Jakarta – Apabila rencana revisi Undang –undang Komisi
Pemberantasan Korupsi (UU KPK) diterima dan kemudian
disahkan, dan umur komisi anti rasuah hanya 12 tahun, maka
kasus kakap, seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) atau pun kasus Bank Century, akan menguap.
Kasus besar itu akan menjadi fosil sejarah, tanpa pernah dituntaskan. Semua akan ditaruh d ilaci meja. Dan, yang bersorak sorai adalah para pengemplang BLBI, serta para penikmat duit korupsi. Karena itu, publik anti korupsi, harus rapatkan barisan. Markas pemberantas korupsi di Rasuna Said harus tetap ada, bahkan mesti kian kuat posisinya. “Kalau umur cuma 12 tahun, kasus-tahun besar seperti Century, BLBI malah bisa menguap dan habis nanti,” kata Bambang Widodo Umar, dosen Universitas Indonesia yang dikenal juga sebagai pengamat ini.
Bambang yang berbicara sebagai narasumber diskusi “Jangan Bunuh KPK”, yang digelar di Kantor Indonesian Corruption Watch (ICW), di Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (11/10), berpendapat, ukuran 12 tahun itu, juga tidak jelas dari mana asal atau dasar perhitungannya.
Namun yang pasti, serangan ke KPK kian kencang. Lebih kencang dari kasus Cicak vs Buaya jilid I. Kini, yang diserang tak lagi personal di KPK, tapi sudah menyerang struktur dan keberadaan komisi anti korupsi itu sendiri. “Kalau dulu orangnya yang diserang, sekarang strukturnya yang diserang,” katanya.
Dalam paparannya, Bambang Widodo Umar mengkritik keras, tentang klausul yang masuk dalam draf revisi UU KPK, seperti aturan kasus diatas 50 miliar. Di mata Bambang Widodo, aturan aturan di atas 50 miliar atau umur 12 tahun, bukan hanya memperlemah KPK tapi juga mematikan komisi anti korupsi. Komisi pemberantas tengah coba dibunuh secara sistematis. “Dan itu bisa mengganggu perjalanan pembangunan nasional Indonesia,” katanya.
Sementara pembicara lain, Betty Alisjahbana mengatakan, kalau memang ada masalah, misalnya penyalahgunaan wewenang penyadapan, tinggal dilakukan diaudit saja.
Adanya KPK, sebenarnya kata Betty, salah satu alasannya karena belum efektifnya kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi. Harus diakui, KPK sekarang adalah lembaga penegak hukum yang menempati posisi tertinggi untuk kepercayaan publik. “Kedepannya KPK diharapkan bisa memberdayakan peran kepolisian dan kejaksaan,” ujarnya.
Sikap Presiden
Sedangkan pengamat sosial, Benny Susetyo langsung menyentil Presiden Jokowi. Kata dia, Jokowi dipilih karena dianggap punya moralitas publik.
Maka, dalam situasi sekarang ini, publik sangat menunggu sikap tegas dari sang kepala negara. Jokowi, sebagai panglima tertinggi di negeri ini, mesti segera bersikap. “Maka segeralah mengambil tindakan yang tegas bahwa pemerintah tidak mau ada revisi UU KPK,” katanya.
Benny Susetyo pun meminta Presiden harus segera mengambil tindakan, mengakhiri kegaduhan yang tak perlu ini. Polemik revisi UU KPK, akan selesai, bila Istana menyatakan dengan tegas menolak itu. Dan, Presiden yang mesti bersuara, bukan yang lain yang mengatasnamakannya. “Dan revisi itu ditarik kembali, maka masalah ini selesai.
Mana janji kampanye Jokowi dalam nawacita, yang katanya akan menjaga KPK dan akan memberi anggaran 10 kali lipat? Kami menagih itu,” ujarnya.
www.koran-jakarta.com
Kasus besar itu akan menjadi fosil sejarah, tanpa pernah dituntaskan. Semua akan ditaruh d ilaci meja. Dan, yang bersorak sorai adalah para pengemplang BLBI, serta para penikmat duit korupsi. Karena itu, publik anti korupsi, harus rapatkan barisan. Markas pemberantas korupsi di Rasuna Said harus tetap ada, bahkan mesti kian kuat posisinya. “Kalau umur cuma 12 tahun, kasus-tahun besar seperti Century, BLBI malah bisa menguap dan habis nanti,” kata Bambang Widodo Umar, dosen Universitas Indonesia yang dikenal juga sebagai pengamat ini.
Bambang yang berbicara sebagai narasumber diskusi “Jangan Bunuh KPK”, yang digelar di Kantor Indonesian Corruption Watch (ICW), di Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (11/10), berpendapat, ukuran 12 tahun itu, juga tidak jelas dari mana asal atau dasar perhitungannya.
Namun yang pasti, serangan ke KPK kian kencang. Lebih kencang dari kasus Cicak vs Buaya jilid I. Kini, yang diserang tak lagi personal di KPK, tapi sudah menyerang struktur dan keberadaan komisi anti korupsi itu sendiri. “Kalau dulu orangnya yang diserang, sekarang strukturnya yang diserang,” katanya.
Dalam paparannya, Bambang Widodo Umar mengkritik keras, tentang klausul yang masuk dalam draf revisi UU KPK, seperti aturan kasus diatas 50 miliar. Di mata Bambang Widodo, aturan aturan di atas 50 miliar atau umur 12 tahun, bukan hanya memperlemah KPK tapi juga mematikan komisi anti korupsi. Komisi pemberantas tengah coba dibunuh secara sistematis. “Dan itu bisa mengganggu perjalanan pembangunan nasional Indonesia,” katanya.
Sementara pembicara lain, Betty Alisjahbana mengatakan, kalau memang ada masalah, misalnya penyalahgunaan wewenang penyadapan, tinggal dilakukan diaudit saja.
Adanya KPK, sebenarnya kata Betty, salah satu alasannya karena belum efektifnya kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi. Harus diakui, KPK sekarang adalah lembaga penegak hukum yang menempati posisi tertinggi untuk kepercayaan publik. “Kedepannya KPK diharapkan bisa memberdayakan peran kepolisian dan kejaksaan,” ujarnya.
Sikap Presiden
Sedangkan pengamat sosial, Benny Susetyo langsung menyentil Presiden Jokowi. Kata dia, Jokowi dipilih karena dianggap punya moralitas publik.
Maka, dalam situasi sekarang ini, publik sangat menunggu sikap tegas dari sang kepala negara. Jokowi, sebagai panglima tertinggi di negeri ini, mesti segera bersikap. “Maka segeralah mengambil tindakan yang tegas bahwa pemerintah tidak mau ada revisi UU KPK,” katanya.
Benny Susetyo pun meminta Presiden harus segera mengambil tindakan, mengakhiri kegaduhan yang tak perlu ini. Polemik revisi UU KPK, akan selesai, bila Istana menyatakan dengan tegas menolak itu. Dan, Presiden yang mesti bersuara, bukan yang lain yang mengatasnamakannya. “Dan revisi itu ditarik kembali, maka masalah ini selesai.
Mana janji kampanye Jokowi dalam nawacita, yang katanya akan menjaga KPK dan akan memberi anggaran 10 kali lipat? Kami menagih itu,” ujarnya.
www.koran-jakarta.com
No comments:
Post a Comment