Surya Energi adalah pemilik 75% saham PT Asri Darma Sejahtera. Sementara 25% saham perusahaan ini dikuasai oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Asri Darma inilah yang mendekap 4,5% saham blok minyak jumbo di Cepu. Direktur Utama Surya Energi, Reri Murdijat menyatakan, Surya Energi memang terlibat memfasilitasi kerjasama Pertamina dengan Sonangol. Namun, "Kami tidak memiliki hubungan apapun dalam kerjasama antara Pertamina dengan Sonangol," tandas dia. Dia menyatakan, kerjasama Surya Energi dengan Grup Sonangol sebatas pada pendanaan proyek Blok Cepu tahun 2009 yang senilai US$ 200 juta itu. "Saya enggak bisa ngomong lebih detail," jelas dia. Bisnis minyak memang menggiurkan. Mudah-mudahan saja deal bisnis ini tak melahirkan trader baru.

Sementara itu, pengamat dari Energy Watch Mamit Setiawan heran, proses penjajakan perjanjian berlangsung begitu cepat. Ia menuturkan belum pernah mendengar kajian pemerintah terkait impor BBM dari Angola. Mamit khawatir, perjanjian ini telah direncanakan cukup lama oleh mereka yang mengincar keuntungan tertentu. “Jangan sampai istilah kejar setoran terjadi,” katanya.

Untuk membuktikan mafia migas tidak berperan dalam perjanjian ini, Mamit berkata, pemerintah harus transparan soal harga beli dan jenis minyak yang diimpor, termasuk biaya pengapalannya. Dengan membuka data tersebut ke publik, masyarakat bisa turut menghitung penghematan anggaran yang bisa dilakukan pemerintah.

Sedangkan Pengamat kebijakan energi, Sofyano Zakaria, meminta Presiden Joko Widodo mengkaji lebih jauh rencana kerjasama pembelian minyak dari Sonangol EP milik perusahaan asal Portugal di Republik Angola, Afrika. Sofyano meragukan dengan membeli minyak asal Anggola itu akan menghemat pengeluaran negara sebesar 25 persen.

"Selain itu, perlu juga diteliti oleh pemerintah, apakah Sonangol EP menguasai 100 persen hasil minyak yang dihasilkannya. Sebab, berdasarkan data Energy Intelegence Research, yang mereka lansir pada tahun 2011, Chevron dan Exxon turut terlibat dalam pengelolaan migas di Angola yang bekerjasama dengan Sonangol EP, National Oil Company of Angola," ungkap Sofyano kepada pers di Jakarta.

China Connection? Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad H Wibowo, merasa terkejut atas penandatangan kerja sama PT Pertamina dengan Sonangol. Menurutnya, ladang minyak di Angola sudah menjadi jatah China. Lantas ia terkejut, ketika Menteri ESDM Sudirman Said tiba-tiba menyebutkan akan mencari minyak murah dari Angola.  "Saya langsung berpikir, siapa yg menjadi China connection pemerintahan Jokowi?" kata Dradjad .

Kekagetan Dradjad ini terkonfirmasi dengan MoU yang diteken PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan China International Fund (CIF). Kesepakatan menandatangani nota kesepahaman ini bersamaan dengan kunjungan Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, pada Senin lalu (3/11). "MoU ini penuh kerahasiaan," tambah Dradjad.

Dradjad pun mengungkapkan, ada tokoh bisnis yang sangat kuat tapi dikenal kontroversial oleh Barat, yaitu Sam Pa. Sam Pa dianggap media-media Barat sebagai pemilik CIF. Di Angola, tangannya melalui China Sonangol. Dan Sam Pa ini memiliki koneksi sangat kuat dengan para kepala negara di Afrika dan Amerika Latin.

"Tidak mungkin CIF bisa cepat meneken MoU jika tidak ada koneksi sebelumnya. Sam Pa ini juga dekat dengan Presiden Xi Jinping dari China. Jadi, siapa China connection di pemerintahan Jokowi?" kata Dradjad penuh tanya.

Dradjad menambahkan, Grup CIF ini kadang-kadang disebut The 88 Queensway Group. Penamanaan ini karena lokasi kantor pusatnya di 88 Queensway, Hongkong.

Di sektor properti Indonesia, China Sonangol Land telah mengakuisisi EX Plaza Indonesia, Thamrin, Jakarta Pusat, untuk dikonversi menjadi pengembangan multifungsi EX Building yang mencakup perkantoran, ruang ritel, kondominium, dan service apartment dengan penganggaran sekitar Rp 6 triliun


Selain mengakuisisi EX Plaza, China Sonangol Land juga bermitra dengan Sampoerna Group. Keduanya sepakat akan membangun dua menara baru Sampoerna Strategic Square di Jl Jendral Sudirman, dengan kapasitas area sewa seluas 234.000 meter persegi. Kedua gedung ini berdiri di atas lahan seluas 34.735 meter persegi.

berita ini dimuat di FastNews dan Majalah Tempo edisi cetak


Friday, November 7, 2014

Tipuan Raksasa Migas Global

Indonesia sudah betul tidak tertutup pada asing, tapi bukan berarti asing boleh terus merugikan Indonesia. Raksasa migas global terus menerus menipu Indonesia bahkan ketika sudah diberi kesempatan kelola migas Indonesia. Tak hanya soal tak bayar royalti sehingga Indonesia merugi. Raksasa migas asing juga tipu Indonesia dengan turunkan produksi migas perlahan. 

Menjelang habis masa kontrak Blok Migas 2015–2021, raksasa migas asing terus kurangi produksi. Tujuannya jelas, menciptakan permintaan (demand) lebih sehingga kontrak akan diperpanjang dan bisa menambah kontrak di Blok Migas lain.

