Sindonews.com - Mantan Menteri Keuangan (Menkeu), Fuad Bawazier memprediksi, nilai tukar rupiah akan terus melemah sampai tahun depan.
Menurutnya, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD), bukan tanpa sebab. Dia mengungkapkan, ada sepuluh faktor yang menyebabkan nilai tukar rupiah terus melemah. "Rupiah melemah itu banyak faktornya," kata dia kepadaSindonews, Kamis (28/11/2013).
Pertama, kata dia, neraca perdagangan tahun ini defisit karena lebih besar impor daripada ekspor. Kedua, neraca transaksi berjalan juga mengalami defisit karena pembayaran-pembayaran utang luar negeri yang banyak jatuh tempo.
"Ketiga, hot money yang sering dijadikan andalan pemasukan valas mulai pulang kampung," kata Fuad yang juga sebagai praktisi ekonomi ini.
Keempat, ekspektasi pasar bahwa cadangan devisa yang menurun karena faktor-faktor tersebut cenderung akan terus menurun sampai tahun depan. Kelima, paket-paket kebijakan ekonomi pemerintah hanya berjalan di atas kertas, namun di lapangan tidak efektif.
Keenam, lanjut Fuad, pasar juga membaca secara jelas dan kawatir bahwa para petinggi negeri yang bertanggung jawab atas ekonomi sibuk dengan urusannya masing-masing.
"Budiono sibuk menghadapi skandal Bank Century, Hatta Rajasa sibuk politik, Gita Wirjawan sibuk konvensi Partai Demokrat. Pada 2014 semakin auto pilot," ujarnya.
Sementara, faktor ketujuh adalah program MP3EI yang dinilai praktis tidak berjalan. "Boro-boro mau mempercepat alias akselerasi pertumbuhan, target yang biasa (normal) saja tidak tercapai. Pertumbuhan ekonomi di bawah target," katanya.
Faktor kedelapan adalah pasar yang membaca bahwa dengan akan di terapkannya tight money policy di USA, kurs rupiah akan semakin melemah dengan akibat lebih lanjut inflasi akan berlanjut. Kesembilan yaitu akibat lebih lanjut APBN akan semakin besar defisitnya untuk bayar utang luar negeri dan bunga.
Terakhir, kata dia, dengan prospek ekonomi yang suram, maka pada 2014 sebagai tahun politik, tidak ada investasi baru. "Paling-paling yang ada mengajukan izin investasi. Kesimpulannya Indonesia diambang kesulitan ekonomi yang serius," pungkas Fuad.
Seperti diketahui, nilai tukar rupiah terus mengalami pemelahan. Pada sore hari ini, nilai tukar rupiah terhadap USD menyentuh level psikologis baru ke Rp12.000/USD seiring anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir perdagangan.
Nilai tukar rupiah terhadap USD berdasarkan data Bloomberg sore ini berada di level Rp12.018/USD. Posisi ini melemah 132 poin dari penutupan kemarin di level Rp11.886/USD.
Masih berdasarkan data Bloomberg, rupiah pagi tadi dibuka pada level Rp11.880/USD. Adapun, poisisi rupiah terkuat hari ini di level Rp11.858/USD dan terlemah di level Rp12.028/USD.
Data yahoofinance mencatat, mata uang domestik hari ini di level Rp11.995/USD, dengan kisaran harian Rp11.885-11.988/USD. Posisi ini terkoreksi signifikan 110 poin dari penutupan sore kemarin di level Rp11.885/USD.
ekbis.sindonews.com
Tuesday, December 3, 2013
Sunday, December 1, 2013
Mari Beternak Tanpa Mencari Rumput Melalui Teknologi 'Hi-Fer'
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr. Ir. Suryahadi, DEA*
Upaya pencapaian program swasembada daging sapi selain memerlukan ketersediaan bibit/bakalan sapi, juga adanya kesiapan penyediaan pakan yang cukup dan berkelanjutan dengan mutu yang memadai serta harga murah.
Ketersediaan pakan yang belum memadai mengakibatkan terjadinya kesulitan dalam peningkatan populasi ternak sapi. Ketersediaan hijauan pakan di Indonesia merupakan tema utama yang menjadi pembatas perkembangan ternak.
Salah satu komponen pakan yang utama adalah hijauan karena hijauan merupakan bahan pakan utama (lebih dari 80 persen dari total bahan kering).
Jumlah ternak sapi pada tahun 2011 sebanyak 14,8 juta ekor dan meningkat sekitar 0,07 persen pada tahun berikutnya (Ditjennak, 2012).
Kebutuhan minimum ternak ruminansia per satuan ternak (ST) adalah 1,14 ton bahan kering/tahun maka diperkirakan jumlah hijauan pakan yang diperlukan seluruhnya pada tahun 2012 adalah 18,3 juta ton bahan kering (BK).
Jumlah tersebut tergolong sangat banyak diperkirakan untuk mendukung program swasembada daging sehingga perlu adanya program maupun upaya penyediaan pakan hijauan berkelanjutan.
Secara perkiraan potensi ketersediaan pakan sangat tinggi, baik yang berasal dari hijauan maupun limbah pertanian. Hal tersebut dimungkinkan karena didukung oleh ketersediaan sumber daya lahan tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan.
Jika potensi lahan yang ada dapat dimanfaatkan 50 persen saja, jumlah ternak yang dapat ditampung mencapai 29 juta satuan ternak. Hal tersebut belum termasuk padang rumput alam, yang jika diperbaiki dan ditingkatkan kualitasnya dengan menggunakan rumput unggul mampu meningkatkan daya tampungnya secara nyata.
Oleh karena itu, diperlukan teknologi tepat guna, yang bersifat terpadu menyangkut teknologi pengolahan, pengemasan, transportasi dan distribusi, dan mampu menangani permasalahan pakan dari hulu sampai hilir (sejak proses produksi, sampai pada penggunaannya di tingkat peternak).
Sebagai bagian dari institusi/perguruan tinggi, Pusat Studi Hewan Tropika/Center for Tropical Animal Studies (Centras) LPPM-IPB telah dan akan terus mengembangkan berbagai inovasi teknologi tepat guna dan terpadu untuk meningkatkan penyediaan pakan bermutu di Indonesia.
Centras telah menghasilkan berbagai produk, di antaranya adalah probiotik dan komplemen pakan (KP) yang telah dibuktikan mampu memberikan efek positif bagi ternak.
Selanjutnya, hasil tersebut akan dimanfaatkan lebih lanjut dalam memproduksi Hi-fer.
Kelebihan dari teknologi ini adalah: (1) dapat diproduksi oleh masyarakat (petani) secara masal; (2) mudah (secara manual dengan peralatan dan bahan tersedia di lokasi setempat); dan (3) biaya murah.
Agar inovasi teknologi tepat guna, perlu model pengembangan produk Hi-fer dengan berbasis pada pemberdayaan masyarakat oleh perguruan tinggi.
Permasalahan Pakan Ternak
Terdapat sejumlah permasalahan terkait dengan pakan ternak. Pertama, mutu pakan yang variatif (cenderung kurang) karena pakan kebanyakan merupakan limbah lignoselulolitik dengan kadar Total Digestible Nutrient (TDN) dan protein yang rendah.
Kedua, produksi pakan musiman (seasonal movement), umumnya produksi akan menurun ketika musim kemarau, yaitu pada bulan April hingga September.
Pada bulan tersebut peternak akan kesulitan mendapatkan rumput lapang atau penurunan produksi pada hijauan yang dibudidayakan sehingga produksi yang berlimpah pada musim hujan perlu diawetkan/disimpan untuk digunakan pada musim kemarau. Dengan demikian, membutuhkan teknologi penyimpanan.
Selain itu, lokasi produksi pakan tidak setumpu dengan lokasi produksi ternak. Kantong-kantong produksi ternak, khususnya sapi potong, cenderung mengarah di wilayah pinggiran perkotaan, sementara produksi hijauan umumnya banyak tersedia di daerah pedesaan.
Di samping itu, Pulau Jawa juga padat ternak, sementara produksi hijauan terbatas. Sebaliknya, terjadi produksi hijauan banyak di Pulau Sumatera, namun populasi ternaknya relatif sedikit. Hal ini membutuhkan solusi agar potensi tersebut dapat dimanfaatkan berupa tersedianya teknik pengemasan dan transportasi yang tepat guna sehingga memudahkan pakan tersebut didistribusikan.
Secara ringkas kebutuhan teknologi yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah teknologi terpadu meliputi pengolahan pakan, pengawetan, pengemasan, transportasi, dan komersialisasi.
Salah satu solusi terpadu adalah teknologi produksi Hi-fer yang mampu memanfaatkan hijauan pakan dan mengolahnya menjadi lebih bernilai nutrisi dan mudah didistribusikan ke sentra ternak, dan diharapkan sekaligus mampu mengatasi
Penelitian
Centras LPPM IPB dalam dua tahun terakhir ini telah menemukan beberapa hasil yang dapat mendukung pencapaian tujuan tersebut.
