11 Juli 1997
Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari
192 (8 persen) menjadi 304 (12 persen), melakukan pengetatan likuiditas dan
pembelian surat berharga pasar uang, serta menerapkan kebijakan uang ketat.
14 Agustus 1997
Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (free
floating). Masyarakat panik, lalu berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar.
Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank Indonesia, tingkat suku bunga di pasar
uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank berebut dana masyarakat.
1 September 1997
Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali.
Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah
kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank
nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan.
3 September 1997
Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan
Pembangunan serta Produksi dan Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin
langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil pertemuan: pemerintah akan membantu bank
sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank yang ”sakit” akan
dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini disebut bantuan likuiditas
Bank Indonesia (BLBI).
1 November 1997
16 bank dilikuidasi.
26 Desember 1997
Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan
surat ke Presiden Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang
terus mengalami saldo debit akibat tekanan dari penarikan dana nasabah.
Soedradjad mengusulkan agar mengganti saldo debit dengan surat berharga pasar
uang (SBPU) khusus.
27 Desember 1997
Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997
yang ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran
direksi Bank Indonesia untuk mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar
tidak banyak bank yang tutup dan dinyatakan bangkrut.
10 April 1998
Menkeu
diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN dengan batas waktu
pelaksanaan 22 April 1998.
Mei 1998
BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 triliun,
dana penjaminan antarbank Rp 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp 103
triliun. Adapun penerima terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan)
hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 triliun, BCA Rp 26,596 triliun, Danamon
Rp 23,046 triliun, dan BUN Rp 12,067 triliun.
4 Juni 1998
Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit
perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini
merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa
diterima di dunia internasional. Pemerintah nterpaksa memakai dana BLBI senilai
US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).
21 Agustus 1998
Pemerintah memberikan tenggat pelunasan BLBI dalam tempo
sebulan. Bila itu dilanggar, ancaman pidana menunggu.
21 September 1998
Tenggat berlalu begitu saja. Boro-boro ancaman pidana,
sanksi administratif pun tak terdengar.
26 September 1998
Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah pengembalian
BLBI dari sebulan menjadi lima tahun.
27 September 1998
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri
Ginandjar Kartasasmita meralat angka lima tahun. Menurut Ginandjar, pemerintah
minta pola pembayaran BLBI tunai dalam tempo setahun.
18 Oktober 1998
Hubert Neiss melayangkan surat keberatan. Dia minta
pelunasan lima tahun.
10 November 1998
Pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27
persen, sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama. Jumlah
kewajiban BLBI dari BTO (bank take-over) dan BBO (bank beku operasi) saat itu
adalah Rp 111,29 triliun.
8 Januari
1999
Pemerintah menerbitkan surat utang
sebesar Rp 64,5 triliun sebagai tambahan penggantian dana yang telah
dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang dialihkan ke BPPN.
6 Februari 1999
BI dan Menkeu membuat perjanjian pengalihan hak tagih (on
cessie) BLBI dari BI kepada pemerintah senilai Rp 144,53 triliun.
8 Februari 1999
Penerbitan Surat Utang Pemerintah No SU-001/MK/1998 dan No
SU-003/MK/1998.
13 Maret 1999
Pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih
7 bank, dan merekapitalisasi 7 bank.
Februari 1999
DPR RI membentuk Panja BLBI.
19 Februari 1999
Ketua BPKP Soedarjono mengungkapkan adanya penyelewengan
dana BLBI oleh para bank penerima. Potensi kerugian negara sebesar Rp 138,44
triliun (95,78%) dari total dana BLBI yang sudah disalurkan.
13 Maret 1999
Pemerintah mengumumkan pembekuan usaha (BBKU) 38 bank.
14 Maret 1999
Pemerintah dan BI mengeluarkan SKB Penjaminan Pemerintah.
17 Mei 1999
UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia ditandatangani
Presiden Habibie. Dalam UU itu disebutkan bahwa BI hanya dapat diaudit oleh
BPK, dan direksi BI tak dapat diganti oleh siapa pun.
