FASTNEWS, Jakarta (7/11) - Penandatanganan Perjanjian PT Pertamina (Persero) - Sonangol EP kurang dari 7 hari
Kabinet Kerja, 31 Oktober adalah suatu keajaiban mengingat proses kerjasama
biasanya perlu waktu lama negosiasinya. Belum lagi, nama Sonangol mungkin tak
akrab di sebagian besar publik ditambah kepastian tidak dibubarkannya Petral. Ternyata,
nama Bos Media Group, Surya Paloh ada di balik impor minyak Angola tersebut.
Pendiri Partai Nasdem ini tak menampik soal peran masuknya Angola dalam
sistem perdagangan BBM di Indonesia. Ia mengakui menyarankan Presiden Jokowi
agar Pertamina bekerjasama dengan Sonangol. "Tapi saran kecil saja,"
ujar Surya kepada KONTAN di Kantor Partai Nasdem, Jakarta, dengan nada
merendah. Surya menyatakan saran itu bertujuan membantu pemerintah baru agar
bisa menghemat dari impor minyak dan bahan bakar minyak (BBM).
Maklum, selama ini Pertamina mengimpor minyak melalui pihak ketiga atau
trader alias tidak membeli minyak langsung ke produsennya. Akibatnya, kata
pemilik Media Group ini, impor minyak jadi mahal dan memberatkan negara. Nah,
ia yakin, jika Indonesia membeli langsung ke produsen, biaya impor bisa
ditekan. "Seperti yang dilaksanakan dengan Sonangol, itu baik," kata
Surya. Namun, kendati melibatkan PT Surya Energi Raya, perusahaan minyak miliknya, dalam
mempertemukan Pertamina dan Sonangol, Surya Paloh membantah dirinya memiliki
kepentingan bisnis dalam impor minyak Angola. "Saya hanya memperkenalkan
mereka. Setelah itu tak ada hubungan lagi," tandasnya. Sebagai catatan, Grup Sonangol adalah kongsi
lama Surya Paloh.
Tahun 2009, Surya
Energi mendapat pinjaman modal dari China Sonangol International Holding Ltd.
Anak usaha Sonangol EP tersebut menyuntikkan dana US$ 200 juta ke Surya Energi
untuk menggarap Blok Cepu. Asal tahu saja, Surya Energi adalah pemilik 75%
saham PT Asri Darma Sejahtera. Sementara 25% saham perusahaan ini dikuasai oleh
Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Asri Darma inilah yang mendekap
4,5% saham blok minyak jumbo di Cepu. Direktur Utama Surya Energi, Reri
Murdijat menyatakan, Surya Energi memang terlibat memfasilitasi kerjasama
Pertamina dengan Sonangol. Namun, "Kami tidak memiliki hubungan apapun
dalam kerjasama antara Pertamina dengan Sonangol," tandas dia. Dia
menyatakan, kerjasama Surya Energi dengan Grup Sonangol sebatas pada pendanaan
proyek Blok Cepu tahun 2009 yang senilai US$ 200 juta itu. "Saya enggak
bisa ngomong lebih detail," jelas dia. Bisnis minyak memang menggiurkan.
Mudah-mudahan saja deal bisnis ini tak melahirkan trader baru.
Sementara itu,
pengamat dari Energy Watch Mamit Setiawan heran, proses penjajakan perjanjian
berlangsung begitu cepat. Ia menuturkan belum pernah mendengar kajian
pemerintah terkait impor BBM dari Angola. Mamit khawatir, perjanjian ini telah
direncanakan cukup lama oleh mereka yang mengincar keuntungan tertentu. “Jangan
sampai istilah kejar setoran terjadi,” katanya.
Untuk membuktikan mafia migas tidak berperan dalam perjanjian ini,
Mamit berkata, pemerintah harus transparan soal harga beli dan jenis minyak
yang diimpor, termasuk biaya pengapalannya. Dengan membuka data tersebut ke
publik, masyarakat bisa turut menghitung penghematan anggaran yang bisa
dilakukan pemerintah.
Sedangkan Pengamat kebijakan energi, Sofyano Zakaria, meminta Presiden
Joko Widodo mengkaji lebih jauh rencana kerjasama pembelian minyak dari
Sonangol EP milik perusahaan asal Portugal di Republik Angola, Afrika. Sofyano meragukan dengan membeli
minyak asal Anggola itu akan menghemat pengeluaran negara sebesar 25 persen.
"Selain itu,
perlu juga diteliti oleh pemerintah, apakah Sonangol EP menguasai 100 persen
hasil minyak yang dihasilkannya. Sebab, berdasarkan data Energy
Intelegence Research, yang mereka lansir pada tahun 2011, Chevron dan Exxon turut
terlibat dalam pengelolaan migas di Angola yang bekerjasama dengan Sonangol EP,
National Oil Company of Angola," ungkap Sofyano kepada pers di Jakarta.
China Connection?
Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad H Wibowo, merasa
terkejut atas penandatangan kerja sama PT Pertamina dengan Sonangol.
Menurutnya, ladang minyak di Angola sudah menjadi jatah China. Lantas ia terkejut, ketika
Menteri ESDM Sudirman Said tiba-tiba menyebutkan akan mencari minyak murah dari
Angola. "Saya langsung
berpikir, siapa yg menjadi China connection pemerintahan Jokowi?" kata
Dradjad .
Kekagetan Dradjad ini terkonfirmasi dengan MoU yang diteken PT Kereta
Api Indonesia (KAI) dengan China International Fund (CIF). Kesepakatan
menandatangani nota kesepahaman ini bersamaan dengan kunjungan Menteri Luar
Negeri China, Wang Yi, pada Senin lalu (3/11). "MoU ini penuh
kerahasiaan," tambah Dradjad.
Dradjad pun mengungkapkan, ada tokoh bisnis yang sangat kuat tapi
dikenal kontroversial oleh Barat, yaitu Sam
Pa. Sam Pa dianggap media-media Barat sebagai pemilik CIF. Di Angola,
tangannya melalui China Sonangol. Dan Sam Pa ini memiliki koneksi sangat kuat
dengan para kepala negara di Afrika dan Amerika Latin.
"Tidak mungkin CIF bisa cepat meneken MoU jika tidak ada koneksi
sebelumnya. Sam Pa ini juga dekat dengan Presiden Xi Jinping dari China. Jadi,
siapa China connection di pemerintahan Jokowi?" kata Dradjad penuh tanya.
Dradjad menambahkan, Grup CIF ini kadang-kadang disebut The 88 Queensway Group.
Penamanaan ini karena lokasi kantor pusatnya di 88 Queensway, Hongkong.
Di sektor properti Indonesia, China Sonangol Land telah mengakuisisi EX Plaza Indonesia,
Thamrin, Jakarta Pusat, untuk dikonversi menjadi pengembangan multifungsi EX
Building yang mencakup perkantoran, ruang ritel, kondominium, dan service
apartment dengan penganggaran sekitar Rp 6 triliun
Selain mengakuisisi EX Plaza, China Sonangol Land juga bermitra dengan
Sampoerna Group. Keduanya sepakat akan membangun dua menara baru Sampoerna
Strategic Square di Jl Jendral Sudirman, dengan kapasitas area sewa seluas
234.000 meter persegi. Kedua gedung ini berdiri di atas lahan seluas 34.735
meter persegi.
No comments:
Post a Comment