Hasil-hasil penelitian terdahulu, yaitu produk probiotik unggul. Produk ini mampu meningkatkan palatabilitas ransum 16,9 persen, meningkatkan kecernaan serat 12,8 persen dan protein 17,9 persen, meningkatkan pertambahan bobot badan dari 1,17 kg/ekor/hari menjadi 1,39 kg/ekor/hari dan menurunkan emisi gas pencemaran pada feses terutama gas amonia dan H2S berkurang 8,8 persen dan 3,5 persen.
Selain itu, Centras telah mengembangkan probiotik yang mampu menekan toksisitas aflatoksin pada susu sapi perah (Solta, et al., 2013) dan mengikat aflatoxin di rumen sapi.
Selanjutnya, produk KP, yaitu bahan yang dicampurkan dengan pakan yang memberikan efek menguntungkan.
KP terdiri atas campuran asam dan garam-garam serta antioksidan dan anti jamur. KP produk CENTRAS LPPM-IPB terbukti mampu meningkatkan palatabilitas pakan fermentasi, meningkatkan daya simpan pakan, dan mempercepat proses fermentasi.
Penelitian tindak lanjut yang akan dilakukan adalah aplikasi penggunaan kedua produk tersebut (kombinasi) dalam proses fermentasi hijauan pakan ternak serta menentukan bentuk kemasan yang mudah diterapkan oleh masyarakat, serta memungkinkan untuk dikomersialkan sehingga dapat menjadi andalan sumber pendapatan baru bagi masyarakat.
Dengan keunggulan KP tersebut, akan memudahkan proses pembuatan Hi-fer dan penggunaan probiotik akan dapat mempercepat proses pengawetan sehingga pada akhirnya biaya pengolahan, penyimpanan, dan transportasi pakan tersebut menjadi lebih mudah dan murah.
Selain itu karena menyangkut inovasi baru dalam teknologi tepat guna, akan dirumuskan model introduksi teknologi tersebut dengan sistem produksi massal oleh masyarakat dengan mempertimbangkan kondisi dan potensi masyarakat setempat.
Produk Inovatif-Aplikatif
Hi-fer adalah hijauan hasil fermentasi dengan menggunakan probiotik dan komplemen pakan produk penelitian Centras LPPM IPB yang berkualitas prima (palatable/sangat disukai ternak, kadar protein 10 persen, kandungan energi/TDN 55 persen), mudah dan tahan lama disimpan (daya simpan 2 bulan).
Inovasi Hi-fer merupakan teknologi tepat guna tentang cara produksi, pemanenan, pengolahan, penyimpanan, dan kiat mudah dalam transportasi dalam bentuk produk kemasan komersial.
Hi-fer dikemas dalam kantong polibag plastik kedap udara (2 layer), dengan bobot maksimum per kemasan 35 kg, sehingga mudah diangkut, didistribusikan, serta penggunaannya di tingkat peternak sangat praktis.
Dari penelitian yang dilakukan, ditemukan produk hijauan pakan yang sederhana, mudah dilaksanakan, murah dalam pembiayaan (produksi), dan memiliki prospek komersial dalam skala luas. Keseluruhan paket ini dikemas dalam produk yang dikenal dengan Hi-fer, sehingga memungkinkan peternak dapat mengurangi aktivitas mengarit.
Teknologi Hi-fer+ dapat diproduksi oleh masyarakat (petani) secara massal dengan mudah (secara manual dengan peralatan dan bahan tersedia di lokasi setempat) dan biaya murah (maksimum biaya pengolahan dan pengemasan adalah 20 persen dari harga bahan baku/hijauan).
Dengan kemudahan pembuatan dan keunggulan produk ini, akan memberikan manfaat baik bagi masyarakat umum, petani/peternak, perguruan tinggi dan pemerintah sebagaimana yang dikemukakan di atas.
Hi-fer merupakan Model Pemberdayaan Masyarakat oleh Perguruan Tinggi Berbasis Inovasi Teknologi.
Model ini meliputi model tentang peran masing-masing pelaku: petani/masyarakat sebagai produsen, mitra kerja sebagai pengumpul dan institusi/perguruan tinggi sebagai inovator dan pendamping pengembangan produk.
Selain itu, model akan menyangkut tentang penyiapan kelembagaan dan komersialisasi produk sehingga dapat berlangsung secara berkelanjutan dan memungkinkan untuk direplikasi di berbagai wilayah.
Keunggulan yang dimiliki teknologi Hi-fer memberikan dampak nyata bagi perkembangan peternakan khususnya dalam penyediaan pakan. Baik petani ternak maupun pelaku industri peternakan dapat merasakan manfaat teknologi ini.
Hasil uji coba yang dilakukan CENTRAS IPB, bahwa pemberian 100 persen Hi-fer mampu sebagai pengganti hijauan rumput segar.
Dengan menghasilkan pertambahan bobot badan rata-rata 1.48 kg/ekor/hari. Dengan teknologi Hi-fer peternak mudah dalam pengadaan rumput (baik di daerah sulit hijauan maupun di perkotaan. Begitu pula pengusaha industri pakan skala menengah (industri pakan hijauan) sangat terbantu oleh teknologi ini.
Keunggulan lainnya mudah dalam pemberian di lapangan (semudah pemberian konsntrat ke ternak dan terukur, dengan dosis pemberian yang tepat).
Teknologi Hi-fer diyakini tidak terlampau mengotori kandang, mampu menekan bau feses, dan mengurangi pencemaran lingkungan.
Bagi IPB Hi-Fer telah berhasil melalui serangkaian kegiatan yang dikemas dalam bentuk paket teknologi nutrisi dan pakan, dengan penerapan berbasis pada pemberdayaan masyarakat.
Manfaat ini tanggapi dengan baik oleh mitra kerja. Penerapan-penerapan teknologi tepat guna Hi-fer dan digunakan untuk pemberdayaan masyarakat telah direspons oleh masyarakat khususnya CV. Anugrah Farm, Ciampea Bogor.
Usaha sapi potong di peternakam Anugrah Farm dilakukan sistem "community development" ternak peternak-peternak sekitar usaha ternaknya, dengan mendifusikan inovasi Hi-fer.
Peternak-peternak binaan (yang sebagian besar berusia lanjut) tersebut tak perlu "ngarit", mencari rumput. Pakan Hi-fer disediakan pihak Anugrah Farm.
"Teknologi Hi-fer merupakan solusi yang diberikan IPB terhadap dinamika dan kemajuan bidang peternakan. Dengan teknologi ini, maka ke depan diharapkan para peternak mampu beternak tanpa mengarit," kata Prof. H. Djuanda, pimpinan CV. Anugrah Farm.
*Kepala Pusat Studi Hewan Tropika (CENTRAS) LPPM IPB
Australia Tolak Akuisisi Perusahaan Gandum oleh Amerika
CANBERRA -- Pemerintah Australia menolak penjualan perusahaan penyimpanan dan penanganan gandum Australia, GrainCorp, ke pengusaha agribisnis Amerika, Archer Daniels Midland (ADM).
Menteri Keuangan Australia, Joe Hockey, mengatakan pihaknya mempertimbangkan kepentingan nasional dalam pengambilan keputusan terkait tawaran 3,4 miliar dollar (Rp 3,6 triliun) dari ADM.
"Menurut saya, ini bukan waktu tepat untuk akuisisi 100 persen badan usaha Australia yang penting ini," jelas Hockey.
"Pertimbangan yang lebih penting adalah bahwa proposal ini memancing kekhawatiran besar dari pemegang kepentingan dan masyarakat luas. Maka saya memutuskan bahwa bila dilanjutkan, ini dapat merusak dukungan publik terhadap rezim investasi asing dan investasi asing secara umum. Ini tidaklah termasuk kepentingan nasional kami," katanya.
Tawaran ADM ditentang keras oleh kelompok-kelompok petani, Partai Nasional, dan beberapa anggota parlemen dari Partai Liberal di daerah-daerah yang terletak di kawasan timur Australia.
Keputusan terkait GrainCorp dilihat sebagai ujian bagi keutuhan pemerintah Koalisi yang baru terpilih bulan September lalu.
Menurut Hockey, tawaran penjualan GrainCorp ke ADM adalah "Salah satu kasus paling rumit yang dihadapi Dewan Peninjau Investasi Asing (FIRB), dan salah satu tawaran akuisisi paling signifikan dalam sejarah Australia."
ADM telah merilis pernyataan yang berisi kekecewaan terhadap keputusan tersebut.
"Kami percaya bahwa akuisisi GrainCorp oleh kami sebenarnya dapat menguntungkan pemegang saham ADM dan GrainCorp, dan juga petani dan ekonomi Australia," ucap ketua dan Direktur Eksekutif ADM, Patricia Woertz.
Jumat (29/11), Hockey mengatakan akan membolehkan ADM menaikkan jumlah sahamnya di GrainCorp menjadi 24,9 persen. "Sebagai pemegang 19,85 persen dari GrainCorp, kami akan bekerja dengan mereka untuk memaksimalkan pengembalian modal investasi kami dan mengutungkan kedua perusahaan," jelasnya.