1 September-7 Desember 1999
BPK mengaudit neraca BI per 17 Mei 1999 dan menemukan bahwa
jumlah BLBI yang dapat dialihkan ke pemerintah hanya Rp 75 triliun, sedangkan
Rp 89 triliun tidak dapat dipertangggungjawabkan. BPK menyatakan disclaimer
laporan keuangan BI. Tapi, pejabat BI menolak hasil audit. Alasannya, dana BLBI
itu dikeluarkan atas keputusan kabinet.
28 Desember 1999
Pemerintah melalui Kepala BPPN Glen Yusuf memperpanjang masa
berlaku program penjaminan terhadap kewajiban bank.
Desember 1999
BPK telah menyelesai-kan audit BI dan terdapat selisih dari
dana BLBI sebesar Rp 51 triliun yang tidak akan dibayarkan pemerintah kepada
BI, terutama karena penggunaannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
5 Januari 2000
Ada perbedaan jumlah BLBI antara pemerintah dan BI.
Pemerintah menyebut BLBI sebesar Rp 144,5 triliun plus Rp 20 triliun untuk
menutup kerugian Bank Exim (Mandiri). Tapi, menurut BI, masih ada Rp 51 triliun
dana BLBI yang harus ditalangi pemerintah. Dana sebanyak itu diberikan BI
kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama November
1997-Januari 1998.
10 Januari 2000
Bocoran hasil audit KPMG yang ditunjuk BPK untuk mengaudit
neraca awal BI beredar di kalangan wartawan. Audit itu menemukan bahwa
penyelewengan BLBI berjumlah Rp 80,25 triliun.
29 Januari 2000
Audit BPK menemukan fakta bahwa 95,78 persen dari BLBI
sebesar Rp 144,54 triliun berpotensi merugikan negara karena sulit
dipertanggung-jawabkan.tersangka dalam kasus cessie Bank Bali.
21 Juni 2000
Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, ditahan Kejaksaan Agung
dengan status sebagai tersangka.
9 Oktober 2000
Ketua BPK Billy Judono mengatakan bahwa BLBI sudah diberikan
oleh BI sejak 1991 hingga 1996. Jadi, tidak benar bahwa BI hanya bertanggung
jawab saat krisis saja.
18 Oktober 2000
Komisi IX DPR yang membidangi perbankan menolak jumlah BLBI
yang ditanggung BI hanya sebesar Rp 24,5 triliun. “Jumlah ini merendahkan hasil
audit BPK,” kata anggota dewan.
26 Oktober 2000
Jaksa agung menunda proses hukum terhadap 21 obligor agar
mereka punya kesempatan melunasi dana BLBI.
1 November 2000
DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik
menyangkut pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang
sudah dikucurkan.
Awal November 2000
Sumber di
BI menyatakan, tanggung jawab BI terhadap BLBI hanya Rp 48 triliun,
terhitung sejak 3 September 1997-29 Januari 1999, bukan sebelum dan sesudahnya.
2 November 2000
BPK mengancam BI akan memberikan opini wajar dengan
pengecualian terhadap laporan neraca BI jika dana BLBI tidak dapat dituntaskan.
17 November 2000
Pukul 16.30, pejabat teras BI menyatakan mundur serentak.
Mereka yang mundur adalah Deputi Senior Gubernur Anwar Nasution, Deputi
Gubernur Miranda Goeltom, Dono Iskandar, Achwan, dan Baharuddin Abdullah,
dengan alasan tak mendapat dukungan politik pemerintah dan DPR. Sedangkan
Syahril Sabirin, Achjar Iljas, dan Aulia Pohan tidak mundur. Pokok-pokok
Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan BI ditetapkan. Berdasarkan
kesepakatan ini, BI menanggung beban Rp 24,5 triliun dan sisanya menjadi beban
Pemerintah.
3 Januari 2001
Dua Deputi BI Aulia Pohan dan Iwan G Prawiranata
ditingkatkan berkasnya ke penyidikan berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam
penyalahgunaan dana BLBI.
7 Maret 2001
DPR mengusulkan pembentukan Pansus BLBI DPR. Pembentukan
Pansus ini dipicu oleh pernyataan Menkeu Prijadi Praptosuhardjo yang
menyebutkan pemerintah belum menyepakati jumlah tanggungan BI sebesar Rp 24,5
miliar.
10 Maret 2001
Pemilik BUN Kaharuddin Ongko ditahan Kejaksaan Agung atas
tuduhan penyelewengan dana BLBI.