Hasil Produksi Minyak sebetulnya bisa jadi meningkat. Cuma dilaporkan sedikit. Buktinya Chevron mengekspor minyak dari Riau. Kita tidak tahu berapa ratus ribu barrel yang diekspor karena tidak ada yang menghitung.

Sekarang mari kita lihat bukti nyata adanya tipuan raksasa migas global:

Pada tahun 2010, produksi Migas sebanyak 954.000 Barel Per Hari (Bph).
Pada tahun 2011, produksi migas sebanyak 898.000 Barel Per Hari (Bph).
Pada tahun 2012, produksi migas sebanyak 861.000 Barel Per Hari (Bph).
Pada tahun 2013, produksi migas sebanyak 827.000 Barel per Hari (Bph).



Selama 4 tahun terakhir, produksi migas dari 79 Blok Migas yang sudah produksi menurun 13,31 persen secara berkala. Dari 954.000 Bph menjadi 827.000 Bph, menurun 127.000 Bph. Dalam hitungan tahunan, dari 348.210.000 barel menjadi 301.855.000 barel, menurun 46.355.000 barel. Dalam perhitungan rupiah, dari Rp 350 triliun menjadi Rp 302 triliun, menurun Rp 48 triliun.

Tahun ini juga turun menjadi 800,000bph?Jadi jangan heran kalau harga BBM terus naik, karena produksi migas di 79 Blok Migas yg sudah produksi terus turun. Subsidi pemerintah untuk BBM tak bisa digenjot terus, sementara produksi kurang, harga naik.

Jika dilihat lebih jauh pola penipuan raksasa migas global, alasan kenapa produksi menurun, harga BBM melambung ada di tangan kontraktor 79 Blok Migas itu. Sebagaimana kita ketahui, sebanyak 55 Blok Migas (70 persen) dari 79 Blok Migas dikelola asing.

Tentu saja, para raksasa migas asing itulah yang berperan besar dalam mengurangi produksi migas yang berdampak pada kenaikan harga BBM.

Pertanyaannya, kenapa para raksasa migas asing terus menurunkan produksi migasnya menjelang masa habis kontrak? Jawabnya sederhana, dengan menurunkan produksi secara berkala, kontrak harus diperpanjang dan perlu eksplorasi tambahan. Proyek lagi proyek lagi.


Jangan lupa, indonesia saat ini memiliki 263 blok minyak bumi dan gas bumi (migas). Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan eksplorasi-eksplorasi baru. Dari 263 blok Migas yang dimiliki Indonesia saat ini, sebanyak 79 Blok Migas sudah produksi. Sedangkan sisanya 184 Blok Migas masih dalam tahap eksplorasi. Produksi meningkat harga naik?
Dari 79 Blok Migas milik Indonesia yang sudah produksi, sekitar 55 Blok Migas (70 persen) dikelola oleh perusahaan migas asing berskala global. Sebut saja, Chevron, Total, Inpex, ExxonMobil, Petronas, Petrochina, CNOOC, Santos, British Petroleum, Hess, Stat Oil, Eni dan sebagainya. Pertanyaannya mengapa Indonesia harus membeli dengan harga yang sama dengan negara lain yang tak punya sumber migas?

Ternyata DIAM-DIAM sepanjang 2015–2021, ada 28 Blok Migas yang akan habis masa kontraknya. Berdasarkan peraturan, kontrak pengelolaan blok Migas di Indonesia sepanjang 30 tahun.

Lalu untuk perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Migas diberikan selama 20 tahun. Maksimal, pengelolaan Blok Migas di Indonesia selama 50 tahun. Proses pengajuan perpanjangan kontrak Migas diberikan waktu 10 tahun hingga 2 tahun sebelum habis masa kontrak.

Artinya, bagi kontrak Migas yang habis tahun 2021, akan menjadi tanggung jawab pemerintahan 2015–2019. Itulah kenapa klasifikasi 28 Blok Migas yang akan habis masa kontraknya antara 2015–2021 harus jadi perhatian serius Jokowi-JK. Jika ingin mewujudkan Indonesia yang hebat, bukan dengan membuat GADUH memaksa mencabut subsidi BBM dengan berbagai macam alasan penuh penggiringan opini.

Berapa sih nilai kontrak perpanjangan 28 Blok Migas itu? Target produksi migas 2013 di angka 840.000 Bph, tapi realisasinya 827.000 bph, kurang 13.000 bph. Rata-rata produksi 1 Blok Migas sekitar 10.000 Barel per Hari (Bph). Angka itu diperoleh dari realisasi produksi migas (lifting) APBN-P tahun 2013 sebesar 827.000 Bph dibagi 79 Blok Migas Produksi.


Produksi 827.000 per hari di 2013, berarti produksi setahun 301.855.000 Barel. Jika pakai harga minyak US$ 100/barel, total nilai produksi 28 Blok Migas itu setahun US$ 30.185.500.000. Dalam rupiah, nilai produksi 28 Blok Migas itu sekitar Rp 302 Triliun. Jika 28 Blok Migas itu memperpanjang kontraknya 20 tahun, kira-kira nilai kontraknya Rp 6.040 triliun.


Angka Rp 6.040 triliun itu sangat besar, kurang lebih setara dengan angka Produk Domestik Bruto Indonesia setahun. Dan pastinya, kontrak 28 Blok Migas senilai Rp 6.040 triliun itu tanggung jawab pemerintahan Jokowi-JK sebagai solusi indonesia hebat.

Bukannya malah mengikuti maunya broker migas dan perusahaan asing macam "chevron" yang sibuk iklan di tv seolah kebaikan BBM bukanlah DERITA!