Jurubicara Oposisi bidang Keuangan Penny Wong mengatakan keputusan penolakan tersebut adalah kemenangan bagi Menteri Pertanian Barnaby Joyce, yang bersama politisi partai Nasional, Warren Truss telah menekan pemerintah Australia agar memveto pengambil alihan GrainCorp.
Joyce mengatakan senang dengan keputusan tersebut. "Sebagai menteri, saya ingin memastikan bahwa kita punya pemain besar dari Australia, bergantung pada pasar domestik, hingga akan tanggap pada pemerintah," katanya.
Ia menambahkan, "Ini tentang mengembalikan pada pentani. ADM bisa saja menguras margin yang tak masuk akal. Ini baik bagi prospek Australia untuk menjadi kekuatan di bidang makanan di masa depan."
Brett Hosking dari federasi Petani Victoria mengatakan keputusan Hockey tepat, meskipun penolakan tersebut berakibat petani Australia tidak akan mendapat perbaikan infrastruktur senilai 200 juta dollar yang ditawarkan ADM. "Risiko yang ada di dalam tawaran ini terlalu besar dibanding apa yang ditawarkan," komentar Hosking.
Salah satu organisasi pertanian terbesar di Amerika Serikat, National Farmers Union, telah memperingatkan bahwa pemusatan kekuatan yang terlalu besar dalam industri pertanian tidaklah baik bagi petani Australia.
Organisasi ini mengaku telah melihat dampak negatif pengambil alihan industri oleh pihak asing di negara mereka sendiri.
"Tiap kali sekelompok perusahaan...menyudutkan pasar dan menginfiltrasi sebesar 40 hingga 60 persen, ahli-ahli ekonomi akan berkata bahwa anda telah kalah," jelas Chandler Goule dari National Farmers Union kepada ABC.
Menurut Hockey, ia telah membuat beberapa keputusan tentang tawaran investasi asing, dan sejauh ini baru menolak tawaran ADM yang ia tolak.
Friday, November 22, 2013
Ketahanan Pangan, Belanda Siap Transfer Teknologi Pertanian untuk Indonesia
JAKARTA – Kerja sama Belanda dan Indonesia dalam bidang pertanian sangat strategis dalam mendukung ketahanan pangan dunia.
“Kerja sama pertanian Belanda dan Indonesia sangat menguntungkan dan punya nilai besar bagi kedua negara untuk mendukung ketahanan pangan. Apalagi, jika dikaitkan dengan food security yang kini menjadi perhatian semua negara, kerja sama ini perlu ditingkatkan,” ujar Sharon Dijksma, Menteri Pertanian Belanda, saat berkunjung ke pabrik benih hortikultura PT East West Seed Indonesia, produsen benih cap Panah Merah, di Purwakarta, Jumat (22/11).
Dia menjelaskan kerja sama Belanda-Indonesia dalam bidang pertanian sungguh strategis dan penting untuk mendukung program food security global.
Kemitraan Indonesia, ujar Dijksma, bisa menghasilkan produk pertanian yang ‘dahsyat’ guna mencukupi kebutuhan pangan kedua negara ataupun dunia.
“Indonesia negara yang indah dan punya lahan yang subur, sedangkan Belanda punya keunggulan teknologi. Jika digabungkan teknologi berkualitas tinggi milik Belanda keunggulan Indonesia sebagai green country akan menghasilkan produk pangan bermutu tinggi,” ungkapnya.
Jika dikaitkan dengan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia dan sejumlah negara lainnya, sambungnya, produk pangan yang bermutu menjadi kebutuhan. Kelas menengah membutuhkan produk pangan yang berkualitas dan sesuai dengan standar kesehatan dan keamanan pangan.
Menurut Dijksma, keberadaan PT East West Seed Indonesia (Ewindo) menjadi contoh konkrit sinergi teknologi benih dari Belanda dan keunggulan Indonesia sebagai green country.
“Sangat penting untuk meningkatkan produksi tanaman pangan untuk mendukung food security. Belanda dan Indonesia juga sudah menandatangani MoU untuk bidang peternakan dan perikanan,” ujar Dijksma.
Glenn Pardede, Managing Director Ewindo, mengatakan kunjungan dari Menteri Pertanian, pejabat tinggi, dan pengusaha ke pabrik Ewindo sangat penting dan menunjukan apresiasi serta dukungan atas upaya yang dilakukan oleh sektor swasta dalam memajukan industri hortikultura nasional, khususnya bidang perbenihan.
Dia menjelaskan Ewindo telah menghasilkan sekitar 150 varietas unggul sayuran tropis lokal di antaranya tomat, cabai, timun, kacang panjang, terong, dan semangka.
Dalam menghasilkan beragam benih unggul sayuran itu, sambungnya, Ewindo menggandeng sekitar 7.000 petani produksi benih dan lebih dari 35.000 tenaga polinator yang bekerja pada petani produksi.
“Ewindo juga membina sekitar 10 juta petani komersial yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia,” ungkap Glenn.
Peneliti Bahas Isu Ketahanan Pangan
Jakarta (Metrobali.com)-
Peneliti bidang pangan se-Asia berkumpul di Bali dalam simposium internasional The 5th Head of Research Councils in Asia (ASIAHORCs), membahas solusi untuk menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkontribusi terhadap ketersediaan pangan di Asia.
Peneliti bidang pangan se-Asia berkumpul di Bali dalam simposium internasional The 5th Head of Research Councils in Asia (ASIAHORCs), membahas solusi untuk menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkontribusi terhadap ketersediaan pangan di Asia.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Lukman Hakim di Jakarta, Sabtu (23/11), mengatakan negara-negara Asia mengalami perkembangan ekonomi yang pesat dan pertumbuhan pendapatan yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Pertumbuhan pendapatan yang tinggi di banyak negara Asia, katanya, mendorong pergeseran konsumsi makanan ke arah yang lebih sehat sehingga diprediksi kebutuhan makanan sehat akan meningkat tajam dan mengancam ketahanan pangan.
Penduduk negara-negara berkembang di Asia diperkirakan meningkat 3,6 hingga 4,5 miliar jiwa sejak 2010 hingga 2050.
Ia mengemukakan pertumbuhan penduduk itu tentu mengakibatkan permintaan yang tinggi terhadap kebutuhan pangan, begitu pula kualitasnya harus lebih meningkat.
Lukman mengatakan harga pangan di berbagai negara juga mengalami peningkatan yang pesat.
Misalnya, katanya, harga beras domestik di China, Indonesia, Bangladesh, dan Vietnam telah naik pada kisaran 13-46 persen antara Juni 2010 hingga Mei 2011.
Kecenderungan peningkatan tersebut dipengaruhi oleh kenaikan harga energi, ekspansi energi alternatif biofuel yang menjadikan bahan pangan sebagai sumber bahannya, dan kebijakan perdagangan.
Harga pangan yang tinggi, katanya, memacu tingkat kelaparan masih tinggi di sejumlah negara Asia.
Ia mengatakan The 2012 Global Hunger Index (GHI) mencatat bahwa proporsi gizi, ancaman gizi buruk anak, dan tingkat kematian anak pada 13 negara di Asia (Timor Leste, Bangladesh, India, Nepal, Laos, Pakistan, Kamboja, Korea Utara, Sri Lanka, Filipina, Indonesia, Mongolia, dan Vietnam) masih mengkhawatirkan.
Negara-negara tersebut perlu melakukan terobosan untuk mengatasi permasalahan yang ada khususnya soal kebutuhan pangan.
“Mereka harus melakukan terobosan inovatif melalui eksplorasi sumber daya alam untuk alternatif makanan, melakukan praktik pertanian yang berkelanjutan, penerapan teknologi bioprocessing makanan dan rekayasa pangan,” ujar Lukman.
Ia mengatakan teknologi akan mampu menaikkan produksi pangan yang berkualitas untuk mencukupi kebutuhan pangan dan menjaga stabilitasnya.
Pada simposium internasional The 5th ASIAHORCs, ia mengatakan para peneliti dari berbagai negara di Asia akan berkumpul membahas berbagai solusi untuk menciptakan iptek yang berkontribusi bagi pangan.
Para pimpinan lembaga penelitian dari sejumlah negara Asia akan membahas sistem inovasi nasional di masing-masing negaranya.
Kepala Biro Kerja Sama dan Pemasyarakatan Iptek (BKPI) LIPI Dr. Bogie Soedjatmiko Eko Tjahjono mengatakan ada lima bidang yang menjadi bahasan dalam simposium tersebut.
Bidang tersebut, antara lain bioresources untuk pangan, functional food, teknologi bioprocessing untuk pangan, rekayasa pangan, dan kebijakan iptek bidang pangan yang menjembatani antara kepentingan politik dan investasi.