22 Maret 2001
Pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono ditahan Kejaksaan
Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI.
9 April 2001
Dirut BDNI Sjamsul Nursalim yang bersatus tersangka
penyelewengan dana BLBI dicekal Kejaksaan Agung. Selain Sjamsul, David
Nusawijaya (Sertivia) dan Samandikun Hartono (Bank Modern) juga dicekal.
29 Maret 2001
Kejagung mencekal mantan ketua Tim Likuidasi Bank Industri
(Jusup Kartadibrata), Presider Bank Aspac (Setiawan Harjono).
2 April 2001
Pelaksanaan Program Penjaminan dana nasabah yang semula
diatur melalui SKB antara BI dan BPPN diubah dengan SK BPPN No 1036/BPPN/0401
tahun 2001.
30 April 2001
Kejagung
membebaskan David Nusawijaya, tersangka penyelewengan BLBI. Selain itu,
Kejagung juga mencekal 8 pejabat bank Dewa Rutji selama 1 tahun
.
2 Mei 2001
Kejagung membebaskan 2 tersangka penyelewengan BLBI
(Samandikun Hartono dan Kaharuddin Ongko) dan mengubah statusnya menjadi
tahanan rumah.
19 Juni 2001
Wapresider
Bank Aspac, Hendrawan Haryono dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan
dikenai denda Rp 500 juta. Ia didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 583,4
miliar.
21 Juni 2001
Mantan Direksi BI Paul Sutopo ditahan di gedung Bundar oleh
aparat Kejagung.
31 Mei 2002
Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan
menyampaikan Laporan Pemeriksaan Kepatuhan Anthony Salim, Andre Salim dan
Sudono Salim untuk memenuhi Kewajiban-kewajibannya dalam MSAA tanggal 21
September 1998. Dalam bagian kesimpulannya, TBH antara lain menyatakan meski
telah memenuhi sebagian besar kewajiban-kewajibannya, namun secara yuridis
formal telah terjadi pelanggaran, atau kelalaian atau cidera janji atau
ketidakpatuhan, atas kewajiban-kewajibannya dalam MSAA yang berpotensi
merugikan BPPN.
2004
Sampai 2004,
pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri mengeluarkan surat
keterangan lunas (SKL) kepada lima obligor MSAA dan 17 obligor PKPS APU padahal
mereka belum lunas membayar utang mereka.
11 Januari 2007
Dua
petinggi Salim Grup (Anthony Salim dan Beny Setiawan) menjalani
pemeriksaan di Mabes Polri atas tuduhan telah menggelapkan aset yang telah
diserahkan kepada BPPN sebagai bagian pembayaran utangnya. Aset yang digelapkan
itu meliputi tanah, bangunan pabrik dan mesin-mesin di perusahaan gula Sugar
Grup.
19 Februari 2007
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja
dengan Komisi XI DPR RI di Gedung MPR/DPR RI menegaskan terhadap 8 obligor yang
bermasalah, pemerintah akan menggunakan kesepakatan awal APU plus denda. “Kami
tetap akan menjalankan sesuai keyakinan pemerintah bahwa mereka (delapan
obligor BLBI, red) default. Tagihan kepada mereka adalah Rp 9,3 triliun,”
tegas. Ke delapan obligor itu adalah James Sujono Januardhi dan Adisaputra
Januardhy (Bank Namura), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Lidia Muchtar (Bank
Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa), Omar Putihrai (Bank
Tamara), Atang Latief (Bank Bira), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat).
18 September 2007
Sejumlah anggota DPR mengajukan hak Interpelasi mengenai
BLBI kepada Pimpinan DPR.
4 Desember 2007
Rapat Paripurna DPR menyetujui Hak Interpelasi Atas
Penyelesaian KLBI dan BLBI yang diajukan 62 pengusul.
21 Januari 2008
Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam “Jihad Melawan
Koruptor BLBI” memberikan penghargaan terhadap sejumlah anggota DPR yang
dinilai benar-benar serius hendak mengungkap kasus BLBI.
28 Januari 2008
DPR – RI secara resmi mengirimkan surat kepada Presiden RI
agar memberikan keterangan di depan Rapat Paripurna DPR sekaitan Hak
Interpelasi atas penyelesaian KLBI dan BLBI.
