JAKARTA – Sektor pangan saat ini dinilai sebagai kunci dari national security atau keamanan nasional. Oleh karena itu, setiap negara akan memprioritaskan kekuatan pangan masing-masing guna menjamin keamanan negara mereka. Bagi Indonesia pun, sebagai negara berpenduduk keempat terbesar dunia, masalah pangan sangat berpengaruh bagi national security, dan kebutuhannya kian meningkat setiap tahun.
Untuk itu, pemerintah perlu segera mewujudkan kemandirian pangan dengan sumber dari dalam negeri sendiri. Jangan menunggu bencana kelaparan pangan ketika negara eksportir enggan menjual pangan ke negara lain karena mendahulukan kepentingan negara masing-masing. Pengamat pertanian Khudori mengatakan pangan merupakan bagian dari keamanan nasional yang sangat strategis, bahkan melebihi kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista) yang canggih sekalipun. Melalui kemandirian pangan, ketahanan nasional bakal terwujud sehingga menjamin keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Sudah seharusnya pemerintah lebih serius mewujudkan kemandirian pangan, misalnya membantu meringankan kinerja petani. Petani bisa dibantu dengan memberikan kemudahan memeroleh modal kerja atau perbaikan infrastruktur lahan pertanian,’’ papar Khudori ketika dihubungi, Senin (4/11).
Ia menilai pemerintah Indonesia hingga saat ini terlihat belum serius mewujudkan program kemandirian pangan. Belum terlihat kemauan nyata dari pemerintah Indonesia untuk membantu pertanian Indonesia sehingga bisa keluar dari ketergantungan pangan impor yang membebani. Indonesia saat ini mengalami defi sit pada hampir semua komoditas pangan seperti beras, gandum, jagung, dan gula, sehingga masih bergantung pada impor. Akibatnya, impor pangan menghabiskan devisa hingga 12 miliar dollar AS per tahun. Padahal, menurut Khudori, dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk mendukung pengembangan petani dan industri Indonesia.
"Yang terjadi selama belasan tahun kita justru mendukung petani negara-negara eksportir pangan dunia." Sebelumnya, Wakil Dekan FEB-UGM, M Edhie Purnawan, menegaskan persaingan dunia di sektor pertanian adalah persaingan terhadap kedaulatan perekonomian sebuah bangsa. Tidak bisa dimungkiri bahwa selama ini negara-negara di dunia sedemikian protektif terhadap sektor dan industri manufaktur di bidang pertanian.
Bahkan negara-negara maju sekalipun, mereka sangat sensitif ketika memperjuangkan farmer dan rancher mereka. "Bagi Indonesia, perjuangan di sektor pertanian terihat kurang hebat. Perjuangan di sektor ini sangat mendesak karena sektor ini menguasai penghidupan banyak sekali rumah tangga Indonesia," jelas Edhie.
Berdasarkan kepentingan strategik dan kedaulatan Indonesia, lanjut dia, pemerintah tidak perlu ragu memproteksi sektor pertanian dan industri manufaktur di sektor pertanian dalam satu sistem rantai agribisnis. Jaminan Harga Menurut Edhie, tanpa keberpihakan pemerintah, mustahil sektor pertanian Indonesia mampu berdaulat di negeri sendiri karena kalah bersaing dengan petani dari negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), yang diproteksi ketat dan disubsidi sangat besar oleh pemerintahnya.
"Karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk bersatu padu, mendukung sektor pertanian dengan proteksi yang inovatif, negosiasi dalam percaturan pertanian dunia yang cemerlang, serta memacu produktivitas dengan berbagai cara," imbuh Edhie. Salah satu bentuk proteksi adalah menerapkan tarif impor tinggi guna melindungi kepentingan petani dalam negeri.
Akan tetapi, saat ini tarif impor produk pangan Indonesia terbilang sangat rendah, berkisar 5 persen. Padahal, negara raksasa seperti AS memberikan jaminan harga pangan kepada petaninya, seperti gula, lebih dari 60 persen dari harga dunia. Apabila petani AS diproteksi ketat pemerintahnya, kata Khudori, saat ini sebagian besar petani di tanah air mendapat diskriminasi dari perbankan. Alasannya, para petani umumnya tidak memiliki jaminan sertifi kasi maupun asuransi guna memenuhi persyaratan menerima kredit modal dari bank. mza/WP
koran-jakarta.com
No comments:
Post a Comment