Pertemuan dan simposium akan digelar di Bali pada 26-28 November 2013, dan akan dihadiri oleh ilmuwan, akademisi, praktisi dan pengambil kebijakan dari negara-negara anggota ASIAHORCs, yakni China, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Pertemuan para pimpinan lembaga penelitian dan pendanaan membahas sistem inovasi di masing-masing negara, ujar dia. AN-MB
Kedaulatan Pangan kunci Keamanan Nasional
JAKARTA – Sektor pangan saat ini dinilai sebagai kunci dari national security atau keamanan nasional. Oleh karena itu, setiap negara akan memprioritaskan kekuatan pangan masing-masing guna menjamin keamanan negara mereka. Bagi Indonesia pun, sebagai negara berpenduduk keempat terbesar dunia, masalah pangan sangat berpengaruh bagi national security, dan kebutuhannya kian meningkat setiap tahun.
Untuk itu, pemerintah perlu segera mewujudkan kemandirian pangan dengan sumber dari dalam negeri sendiri. Jangan menunggu bencana kelaparan pangan ketika negara eksportir enggan menjual pangan ke negara lain karena mendahulukan kepentingan negara masing-masing. Pengamat pertanian Khudori mengatakan pangan merupakan bagian dari keamanan nasional yang sangat strategis, bahkan melebihi kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista) yang canggih sekalipun. Melalui kemandirian pangan, ketahanan nasional bakal terwujud sehingga menjamin keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Sudah seharusnya pemerintah lebih serius mewujudkan kemandirian pangan, misalnya membantu meringankan kinerja petani. Petani bisa dibantu dengan memberikan kemudahan memeroleh modal kerja atau perbaikan infrastruktur lahan pertanian,’’ papar Khudori ketika dihubungi, Senin (4/11).
Ia menilai pemerintah Indonesia hingga saat ini terlihat belum serius mewujudkan program kemandirian pangan. Belum terlihat kemauan nyata dari pemerintah Indonesia untuk membantu pertanian Indonesia sehingga bisa keluar dari ketergantungan pangan impor yang membebani. Indonesia saat ini mengalami defi sit pada hampir semua komoditas pangan seperti beras, gandum, jagung, dan gula, sehingga masih bergantung pada impor. Akibatnya, impor pangan menghabiskan devisa hingga 12 miliar dollar AS per tahun. Padahal, menurut Khudori, dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk mendukung pengembangan petani dan industri Indonesia.
"Yang terjadi selama belasan tahun kita justru mendukung petani negara-negara eksportir pangan dunia." Sebelumnya, Wakil Dekan FEB-UGM, M Edhie Purnawan, menegaskan persaingan dunia di sektor pertanian adalah persaingan terhadap kedaulatan perekonomian sebuah bangsa. Tidak bisa dimungkiri bahwa selama ini negara-negara di dunia sedemikian protektif terhadap sektor dan industri manufaktur di bidang pertanian.
Bahkan negara-negara maju sekalipun, mereka sangat sensitif ketika memperjuangkan farmer dan rancher mereka. "Bagi Indonesia, perjuangan di sektor pertanian terihat kurang hebat. Perjuangan di sektor ini sangat mendesak karena sektor ini menguasai penghidupan banyak sekali rumah tangga Indonesia," jelas Edhie.
Berdasarkan kepentingan strategik dan kedaulatan Indonesia, lanjut dia, pemerintah tidak perlu ragu memproteksi sektor pertanian dan industri manufaktur di sektor pertanian dalam satu sistem rantai agribisnis. Jaminan Harga Menurut Edhie, tanpa keberpihakan pemerintah, mustahil sektor pertanian Indonesia mampu berdaulat di negeri sendiri karena kalah bersaing dengan petani dari negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), yang diproteksi ketat dan disubsidi sangat besar oleh pemerintahnya.
"Karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk bersatu padu, mendukung sektor pertanian dengan proteksi yang inovatif, negosiasi dalam percaturan pertanian dunia yang cemerlang, serta memacu produktivitas dengan berbagai cara," imbuh Edhie. Salah satu bentuk proteksi adalah menerapkan tarif impor tinggi guna melindungi kepentingan petani dalam negeri.
Akan tetapi, saat ini tarif impor produk pangan Indonesia terbilang sangat rendah, berkisar 5 persen. Padahal, negara raksasa seperti AS memberikan jaminan harga pangan kepada petaninya, seperti gula, lebih dari 60 persen dari harga dunia. Apabila petani AS diproteksi ketat pemerintahnya, kata Khudori, saat ini sebagian besar petani di tanah air mendapat diskriminasi dari perbankan. Alasannya, para petani umumnya tidak memiliki jaminan sertifi kasi maupun asuransi guna memenuhi persyaratan menerima kredit modal dari bank. mza/WP
koran-jakarta.com
Untuk itu, pemerintah perlu segera mewujudkan kemandirian pangan dengan sumber dari dalam negeri sendiri. Jangan menunggu bencana kelaparan pangan ketika negara eksportir enggan menjual pangan ke negara lain karena mendahulukan kepentingan negara masing-masing. Pengamat pertanian Khudori mengatakan pangan merupakan bagian dari keamanan nasional yang sangat strategis, bahkan melebihi kebutuhan alat utama sistem senjata (alutsista) yang canggih sekalipun. Melalui kemandirian pangan, ketahanan nasional bakal terwujud sehingga menjamin keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Sudah seharusnya pemerintah lebih serius mewujudkan kemandirian pangan, misalnya membantu meringankan kinerja petani. Petani bisa dibantu dengan memberikan kemudahan memeroleh modal kerja atau perbaikan infrastruktur lahan pertanian,’’ papar Khudori ketika dihubungi, Senin (4/11).
Ia menilai pemerintah Indonesia hingga saat ini terlihat belum serius mewujudkan program kemandirian pangan. Belum terlihat kemauan nyata dari pemerintah Indonesia untuk membantu pertanian Indonesia sehingga bisa keluar dari ketergantungan pangan impor yang membebani. Indonesia saat ini mengalami defi sit pada hampir semua komoditas pangan seperti beras, gandum, jagung, dan gula, sehingga masih bergantung pada impor. Akibatnya, impor pangan menghabiskan devisa hingga 12 miliar dollar AS per tahun. Padahal, menurut Khudori, dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk mendukung pengembangan petani dan industri Indonesia.
"Yang terjadi selama belasan tahun kita justru mendukung petani negara-negara eksportir pangan dunia." Sebelumnya, Wakil Dekan FEB-UGM, M Edhie Purnawan, menegaskan persaingan dunia di sektor pertanian adalah persaingan terhadap kedaulatan perekonomian sebuah bangsa. Tidak bisa dimungkiri bahwa selama ini negara-negara di dunia sedemikian protektif terhadap sektor dan industri manufaktur di bidang pertanian.
Bahkan negara-negara maju sekalipun, mereka sangat sensitif ketika memperjuangkan farmer dan rancher mereka. "Bagi Indonesia, perjuangan di sektor pertanian terihat kurang hebat. Perjuangan di sektor ini sangat mendesak karena sektor ini menguasai penghidupan banyak sekali rumah tangga Indonesia," jelas Edhie.
Berdasarkan kepentingan strategik dan kedaulatan Indonesia, lanjut dia, pemerintah tidak perlu ragu memproteksi sektor pertanian dan industri manufaktur di sektor pertanian dalam satu sistem rantai agribisnis. Jaminan Harga Menurut Edhie, tanpa keberpihakan pemerintah, mustahil sektor pertanian Indonesia mampu berdaulat di negeri sendiri karena kalah bersaing dengan petani dari negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE), yang diproteksi ketat dan disubsidi sangat besar oleh pemerintahnya.
"Karena itu, sudah saatnya bagi Indonesia untuk bersatu padu, mendukung sektor pertanian dengan proteksi yang inovatif, negosiasi dalam percaturan pertanian dunia yang cemerlang, serta memacu produktivitas dengan berbagai cara," imbuh Edhie. Salah satu bentuk proteksi adalah menerapkan tarif impor tinggi guna melindungi kepentingan petani dalam negeri.
Akan tetapi, saat ini tarif impor produk pangan Indonesia terbilang sangat rendah, berkisar 5 persen. Padahal, negara raksasa seperti AS memberikan jaminan harga pangan kepada petaninya, seperti gula, lebih dari 60 persen dari harga dunia. Apabila petani AS diproteksi ketat pemerintahnya, kata Khudori, saat ini sebagian besar petani di tanah air mendapat diskriminasi dari perbankan. Alasannya, para petani umumnya tidak memiliki jaminan sertifi kasi maupun asuransi guna memenuhi persyaratan menerima kredit modal dari bank. mza/WP
koran-jakarta.com
Krisis Kedaulatan Pangan Indonesia adalah karena PEMERINTAH KECANDUAN IMPOR
JAKARTA – Ancaman krisis kedaulatan pangan Indonesia dinilai sudah berlangsung sejak lama, bahkan kini kian menguat.
Penyebabnya, Pemerintah Indonesia yang sebenarnya memiliki potensi produk pangan melimpah lebih memilih jalan pintas atau jangka pendek dengan mengimpor segala jenis pangan dari negara lain.