29 Januari 2008
Ratusan orang yang tergabung dalam GEMPUR berunjuk rasa di
depan gedung DPR. Mereka curiga ada anggota DPR yang menjadi beking para
obligor BLBI.
12 Februari 2008
Pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian Boediono
menyampaikan jawaban pemerintah terhadap 10 pertanyaan terkait penyelesaian
BLBI di depan Rapat Paripurna DPR. Ketika membacakan keterangan, lebih separuh
anggota dewan meninggalkan ruang sidang. Pada awalnya, Rapat Paripurna diwarnai
hujan interupsi yang mempersoalkan ketidakhdiran SBY dan lembaran jawaban yang
hanya ditandatangani Boediono saja.
29 Februari 2008
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, menyatakan
Tim 35 yang melakukan penyelidikan kasus ini BLBI I dan BLBI II tidak menemukan
adanya pelanggaran pidana yang dilakukan Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim.
Menurut Kemas Yahya, sesuai dengan surat penyelesaian utang Master Settlement
for Acquisition Agreement atau MSAA, kewajiban debitor kepada pemerintah
dianggap selesai jika aset yang dinilai sesuai dengan kewajiban dan diserahkan
kepada pemerintah. “Kami sudah berbuat semaksimal mungkin dan kami kaitkan
dengan fakta perbuatannya. Hasilnya tidak ditemukan perbuatan melanggar hukum
yang mengarah pada tindakan korupsi,” kata Kemas Yahya Rachman.
2 Maret 2008
Jaksa Urip Tri Gunawan yang menjadi ketua Tim Jaksa BLBI II
dicokok aparat KPK seusai bertandang ke rumah milik pengusaha Syamsul Nursalim
di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, Dari tangan Urip, penyidik KPK menyita
uang sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar. Uang ini diduga sebagai
uang suap terkait kasus BLBI. Selain Urip, KPK juga menahan Artalyta Suryani,
seorang pengusaha yang diketahui dekat dengan Sjamsul Nursalim dan juga Anthony
Salim.
2 Maret 2008
Wacana perguliran tentang hak angket mulai mengemuka di
kalangan anggota DPR menyusul tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan.
8 Maret 2008
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad Bandung, Romli
Atmasasmita. mengusulkan agar KPK mengambil alih pengusutan BLBI. Menurut dia,
kasus BLBI telah masuk ranah pidana, karena obligor yang tidak membayar
menyebabkan negara rugi. Selain itu, ada unsur penipuan di dalamnya, karena
tidak ada niat dari obligor nakal untuk melunasi utangnya. Saran ini mengacu
pada pasal 8 ayat 2 UU KPK yang memberi wewenang KPK mengambil alih penyidikan
atau penuntutan pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan polisi atau
jaksa.
10 Maret 2008
Usulan hak
angket kasus BLBI sudah diedarkan kepada para anggota DPR. Usulan hak
angket dimunculkan karena langkah penyelesaian kasus BLBI secara hukum yang
dirintis Kejaksaan Agung ternyata berakhir antiklimaks. Kejagung menghentikan
penyelidikan kasus yang diduga melibatkan sejumlah pengusaha kelas kakap itu.
“Apalagi dengan adanya jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Inilah yang
menyebabkan kami akan menggunakan hak angket,” ujar Dradjad Wibowo, anggota DPR
dari Fraksi PAN.
13 Maret 2008
Empat orang inisiator hak angket BLBI, Soeripto, Dradjad
Wibowo , Abdullah Azwar Anas dan Ade Daud Nasution secara resmi menyerahkan
draft hak angket kasus BLBI ke pimpinan DPR, Draft tersebut diterima langsung
oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di ruang kerjanya. Sebanyak 55 anggota
DPR telah memberikan tanda tangan sebagai bentuk dukungan.
6 Mei 2008
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan
praperadilan Masyarakat Antikorupsi Indonesia terhadap surat perintah
penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung atas kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim. Kejaksaan Agung
langsung menyatakan banding.
2009
Penangkapan Ketua KPK Antasari Azhar menjadi lonceng
kematian upaya penuntasan korupsi BLBI.
