Oleh: Ferdiansyah Rivai
Sabtu kemarin, melalui website Sekretaris Kabinet, Dr. Teuku
Faizarsyah, Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional merilis berita
berikut “Presiden SBY akan menerima penganugerahan gelar Honoris Doctoral
(Doctor of Letters) dari Nanyang Technological University (NTU). Penganugerahan
ini merupakan pengakuan dari dunia akademis di Singapura atas kemajuan
Indonesia di berbagai bidang di bawah kepemimpinan Presiden SBY. Selain itu,
Penganugerahan gelar tersebut juga dikaitkan dengan kontribusi Presiden SBY
tidak hanya bagi penguatan hubungan dan kerjasama Indonesia-Singapura tetapi juga bagi perdamaian,
stabilitas dan kemajuan di kawasan dan di dunia internasional”.
Jika saja bukan Nanyang Technological University (NTU) yang memberikan
gelar, mungkin berita ini tidak akan terhighlight sedemikian rupa di pikiran
saya. Mungkin saya hanya akan sedikit tersenyum getir. Mungkin juga sedikit
bangga karena ada institusi pendidikan tinggi yang menilai Presiden Indonesia
berprestasi dan memiliki kontribusi bagi dunia internasional. Dan setelah itu
ya sudah, cukup. Namun kali ini beda, ada seutas pikiran saya yang terusik.
Siapa David Hartanto? (Menolak
Lupa)
Saya harap kita semua memiliki ingatan yang baik. Pada medio 2009, Indonesia
pernah digegerkan oleh kabar kematian seorang anak bangsa yang sangat cemerlang
bernama David Hartanto, mahasiswa Fakultas Teknik NTU yang pernah mewakili
Indonesia di Olimpiade Matematika Internasional. Ia diberitakan
meninggal bunuh diri dengan melompat dari lantai 4 gedung kampus NTU setelah
menusuk Profesor pembimbing Final Year Project (semacam skripsi) nya. Umumnya
media massa memberitakan David terkena depresi akibat pemutusan beasiswa dari
ASEAN, padahal penelitiannya membutuhkan biaya besar dan masih membutuhkan
waktu yang cukup lama.
Kematian David menimbulkan polemik besar yang sampai saat ini menurut
saya belum memiliki kejelasan. Beberapa
pihak lain menilai kematian David lebih terkesan karena dibunuh daripada bunuh
diri. Ini ada kaitan dengan penelitiannya yang sarat akan nilai
keekonomian.
Sebelum kematiannya, David sedang menggarap penelitian berjudul Multiview Acquisition from
Multi-camera Configuration for Person Adaptive 3D Display. Hasil
penelitian David dinilai akan menghasilkan suatu metode yang dapat digunakan
untuk membuat aplikasi multi kamera yang mampu menghasilkan gambar 3 Dimensi
yang bisa tayang di udara. Aplikasi ini sangat berguna misalkan untuk kebutuhan
intelijen di mana sosok orang digital bisa diprogram masuk ke ruang tertentu
dipantau melalui kamera CCTV dan gerakannya dipandu pemindai gerak (motion
capture). Gambar visual ini mampu mengirim data, suara, layaknya manusia
sesungguhnya yang sedang kita perintah bekerja. Aplikasi ini juga berguna bagi
televisi masa depan, di mana kita dapat menonton tayangan 3 Dimensi tanpa
kacamata khusus. Aplikasi ini pun dapat diterapkan pada layanan-layanan
commercial public seperti resepsionis, dan lain-lain.
Jika benar, maka wajar jika David menjadi sorotan. Ia cemerlang, track
recordnya bagus, penelitiannya pun sangat super jenius. Lalu mengapa ia sampai
bunuh diri? Benarkah karena pemutusan beasiswa?
Seperti berita yang ada di beberapa media massa, keluarga David telah
mengetahui kabar mengenai pemutusan beasiswa dua minggu sebelum kematian David. Dan keluarga pun tidak
berkebaratan untuk menanggung biaya kuliah. Pihak NTU pun juga menawari biaya kuliah yang
dapat dicicil selama 20 tahun. Ini sungguh janggal.