Padahal, seperti dikabarkan, kebergantungan yang tinggi pada produk impor akan mengancam kedaulatan pangan yang menjadi kunci keamanan nasional. Untuk itu, pemerintah perlu segera menggeser orientasi kebijakan pangan menuju ke kedaulatan pangan.
Demikian rangkuman wawancara dengan Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta, M Maksum Machfoedz, dan pengamat pertanian dari Fakultas Pertanian dan Peternakan Undip, Semarang, Anang Legowo. Keduanya dihubungi Koran Jakarta secara terpisah, Rabu (6/11).
Maksum menilai defisit pangan yang melanda Indonesia disebabkan ketidakjelasan arah pengembangan sistem pangan nasional yang selama ini hanya membesar-besarkan romantisme pangan murah.
"Pangan harus murah, semurah-murahnya dengan dalih daya beli terbatas. Senjatanya importasi. Karena hobi mengimpor, maka makin bergantung sehingga menjadi ketahanan pangan berbasis impor. Maka, musnahlah kedaulatan pangan kita," ujar dia.
Dari situlah, lanjut Maksum, dampaknya lantas meluas ke berbagai bidang. Jika soal pangan saja tidak berdaulat, bisa dipastikan perekonomian juga tanpa kedaulatan. "Jika demikian, kekuatan merdeka dan kedaulatan apa yang kita punya dalam pergaulan dunia."
Anang Legowo mengungkapkan potensi krisis kedaulatan pangan dan kemandirian pangan di Indonesia menjadi kian kuat akibat pemerintah tidak bersinergi untuk memperkuat potensi sumber daya dalam negeri, namun memilih jangka pendek dengan mengimpor bahan pangan.
Seperti diketahui, Indonesia saat ini mengalami defisit pada hampir semua komoditas pangan, seperti beras, gandum, jagung, dan gula, sehingga masih bergantung pada produk impor. Akibatnya, impor pangan menghabiskan devisa hingga 12 miliar dollar AS per tahun.
Padahal, dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk mendukung pengembangan petani dan industri Indonesia. Akan tetapi, selama belasan tahun, Indonesia justru mendukung petani negara-negara eksportir pangan dunia.
Menurut Anang, Indonesia telah masuk "jebakan pangan", artinya telah bergantung pada impor secara terus-menerus dan tidak memiliki upaya melepaskan diri dari perangkap importansi itu. Seharusnya impor boleh dilakukan, namun sifatnya sementara, tidak terus-menerus.
Perubahan Mendasar
Sebelumnya, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Ahmad Yakub, mengungkapkan Indonesia kini menghadapi ancaman serius soal kedaulatan pangan karena pemerintah tidak serius mewujudkan kemandirian pangan yang berasal dari sumber dalam negeri.
Bahkan, jika tidak segera melakukan perubahan mendasar pada semua parameter yang dipersyaratkan untuk menjadi negara berdaulat pangan, sektor pangan nasional dipastikan akan ambruk.
Menurut Maksum, solusi untuk mengatasi hal itu adalah menggeser orientasi kebijakan pangan menuju ke kedaulatan pangan seperti amanat UU No 18/2012 tentang Pangan. Ini adalah panduan legal, bukan hanya untuk pemerintahan sekarang, tetapi juga bagi pemerintah mendatang.
Pengelola negara jangan menunggu krisis pangan dan bencana kelaparan benar-benar terjadi ketika negara eksportir enggan menjual pangan ke negara lain karena mendahulukan kepentingan negara masing-masing.
Apalagi, dalam satu dasawarsa terakhir, tren harga pangan global terus menguat sehingga untuk urusan perut, devisa negara harus terkuras lebih dalam (lihat infografis).
"Masalahnya, pemerintah sekarang tidak tegas, tidak mampu, dan atau tidak mau mengendalikan komprador dalam importasi untuk tidak menyebutnya kongkalikong dalam kartel," ujar Maksum.
Dia mengungkapkan pemerintah mengaku swasembada pangan, tetapi kebanjiran komoditas impor dan tidak berani menghentikan. Pemerintah menyatakan surplus beras, namun impor jalan terus.
"Katanya impor sapi banyak, kok harga masih tinggi. Katanya ada ratusan plasma nutfah kedelai, tetapi tetap impor. Katanya panjang pantai 96.000 km (kilometer), kok garamnya dijajah impor."
Maksum berpendapat hal itu semua bisa terjadi karena pemerintah sekarang sudah dikebiri komprador. Pemerintah, menurut dia, kalah dengan importir pangan karena memiliki hobi yang sama, yakni lebih menyukai impor ketimbang memberdayakan petani.
Dia menegaskan pemerintah harus mengubah paradigma bahwa swasembada pangan seharusnya dimaknai sebagai pengambilalihan pangsa pasar impor oleh produksi domestik karena kualitas produk dan daya saingnya. Ukurannya adalah keswasembadaan yang artinya penurunan nilai impor.
Untuk itu, kata Maksum, produksi pangan dalam negeri harus digenjot dan impor mesti dibatasi sampai tercapai swasembada. "Tetapi salahnya pemerintah, swasembada hanya diterjemahkan sebagai turunnya impor." YK/SM/fad/WP
koran-jakarta.com
Penyebabnya, Pemerintah Indonesia yang sebenarnya memiliki potensi produk pangan melimpah lebih memilih jalan pintas atau jangka pendek dengan mengimpor segala jenis pangan dari negara lain.
Padahal, seperti dikabarkan, kebergantungan yang tinggi pada produk impor akan mengancam kedaulatan pangan yang menjadi kunci keamanan nasional. Untuk itu, pemerintah perlu segera menggeser orientasi kebijakan pangan menuju ke kedaulatan pangan.
Demikian rangkuman wawancara dengan Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta, M Maksum Machfoedz, dan pengamat pertanian dari Fakultas Pertanian dan Peternakan Undip, Semarang, Anang Legowo. Keduanya dihubungi Koran Jakarta secara terpisah, Rabu (6/11).
Maksum menilai defisit pangan yang melanda Indonesia disebabkan ketidakjelasan arah pengembangan sistem pangan nasional yang selama ini hanya membesar-besarkan romantisme pangan murah.
"Pangan harus murah, semurah-murahnya dengan dalih daya beli terbatas. Senjatanya importasi. Karena hobi mengimpor, maka makin bergantung sehingga menjadi ketahanan pangan berbasis impor. Maka, musnahlah kedaulatan pangan kita," ujar dia.
Dari situlah, lanjut Maksum, dampaknya lantas meluas ke berbagai bidang. Jika soal pangan saja tidak berdaulat, bisa dipastikan perekonomian juga tanpa kedaulatan. "Jika demikian, kekuatan merdeka dan kedaulatan apa yang kita punya dalam pergaulan dunia."
Anang Legowo mengungkapkan potensi krisis kedaulatan pangan dan kemandirian pangan di Indonesia menjadi kian kuat akibat pemerintah tidak bersinergi untuk memperkuat potensi sumber daya dalam negeri, namun memilih jangka pendek dengan mengimpor bahan pangan.
Seperti diketahui, Indonesia saat ini mengalami defisit pada hampir semua komoditas pangan, seperti beras, gandum, jagung, dan gula, sehingga masih bergantung pada produk impor. Akibatnya, impor pangan menghabiskan devisa hingga 12 miliar dollar AS per tahun.
Padahal, dana tersebut seharusnya bisa digunakan untuk mendukung pengembangan petani dan industri Indonesia. Akan tetapi, selama belasan tahun, Indonesia justru mendukung petani negara-negara eksportir pangan dunia.
Menurut Anang, Indonesia telah masuk "jebakan pangan", artinya telah bergantung pada impor secara terus-menerus dan tidak memiliki upaya melepaskan diri dari perangkap importansi itu. Seharusnya impor boleh dilakukan, namun sifatnya sementara, tidak terus-menerus.
Perubahan Mendasar
Sebelumnya, Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI), Ahmad Yakub, mengungkapkan Indonesia kini menghadapi ancaman serius soal kedaulatan pangan karena pemerintah tidak serius mewujudkan kemandirian pangan yang berasal dari sumber dalam negeri.
Bahkan, jika tidak segera melakukan perubahan mendasar pada semua parameter yang dipersyaratkan untuk menjadi negara berdaulat pangan, sektor pangan nasional dipastikan akan ambruk.
Menurut Maksum, solusi untuk mengatasi hal itu adalah menggeser orientasi kebijakan pangan menuju ke kedaulatan pangan seperti amanat UU No 18/2012 tentang Pangan. Ini adalah panduan legal, bukan hanya untuk pemerintahan sekarang, tetapi juga bagi pemerintah mendatang.
Pengelola negara jangan menunggu krisis pangan dan bencana kelaparan benar-benar terjadi ketika negara eksportir enggan menjual pangan ke negara lain karena mendahulukan kepentingan negara masing-masing.
Apalagi, dalam satu dasawarsa terakhir, tren harga pangan global terus menguat sehingga untuk urusan perut, devisa negara harus terkuras lebih dalam (lihat infografis).