2014
Tekad Ketua KPK Abraham Samad menyidik kembali korupsi BLBI
untuk menuntaskan aspek hukum pidana yang terkait ternyata hanya bualan kosong
semata, karena penyidikan itu dilakukannya sekedar untuk menekan PDIP dan
Megawati agar menepati janji yang sudah disepakati sebelumnya, yakni:
kontribusi dan jasa Samad memanfaatkan KPK untuk menghancurkan musuh dan rival
politik PDIP guna memenangkan pemilu dan pilpres, akan dihargai dan dibayar
dengan pencawapresan Samad duet bersama capres Jokowi pada Pilpres 2014.
Janji PDIP itu terbukti tidak ditepati dan Samad akhirnya
gigit jari.
2015
Menko Polhukam Luhut B Panjaitan menegaskan kasus korupsi
BLBI tidak akan diteruskan lagi penyidikan dan penuntasannya.
Daftar Bank Penerima yang Melakukan Penyimbangan Dana BLBI
Terbesar
Ada 5 Bank dari 48 bank penerima dana BLBI yang melakukan
penyimpangan terbesar hingga 74% total BLBI yakni:
1. BDNI sebesar 24, 47 trilyun yaitu 28, 84% dengan pemilik
Syamsul Nursalim
2. BCA sebesar 15, 82 trilyun yaitu 18,64% dengan pemilik
Soedono Salim
3. Bank Danamon sebesar 13,8 trilyun yaitu 16,27% dengan
pemilik Usman Admadjaya
4. Bank Umum Nasional sebesar 5,09 trilyun yaitu 6,0 %
dengan pemilik Bob Hasan
5. Bank Indonesia Raya (BIRA) sebesar 3,66 trilyun yaitu
4,31 % dengan pemilik Atang Latief.
Sumber : Laporan Audit BPK RI No.06/01/Auditama II /AI/ VII
/2000
Selama ini para obligor besar dilindungi oleh Pemerintah Singapura dan
juga Penguasa Indonesia.
*********************
Mungkin rekan-rekan capek dan letih membaca kronologi yang
cukup panjang ini, tapi sadarkah bahwa penderitaan yang dirasakan oleh sebagian
besar rakyat lebih dari capek dan letih dari sekadar membaca?
Setiap tahun 50-60 triliun dana APBN rakyat harus tergerus
untuk membayar subsidi para bankir dan penerima BLBI. Disisi lain, rakyat
dipaksa membeli sumber kekayaan alam yang mahal dengan kebijakan pasar bebas
pada minyak dan (akan) listrik dan air, hal yang bertolak belakang dengan China
sejak Reformasi Agraria dan Keterbukaan tahun 1978.
Sangat ironis bahwa dengan alasan kooperatif membayar utang,
pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri telah
mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada 5 obligor MSAA dan 17 obligor
PKPS APU. 5 obligor kategori MSAA (Master Settlement Acuisition Agreement) yang
sudah mendapatkan SKL terdiri atas Anthony Salim dengan tingkat pengembalian Rp
19,4 triliun (37%), Sjamsul Nursalim Rp 4,9 triliun (17,3%), M Hasan Rp 1,7
triliun (27,4%), Sudwikatmono Rp 713 miliar (37,4%), dan Ibrahim Risjad Rp
370,8 miliar (55,7%). [sumber].
Artinya dari 5 obligor ini, secara defakto mereka masih
berutang kepada rakyat Indonesia sebesar 57.8 Triliun pada tahun 2003 (atau Net
Present Value dengan tingkat bunga 10% tahun 2009 sekitar 93 triliun), namun
dikatakan lunas.
Sungguhlah tidak adil bahwa hingga saat ini pemerintah masih
membayar bunga dan utang para rata-rata diatas 30 triliun hingga 60 triliun per
tahun. Justru pembayaran utang dan bunga para bankir dan obligor diperoleh dari
utang dalam dan luar negeri. Dan hingga Januari 2009, utang negara membengkak
hingga 1667 triliun. Saya masih tidak habis berpikir, mengapa masih banyak yang
memberi pertanyaan kepada saya mengapa Utang Negara Membengkak hingga 1667
Triliun dengan pertanyaan, padahal berkali-kali saya tegaskan bahwa inefisiensi
anggaran + pembayaran utang najis yang memberi subsidi kepada para bankir dan
obligorlah membuat utang kita membengkak. Keputusan pemerintah yang sangat
lemah dan (maaf) pengecut kepada para obligor, bankir, pemegang saham daripada
memperjuangkan keadilan bagi rakyat dan bangsa.