Selain itu, hasil pemeriksaan mayat David memperlihatkan tidak adanya sayatan pada nadi
di tangan seperti yang diberitakan. Anehnya lagi, ditemukan tiga luka pada leher
David yang sebelumnya tidak
pernah diberitakan. Tubuh
david pun tidak mengalami hancur parah selayaknya orang yang terjun dari tempat
tinggi.
Seorang wanita pegawai NTU juga mengaku mendengar suara David yang
beteriak “they want to
kill me” sesaat sebelum kejadian. Namun ia mengira itu hanya suara
candaan biasa. Keanehan lainnya yang terjadi, pihak keluarga tidak bisa menemui
pihak pimpinan NTU dengan alasan jadwal yang sangat padat. Selang beberapa
hari, asisten laboratorium tempat David biasa praktikum yang diduga mengetahui
detil kejadian juga meninggal dunia. Dan yang lebih parah lagi, semua hard disk tempat
penyimpanan hasil penelitian David raib disita oleh pihak kepolisian Singapura.
Kejanggalan-kejanggalan ini memang merupakan hasil dari investigasi
lembaga-lembaga independen, salah satunya juga melibatkan ayah David. Sedangkan
kebanyakan media-media
massa utama tetap terpaku pada kabar-kabar yang diberitakan oleh media-media
massa Singapura. Inilah yang banyak disesalkan banyak pihak. Padahal
kita tahu, media massa di Singapura diatur sangat ketat oleh pemerintah.
Selain itu pihak Kepolisian Indonesia tidak dapat berbuat apa-apa,
karena Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi
dengan Singapura. Pihak KBRI
pun kala itu cenderung pasif, termasuk Presiden.
SBY dan Penghargaan Dari NTU
Dengan simpang siurnya kasus David ini, SBY seharusnya berpikir ulang untuk menerima
penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari NTU -menurut juru bicara
SBY kita harus bangga karena NTU adalah salah satu kampus terbaik di dunia,
tapi manakah yang lebih penting, kebanggan itu? atau harga diri negara?-.
Selain keluarga David, tentu banyak orang Indonesia yang kecewa dengan sikap
Indonesia terhadap kasus ini. Maka penganugerahan ini pun cenderung akan
menyakiti pihak-pihak tertentu.
Mari kita bandingkan dengan kejadian lain. Masih ingat kasus warga negara Australia terpidana
kasus narkoba yang mendapat ampunan hukuman dari SBY? Karena ada tekanan
dari pihak pemerintah Australia, SBY bisa mengambil langkah itu. Ini aneh kan?
Lalu kenapa SBY tidak berani melakukan hal serupa pemerintah Australia dalam
mengatasi kasus ini? –dan juga kasus-kasus lain seperti TKI yang disiksa-.
Padahal kasus yang dihadapi warga negara kita di luar negeri jauh lebih
bermartabat daripada kasus narkoba.
Dulu, Jean Paul Sartre pernah menolak hadiah Nobel Sastra karena ia tau
selain ada yang lebih pantas, dia juga akan cenderung menyakiti hati beberapa
pihak. Frans Magnis Susesno juga pernah menolak hadiah Bakrie Awards dengan
alasannya yang sangat mendalam “Hati nurani saya menolak hadiah ini, dan saya
tidak pernah bisa menolak hati nurani”. Hal serupa juga dilakukan oleh Sitor
Situmorang dan Goenawan Moehammad. Mochtar Lubis juga pernah mengembalikan
Ramon Magsaysay Awards. Ini semua adalah contoh nyata sikap yang bisa diambil
dalam kasus seperti ini.
Sekarang saya menantang SBY agar tetap datang ke NTU, lalu kemudian
pada pidatonya dengan tegas menolak penganugerahan gelar ini. Kemudian SBY juga
saya tantang untuk meminta pihak NTU secara terang-benderang meminta maaf atas
kejadian 4 tahun lalu tersebut, karena dianggap telah lalai dan gagal dalam
menjaga mahasiswanya dengan baik –khusunya mahasiswa Indonesia yang belajar di
sana-. Ini merupakan masalah kedaulatan negara. Setelah kita kehilangan
kedaulatan penuh terhadap ekonomi, seharusnya kita mampu mengalihkan perhatian
untuk memastikan kedaulatan kita terutama yang terkait dengan hak asasi manusia
warga negara kita baik di dalam negeri maupun yang di luar negeri.
Tapi pertanyaannya, mungkinkah SBY melakukan hal ini?