"Masalahnya, pemerintah sekarang tidak tegas, tidak mampu, dan atau tidak mau mengendalikan komprador dalam importasi untuk tidak menyebutnya kongkalikong dalam kartel," ujar Maksum.
Dia mengungkapkan pemerintah mengaku swasembada pangan, tetapi kebanjiran komoditas impor dan tidak berani menghentikan. Pemerintah menyatakan surplus beras, namun impor jalan terus.
"Katanya impor sapi banyak, kok harga masih tinggi. Katanya ada ratusan plasma nutfah kedelai, tetapi tetap impor. Katanya panjang pantai 96.000 km (kilometer), kok garamnya dijajah impor."
Maksum berpendapat hal itu semua bisa terjadi karena pemerintah sekarang sudah dikebiri komprador. Pemerintah, menurut dia, kalah dengan importir pangan karena memiliki hobi yang sama, yakni lebih menyukai impor ketimbang memberdayakan petani.
Dia menegaskan pemerintah harus mengubah paradigma bahwa swasembada pangan seharusnya dimaknai sebagai pengambilalihan pangsa pasar impor oleh produksi domestik karena kualitas produk dan daya saingnya. Ukurannya adalah keswasembadaan yang artinya penurunan nilai impor.
Untuk itu, kata Maksum, produksi pangan dalam negeri harus digenjot dan impor mesti dibatasi sampai tercapai swasembada. "Tetapi salahnya pemerintah, swasembada hanya diterjemahkan sebagai turunnya impor." YK/SM/fad/WP
koran-jakarta.com
30 Juta Hektar Lahan Potensial di Indonesia Menganggur
Jakarta -Masih banyak lahan-lahan potensial di Indonesia yang belum difungsikan. Sekitar 30 juta hektar lahan potensial bisa digunakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan.
Demikian disampaikan oleh Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Didik J. Rachbini dalam sebuah diskusi Pertanian dan Pangan di Menara Kadin, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Jumat (14/6/2013).
"Banyak lahan tersedia itu. Kita punya lahan potensial 30 juta hektar. Itu harus dimanfaatkan secara selektif," kata Didik.
Didik mengatakan, lahan-lahan tersebut terdiri atas lahan kering semusim, tahunan, juga lahan basah rawa dan non rawa. Dari keseluruhan ketersediaan lahan potensial tersebut, Didik mengatakan, paling banyak terdapat di Papua, sedangkan di Jawa sudah hampir tak tersedia.
"(Untuk meningkatkan lahan) harus dengan cara membuka lahan di pulau-pulau tertentu. Maluku, Papua, di Jawa sudah tidak bisa," lanjutnya.
Ia pun mengatakan, rekomendasi mengenai percepatan pembukaan lahan baru ini akan disampaikan ke pemerintah pusat termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurutnya, dalam mewujudkan ketahanan pangan, diperlukan ekstensifikasi lahan, juga peningkatan produktivitas agar tak lagi bergantung pada impor pangan.
"Ini akan kita rekomendasikan ke pemerintah melalui Ketum (Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto)," tutupnya.
finance.detik.com
Demikian disampaikan oleh Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Didik J. Rachbini dalam sebuah diskusi Pertanian dan Pangan di Menara Kadin, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Jumat (14/6/2013).
"Banyak lahan tersedia itu. Kita punya lahan potensial 30 juta hektar. Itu harus dimanfaatkan secara selektif," kata Didik.
Didik mengatakan, lahan-lahan tersebut terdiri atas lahan kering semusim, tahunan, juga lahan basah rawa dan non rawa. Dari keseluruhan ketersediaan lahan potensial tersebut, Didik mengatakan, paling banyak terdapat di Papua, sedangkan di Jawa sudah hampir tak tersedia.
"(Untuk meningkatkan lahan) harus dengan cara membuka lahan di pulau-pulau tertentu. Maluku, Papua, di Jawa sudah tidak bisa," lanjutnya.
Ia pun mengatakan, rekomendasi mengenai percepatan pembukaan lahan baru ini akan disampaikan ke pemerintah pusat termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurutnya, dalam mewujudkan ketahanan pangan, diperlukan ekstensifikasi lahan, juga peningkatan produktivitas agar tak lagi bergantung pada impor pangan.
"Ini akan kita rekomendasikan ke pemerintah melalui Ketum (Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto)," tutupnya.
finance.detik.com
Ini Saran Agar RI Tak 'Kecanduan' Impor Pangan
Jakarta - Institut Pertanian Bogor (IPB) salah satu perguruan tinggi di Indonesia yang cukup berkonsentrasi dalam persoalan pangan. Di tengah persoalan impor pangan yang terus membanjiri Tanah Air, diharapkan ada solusi dari pada akademisi.
Guru Besar IPB Hermanto Siregar mengatakan kedaulatan pangan adalah cita-cita bangsa, sesuai yang tertera pada undang-undang (UU) No.18 tahun 2012 tentang pangan. Di dalamnya terdapat unsur hak negara, kebijakan pangan, sistem pangan dan potensi sumberdaya lokal.
Dalam paparannya yang dikutip detikFinance, Jumat (15/11/2013), impor pangan cukup menjadi masalah negara untuk mencapai kedaulatan pangan. Dari sekian banyak impor, hampir keseluruhan produk harusnya dapat dikembangkan di dalam negeri seperti beras, kedelai, kentang, bawang, daging sapi, ikan, gula bahkan termasuk garam yang selama ini masih diimpor.
Alasan impor pangan untuk menstabilkan harga di dalam negeri dianggap tidak tepat. Sebab dengan cara instan tersebut, masih akan berbenturan dengan kendala teknis dan non teknis di lapangan.
Berikut solusi yang ditawarkan agar Indonesia mencapai kedaulatan pangan dan bebas dari impor, antara lain:
1. Peningkatan Stok Pangan
Ini adalah solusi dalam jangka pendek. Pemerintah harus memastikan tidak ada gejolak harga akibat berbagai hal, termasuk tren dari kenaikan harga internasional.
Bulog dapat meningkatkan pengadaan atau pembelian beras dalam negeri. Manakala tidak cukup, bisa melakukan impor. Ini pun dengan perhitungan yang tepat.
Stok pangan juga bisa dengan cara menggandeng pihak swasta. Terutama dalam meningkatkan distribusi pangan nasional. Sistem informasi pangan dibua secara komperhensif untuk tiap daerah dan regional.
2. Peningkatan Produksi Pangan
Program ini sudah masuk dalam rentang jangka menengah dan panjang. Fokusnya ditujukan untuk produk seperti padi, jagung, kedelai, sapi dan umbi-umbian.
Kemudian perlu dipercepat food estate, melalui pendekatan Public Private Partnership (PPP). Kemudian mengikutsertakan rakyat yang juga dapat menyerap tenaga kerja.
Program ini juga harusnya memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Agar kegiatan pertanian yang dilakukan tidak berhenti karena ada lingkungan yang rusak.
3. Pengembangan Agroindustri
Ini merupakan program lanjutan setelah produksi pangan memperlihatkan pertumbuhan yang signifikan. Caranya adalah dengan menyediakan insentif untuk investasi agroindustri yang menyerap tenaga kerja.
Kemudian optimalisasi Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk mendorong pengembangan agroindustri pedesaan. Khususnya skala mikro kecil.
4. Peningkatan Kualitas Sistem Distribusi
Program ini lebih mengarah kepada pengembangan sistem logistik nasional pangan. Ini menjadi keharusan karena kawasan produksi berbeda atau kurang terhubung dengan kawasan konsumsi.
Infrastruktur adalah unsur penting yang mesti dibenahi. Baik secara kuantitas maupun kualitas. Khususnya pada infrastuktur pedesaan dan keluar pedesaan (rural-urban linkages).
Bulog sebagai lembaga pemerintah yang berfokus untuk pangan, juga bisa mengambil andil dalam efektifitas.
finance.detik.com
Guru Besar IPB Hermanto Siregar mengatakan kedaulatan pangan adalah cita-cita bangsa, sesuai yang tertera pada undang-undang (UU) No.18 tahun 2012 tentang pangan. Di dalamnya terdapat unsur hak negara, kebijakan pangan, sistem pangan dan potensi sumberdaya lokal.
Dalam paparannya yang dikutip detikFinance, Jumat (15/11/2013), impor pangan cukup menjadi masalah negara untuk mencapai kedaulatan pangan. Dari sekian banyak impor, hampir keseluruhan produk harusnya dapat dikembangkan di dalam negeri seperti beras, kedelai, kentang, bawang, daging sapi, ikan, gula bahkan termasuk garam yang selama ini masih diimpor.
Alasan impor pangan untuk menstabilkan harga di dalam negeri dianggap tidak tepat. Sebab dengan cara instan tersebut, masih akan berbenturan dengan kendala teknis dan non teknis di lapangan.
Berikut solusi yang ditawarkan agar Indonesia mencapai kedaulatan pangan dan bebas dari impor, antara lain:
1. Peningkatan Stok Pangan
Ini adalah solusi dalam jangka pendek. Pemerintah harus memastikan tidak ada gejolak harga akibat berbagai hal, termasuk tren dari kenaikan harga internasional.