Jika kebijakan ekonomi membayar terus utang obligor dan
bankir dengan cara menambah utang negara, maka (maaf) anak SMA-pun bisa!
Seorang lulusan SMA atau SMK Ekonomi pun bisa. Jika memang pemimpin kita lebih
pro-rakyat, maka semestinya tim pemerintah dengan mengeluarkan seluruh tenaga
dan pemikiran serta dukunga masyarakat berjuang untuk menindak ketidakbenaran
ini. Mengapa BLBI dan penyehatan perbankan selama 1997-2004 senilai Rp 640,9
triliun harus dibebankan kepada rakyat sedangkan para bankir dan obligor serta
pemegang saham saat ini sedang berselancong dan tinggal di apartemen mewah?
Mengapa para nelayan, petani dan pemulung yang harus ikut membayar utang para
obligor ini dari pajak penjualan, bumi dan bangunan dan segala kekayaan alam
kita?
4 Skenario untuk 4 Kali Perampokan
Jika dirunut sejak awal, maka saya mengatakan bahwa
Indonesia (dan nusantara) telah 4 kali dirampok secara besar-besaran yakni 350
tahun penjajahan Belanda, 3.5 penjajahan Jepang, 32 tahun orba, dan ??? BLBI dan
turunannya BPPN. Dalam hal ini saya memberi suatu impian atau cita-cita yang
hendaknya menjadi solusi para calon pemimpin (apa boleh buat…hanya ada 3 capres
saja). Mekipun dari solusi itu akan terlihat ganjil dan sulit untuk terlaksana,
yakni
1. Perampokan Penjajahan Belanda Selama 150 tahun
Selama 150 tahun, kolonialisme Belanda mengeruk sumber
kekayaan olahan Indonesia dalam perkebunan, rempah-rempah dan diakhir-akhir
adalah minyak bumi dan tambang lain. Disamping itu, Belanda secara nyata-nyata
merampok hak hidup rakyat Indonesia dengan sistem paksa. Ribuan triliun
kekayaan alam kita dirampok bahkan nilai yang tidak dapat diuangkan dari
nyawa-nyawa rakyat kita yang diperbudak. Belum lagi warisan korupsi VOC yang
ditularkan kepada masyarakat nusantara.
Sudah semestinya
nenek-moyang pemerintah Belanda memiliki tanggungjawab moril kepada nenek
moyang bangsa kita.
2. Perampokan Penjajahan Jepang Selama 3,5 tahun
Dikatakan bahwa penderitaan penjajahan 3.5 tahun oleh Jepang hampir
sama dengan 350 tahun pemerintahan Belanda. Sama seperti kasus Belanda,
maka karena besarnya penderitaan fisik maupun mental akibat penjajahan Belanda
kepada kakek-nenek kita, maka secara moril dan materil Jepang harus mengganti
seluruh kerugian akibat perampokan sumber kekayaan alam, tanaman jarak,
romosha. Dan selama 3.5 tahun, pemerintahan Jepang diminta membayar
sekurang-kurangnya 25 triliun (total sekurang-kurangnya 87.5 triliun). Dan
secara tertulis dalam sebuah monumen di negeri Sakura mencantumkan pernyataan
maaf kepada nenek-moyang bangsa Indonesia.
3. Perampokan Penjajahan Ekonomi, Politik Selama Orba
(1967-1998)
Selama hampir 32 tahun, praktis negara
kita dikuasai oleh kekuatan asing. Itullah yang dikatakan oleh John Pilger
maupun John Perkins dan sejarawan Asviwarman. Selama 32 tahun Bank
Dunia, anggota Paris Club, lembaga keuangan menjerat Indonesia dengan utang
yang tidak terbayar dengan kebocoran/korupsi lebih kurang 30% dari 128 miliar
dollar. Disamping itu perusahaan MNC dan konglomerat cina menguras kekayaan
alam kita dan melakukan pembohongan publik seperti dilakukan Freeport yang
menambang emas tapi mengatakan menambang tembaga. Begitu juga kontrak kerja
migas, bijih besi, hutan dan lain-lain. Ratusan bahkan ribuan triliun kekayaan
alam kita dirampok di depan pejabat orba. Oleh karena itu, langkah pertama
adalah pemerintah harus menghapus 30% utang yang bocor dari lembaga keuangan.