Bulog dapat meningkatkan pengadaan atau pembelian beras dalam negeri. Manakala tidak cukup, bisa melakukan impor. Ini pun dengan perhitungan yang tepat.
Stok pangan juga bisa dengan cara menggandeng pihak swasta. Terutama dalam meningkatkan distribusi pangan nasional. Sistem informasi pangan dibua secara komperhensif untuk tiap daerah dan regional.
2. Peningkatan Produksi Pangan
Program ini sudah masuk dalam rentang jangka menengah dan panjang. Fokusnya ditujukan untuk produk seperti padi, jagung, kedelai, sapi dan umbi-umbian.
Kemudian perlu dipercepat food estate, melalui pendekatan Public Private Partnership (PPP). Kemudian mengikutsertakan rakyat yang juga dapat menyerap tenaga kerja.
Program ini juga harusnya memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Agar kegiatan pertanian yang dilakukan tidak berhenti karena ada lingkungan yang rusak.
3. Pengembangan Agroindustri
Ini merupakan program lanjutan setelah produksi pangan memperlihatkan pertumbuhan yang signifikan. Caranya adalah dengan menyediakan insentif untuk investasi agroindustri yang menyerap tenaga kerja.
Kemudian optimalisasi Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) dan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk mendorong pengembangan agroindustri pedesaan. Khususnya skala mikro kecil.
4. Peningkatan Kualitas Sistem Distribusi
Program ini lebih mengarah kepada pengembangan sistem logistik nasional pangan. Ini menjadi keharusan karena kawasan produksi berbeda atau kurang terhubung dengan kawasan konsumsi.
Infrastruktur adalah unsur penting yang mesti dibenahi. Baik secara kuantitas maupun kualitas. Khususnya pada infrastuktur pedesaan dan keluar pedesaan (rural-urban linkages).
Bulog sebagai lembaga pemerintah yang berfokus untuk pangan, juga bisa mengambil andil dalam efektifitas.
5. Peningkatan Research and Development (R&D)
Pangan yang diproduksi harus selalu diikuti dengan penelitian. Misalnya dalam penggunaan bibit-bibit unggul yang mampu beradaptasi dengan perkembangan iklim di lahan-lahan yang kurang subur.
Kemudian juga pengembangan produk pangan seperti beras analog dan sejenisnya. Ada dorongan untuk diversifikasi dan peningkatan gizi. Setiap hasil riset, dapat dikonsolidasikan oleh para lembaga dan perguruan tinggi. Sehingga dapat diimplementasikan oleh pemerintah.
Kemudian juga pengembangan produk pangan seperti beras analog dan sejenisnya. Ada dorongan untuk diversifikasi dan peningkatan gizi. Setiap hasil riset, dapat dikonsolidasikan oleh para lembaga dan perguruan tinggi. Sehingga dapat diimplementasikan oleh pemerintah.
finance.detik.com
Sunday, November 3, 2013
Pengusaha: Tim ekonomi SBY penakut
JAKARTA. Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Riza Suarga mengatakan, pemerintah perlu mengambil langkah radikal untuk membenahi fundamental ekonomi Indonesia. Namun, yang terjadi saat ini pemerintah justru takut mengambil langkah radikal menjelang pelaksanaan pemilihan umum.
Riza mengatakan, pembenahan fundamental ekonomi itu dapat dilakukan dengan mulai memperbaiki nilai tukar rupiah. Hal itu perlu karena nilai tukar rupiah terus merosot. Pada 1998, kurs dollar AS setara dengan Rp 2.500 dan kini merosot menjadi Rp 11.000 per dollar AS.
"Konkretnya untuk membenahi fundamental ekonomi, jelas nilai tukar. Tapi sekarang ini kan tim ekonomi pemerintah itu tim ekonomi penakut," kata Riza seusai diskusi soal polemik upah minimum provinsi, Sabtu (2/11/2013) di Jakarta.
Riza mengatakan, keterpurukan itu bukan serta-merta kesalahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut dia, hal yang sama juga terjadi pada masa sebelumnya. Meski demikian, Riza menyatakan bahwa formula pembenahan ekonomi saat ini tidak relevan lagi.
Menurut Riza, keterpurukan nilai tukar rupiah itu antara lain akibat pemerintah mengikuti saran International Monetary Fund (IMF) untuk mengeluarkan kebijakan devisa bebas. Sejak pemberlakukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, penggunaan mata uang rupiah justru tersisihkan. Sebagian besar sektor ekonomi, seperti industri pertambangan, perhotelan, dan jasa keuangan, justru menggunakan dollar AS sebagai sistem pembayaran. Begitu juga dengan ekspor barang-barang yang harus mampir di Singapura.
Menurut Riza, hal itu justru memberikan keuntungan lebih pada asing. Ia membandingkan kebijakan ekonomi di Indonesia dengan India, di mana kedua negara itu tercatat memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi nilai tukar uangnya sama-sama terpuruk. India yang sebelumnya sama-sama terpuruk 20 persen atas dollar AS, seperti Indonesia. Namun, India kini sudah rebound menjadi di bawah 10 persen karena kebijakan semikontrol devisa.
"Sekarang rupee itu rebound, terpuruk enggak sampai 10 persen. Indonesia tetap. Kapan kita balik lagi, apa masalahnya? Saya enggak melihat ada masalah pertumbuhan ekonomi, tapi kenapa rupiah sempoyongan," ujarnya.
Akibat rupiah yang belum menguat, impor barang pemenuhan kebutuhan, seperti bahan bakar minyak (BBM), menjadi mahal. Hal itu menyebabkan harga barang-barang lain turut terkerek naik.
Untuk itu, Riza mendesak agar pemerintah mengambil langkah yang lebih jelas dan bukan sekadar mencari aman. "Saya tahu ini mau pemilu. Kalau ambil langkah radikal, yang extraordinary suka takut salah. Akhirnya kebiasaan cari aman, yang dikorbankan rakyat,” ujarnya.
Mengenai tuntutan kenaikan upah minimum provinsi, Riza menilai bahwa UMP hanyalah ekses mikro dari kegagalan pemerintah dalam membenahi fundamental ekonomi. Menurut dia, masalah itu tidak akan terulang setiap tahun jika pemerintah berhasil memperbaiki nilai tukar uang, sehingga inflasi bisa terkendali dan daya beli buruh terjamin.
"Kita ini kan selalu takut-takut terus. Lima belas tahun kebijakan fundamental ekonomi yang keliru. Itu yang harus diluruskan. Persoalan ini ngikut semua. UMP itu hanya turunan dari persoalan fundamental yang riil," kata Riza.
Riza menyayangkan adanya pernyataan tentang nilai tukar rupiah sebesar Rp 11.000 per dollar AS sebagai ekuilibirum baru. Ia berpendapat pemerintah seharusnya bisa menentukan kebijakan ekonomi yang bisa mengembalikan nilai tukar rupiah minimal menjadi Rp 9.000 per dollar AS. Dengan demikian, asumsi APBN tak terganggu, begitu juga dengan asumsi subsidi. (Estu Suryowati)
"Konkretnya untuk membenahi fundamental ekonomi, jelas nilai tukar. Tapi sekarang ini kan tim ekonomi pemerintah itu tim ekonomi penakut," kata Riza seusai diskusi soal polemik upah minimum provinsi, Sabtu (2/11/2013) di Jakarta.
Riza mengatakan, keterpurukan itu bukan serta-merta kesalahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut dia, hal yang sama juga terjadi pada masa sebelumnya. Meski demikian, Riza menyatakan bahwa formula pembenahan ekonomi saat ini tidak relevan lagi.
Menurut Riza, keterpurukan nilai tukar rupiah itu antara lain akibat pemerintah mengikuti saran International Monetary Fund (IMF) untuk mengeluarkan kebijakan devisa bebas. Sejak pemberlakukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, penggunaan mata uang rupiah justru tersisihkan. Sebagian besar sektor ekonomi, seperti industri pertambangan, perhotelan, dan jasa keuangan, justru menggunakan dollar AS sebagai sistem pembayaran. Begitu juga dengan ekspor barang-barang yang harus mampir di Singapura.
Menurut Riza, hal itu justru memberikan keuntungan lebih pada asing. Ia membandingkan kebijakan ekonomi di Indonesia dengan India, di mana kedua negara itu tercatat memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi nilai tukar uangnya sama-sama terpuruk. India yang sebelumnya sama-sama terpuruk 20 persen atas dollar AS, seperti Indonesia. Namun, India kini sudah rebound menjadi di bawah 10 persen karena kebijakan semikontrol devisa.
"Sekarang rupee itu rebound, terpuruk enggak sampai 10 persen. Indonesia tetap. Kapan kita balik lagi, apa masalahnya? Saya enggak melihat ada masalah pertumbuhan ekonomi, tapi kenapa rupiah sempoyongan," ujarnya.