Langkah kedua kontrak kerja/karya yang selama ini merugikan bangsa ditarik
bahkan jika dapat diminta pertanggungjawaban (ekstrimnya mengembalikan
kerugian).
4. Perampokan BLBI dan BPPN
Jika 3 perampokan pertama didominasi oleh orang asing, maka perampokan
keempat justru dilakukan oleh warga Indonesia dan disetujui oleh para pejabat
negara yang katanya “melaksanakan amanah rakyat”. BLBI adalah salah satu
sejarah perampokan yang masih dapat kita telusuri dan ikuti secara pasti hingga
detik ini. Perampokan uang negara dengan memberi BLBI yang tidak transparan
seperti laporan BPK dan penghianatan kepada rakyat Indonesia dengan menyatakan
lunas membayar padahal baru membayar setengah dari total utang kepada negara.
Begitu juga kasus penjualan bank BPPN dengan sangat murah serta BUMN strategis.
Ratusan bahkan triliun rupiah telah dirugikan atas transaksi ini. Semua angkat
tangan kasus ini. Solusinya: oke…kita beri win-win solution. Para pejabat yang
keliru memberi keputusan yang merugikan keuangan negara dan rakyat, majulah dan
mengakulah kepada publik. Lalu, kasus ini kita selesaikan secara bersama-sama.
Jujurlah bahwa keputusan yang keliru adalah keliru dan benar adalah benar.
Bagaimanapun hutang harus dibayar, dan sungguh tidak adil jika utang bankir dan
obligor ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia yang sama sekali tidak
mencicipinya. Sungguh tidak adil….seorang kreditor motor yang telah membayar 18
dari 24 bulan harus rela motornya disita karena selama 2 atau 3 bulan tidak
sanggup membayar, padahal sudah 75% kreditor tersebut kooperatif dalam mencicil
utang. Inilah ketidakadilan.
*********
Siapakah bertanggungjawab? Inilah pertanyaan besar? Ini pula
janji-janji mereka pada tahun 2014. Selama baru setahun lebih 5, pemerintah
proxy pro cina dan RRC ini ternyata sangat senang memperkayakan para
konglomerat cina dan negara China (RRC). Pemerintahan Jokowi jor-joran menerima
utang dari RRC, baik dengan jaminan negara atau pun jaminan BUMN seperti proyek
kereta cepat Bandung-Jakarta.
Hanya dalam waktu setahun, Presiden Jokowi dan BUMN-BUMN RI
telah berutang dengan China sebesar Rp. 850 triliun. Utang pemerintah RI kepada
RRC memang tanpa prosedur rumit, namun bunga utang mencapai 2%/tahun, jauh di
atas bunga utang kreditur lain yang hanya 0.5-1.0%/tahun.
Utang proyek-proyek BUMN seperti pengadaan armada pesawat
Garuda, proyek kereta cepat Bandung-Jakarta, pembangunan bandara, pembangkit
listrik, dan lain-lain, yang dominan dari China, dipastikan akan tak mampu
dibayar lunas oleh BUMN. Akibatnya, tunggakan utang ini nantinya akan menjadi
pintu masuk bagi RRC untuk menguasai BUMN-BUMN RI.
Modal kerja sebesar Rp. 50 triliun utang dari China untuk
empat Bank BUMN RI dipastikan akan menjadi akses utama bagi China menguasai
bank BUMN RI dalam beberapa tahun ke depan.
Semoga Nasionalisme Bangsa kita Bangkit. Bangkitlah Mental
Bangsaku, Bangkitlah Jiwa Bangsaku untuk Berani Menegakkan Keadilan dan
Kebenaran. Berani katakan “Tidak pada Mereka yang Membela Ketidakbenaran!
Semoga Indonesiaku Bangkit, Semogat Rakyatku Bangkit.
Bangunlah secara menyeluruh untuk Kebangkitan Nasional Bangsa Indonesia.