Akibat rupiah yang belum menguat, impor barang pemenuhan kebutuhan, seperti bahan bakar minyak (BBM), menjadi mahal. Hal itu menyebabkan harga barang-barang lain turut terkerek naik.
Untuk itu, Riza mendesak agar pemerintah mengambil langkah yang lebih jelas dan bukan sekadar mencari aman. "Saya tahu ini mau pemilu. Kalau ambil langkah radikal, yang extraordinary suka takut salah. Akhirnya kebiasaan cari aman, yang dikorbankan rakyat,” ujarnya.
Mengenai tuntutan kenaikan upah minimum provinsi, Riza menilai bahwa UMP hanyalah ekses mikro dari kegagalan pemerintah dalam membenahi fundamental ekonomi. Menurut dia, masalah itu tidak akan terulang setiap tahun jika pemerintah berhasil memperbaiki nilai tukar uang, sehingga inflasi bisa terkendali dan daya beli buruh terjamin.
"Kita ini kan selalu takut-takut terus. Lima belas tahun kebijakan fundamental ekonomi yang keliru. Itu yang harus diluruskan. Persoalan ini ngikut semua. UMP itu hanya turunan dari persoalan fundamental yang riil," kata Riza.
Riza menyayangkan adanya pernyataan tentang nilai tukar rupiah sebesar Rp 11.000 per dollar AS sebagai ekuilibirum baru. Ia berpendapat pemerintah seharusnya bisa menentukan kebijakan ekonomi yang bisa mengembalikan nilai tukar rupiah minimal menjadi Rp 9.000 per dollar AS. Dengan demikian, asumsi APBN tak terganggu, begitu juga dengan asumsi subsidi. (Estu Suryowati)
Tuesday, August 27, 2013
Soal Anjloknya Nilai Tukar Rupiah, Rizal Ramli: SBY Tinggalkan ‘Bom Waktu’ Quatro Deficit!
RIMANEWS-Di akhir pemerintahannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata meninggalkan warisan ‘Bom Waktu’ berupa quatro-deficits. Jika tidak segera diatasi, tidak mustahil ‘bom waktu’ itu akan membawa Indonesia ke dalam jurang krisis seperti pada 1998 silam.
“’Bom waktu’ yang saya maksud itu adalah terjadinya quatro-deficits sekaligus. Yaitu,
Ini benar-benar bahaya. Kita harus mencegah agar Indonesia tidak kembali terpuruk seperti tahun 1998,” kata Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, kepada wartawan di selsa-sela Malam Penganugrahan Perempuan Tangguh, di Jakarta, senin malam (26/8).
Menurut tokoh nasional yang dinobatkan sebagai Calon Presiden Paling Ideal versi The President Center ini, sebetulnya quarto deficit itu tidak terjadi dalam semalam. Tanda-tandanya sudah tampak sejak dua tahun silam. Seharusnya, SBY dan para menteri ekonominya sudah bisa mengantisipasi sejak awal.
Selama 3 bulan terakhir cadangan devisa sudah berkurang –US$14,6 miliar. Kemerosotan lebih tajam jika dibandingkan posisi akhir tahun lalu, yaitu sebesar –US$20 miliar. Sampai 31 Juli 2013 cadangan devisa tinggal US$92,7 miliar. Padahal, sampai akhir Agustus 2011 cadangan devisa tercatat US$124,6 miliar.
“Pertanyaannya, kemana saja pemerintah kita selama ini? Kok bisa, memburuknya berbagai indikator makro itu dibiarkan saja terus terjadi? Apa karena SBY dan para menterinya sibuk berpolitik? Yang pasti, akibat pemerintah telmi, rakyat menjadi korban. Setelah terpukul kenaikan harga ronde 1 akibat kenaikan harga BBM dan bulan puasa, rakyat kembali terpukul akibat kenaikan harga pangan ronde 2 (10-15%) akibat anjloknya nilai tukar Rupiah. Saya sudah sarankan sejumlah langkah untuk menurunkan harga pangan sejak tiga bulan lalu ke Kepala Bulog, Menteri Perdagangan dan melalui media masa. Namun saran-saran itu diabaikan,” papar Rizal Ramli.
Sedangkan menyangkut terus melemahnya rupiah, Capres yang di kalangan Nahdiyin akrab disapa Gus Romli ini menyatakan, upaya Bank Indonesia (BI) yang terus-menerus melakukan intervensi dengan menjual dolar hanya akan sia-sia. Langkah itu ibarat ‘menggarami laut’ yang justru berakibat makin tergerusnya devisa.
Quatro-defisits itu ditambah pula dengan defisit kepercayaan dan kredibilitas terhadap kesungguhan dan kemampuan pemerintah menyelesaikan masalah. Perlu dicatat pada tahun 1998, defisit kepercayaan di tengah-tengah kemerosotan ekonomi makro serta gejolak eksternal, akhirnya berujung pada perubahan politik. (*)
www.rimanews.com
“’Bom waktu’ yang saya maksud itu adalah terjadinya quatro-deficits sekaligus. Yaitu,
- Defisit Neraca Perdagangan sebesar -U$6 miliar,
- defisit Neraca Pembayaran -U$9,8 miliar,
- deficit Balance Of Payments -U$6,6 miliar pada Q1-2013, dan
- defisit APBN plus utang lebih dari Rp2.100 triliun.
Ini benar-benar bahaya. Kita harus mencegah agar Indonesia tidak kembali terpuruk seperti tahun 1998,” kata Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, kepada wartawan di selsa-sela Malam Penganugrahan Perempuan Tangguh, di Jakarta, senin malam (26/8).
Menurut tokoh nasional yang dinobatkan sebagai Calon Presiden Paling Ideal versi The President Center ini, sebetulnya quarto deficit itu tidak terjadi dalam semalam. Tanda-tandanya sudah tampak sejak dua tahun silam. Seharusnya, SBY dan para menteri ekonominya sudah bisa mengantisipasi sejak awal.
Selama 3 bulan terakhir cadangan devisa sudah berkurang –US$14,6 miliar. Kemerosotan lebih tajam jika dibandingkan posisi akhir tahun lalu, yaitu sebesar –US$20 miliar. Sampai 31 Juli 2013 cadangan devisa tinggal US$92,7 miliar. Padahal, sampai akhir Agustus 2011 cadangan devisa tercatat US$124,6 miliar.
“Pertanyaannya, kemana saja pemerintah kita selama ini? Kok bisa, memburuknya berbagai indikator makro itu dibiarkan saja terus terjadi? Apa karena SBY dan para menterinya sibuk berpolitik? Yang pasti, akibat pemerintah telmi, rakyat menjadi korban. Setelah terpukul kenaikan harga ronde 1 akibat kenaikan harga BBM dan bulan puasa, rakyat kembali terpukul akibat kenaikan harga pangan ronde 2 (10-15%) akibat anjloknya nilai tukar Rupiah. Saya sudah sarankan sejumlah langkah untuk menurunkan harga pangan sejak tiga bulan lalu ke Kepala Bulog, Menteri Perdagangan dan melalui media masa. Namun saran-saran itu diabaikan,” papar Rizal Ramli.
Sedangkan menyangkut terus melemahnya rupiah, Capres yang di kalangan Nahdiyin akrab disapa Gus Romli ini menyatakan, upaya Bank Indonesia (BI) yang terus-menerus melakukan intervensi dengan menjual dolar hanya akan sia-sia. Langkah itu ibarat ‘menggarami laut’ yang justru berakibat makin tergerusnya devisa.
Quatro-defisits itu ditambah pula dengan defisit kepercayaan dan kredibilitas terhadap kesungguhan dan kemampuan pemerintah menyelesaikan masalah. Perlu dicatat pada tahun 1998, defisit kepercayaan di tengah-tengah kemerosotan ekonomi makro serta gejolak eksternal, akhirnya berujung pada perubahan politik. (*)
www.rimanews.com
Sunday, August 11, 2013
Eropa Kampanye Hitam CPO Lokal
Untuk menyampaikan aspirasi itu, sejumlah pengurus Apkasindo menyambangi Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag) di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Sekjen Apkasindo Asmar Arsyad menegaskan, tuduhan Eropa terhadap produk CPO Indonesia sama sekali tidak benar. Oleh sebab itu, pihaknya berencana melakukan perlawanan.
Untuk menyampaikan aspirasi itu, sejumlah pengurus Apkasindo menyambangi Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag) di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Sekjen Apkasindo Asmar Arsyad menegaskan, tuduhan Eropa terhadap produk CPO Indonesia sama sekali tidak benar. Oleh sebab itu, pihaknya berencana melakukan perlawanan.
“Kita tidak mau mereka (Uni Eropa) mencekal CPO untuk biodisel kita di Uni Eropa. Ini persaingaan tidak sehat. Anggota kita 20 juta orang dan semua hidup dari kelapa sawit. Kalau ini dimatikan, Eropa jelas tidak pro terhadap rakyat,” tegas Asmar kepada wartawan di Kantor Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.
Eropa menuduh harga minyak sawit mentah atau CPO asal Indonesia lebih murah karena mendapatkan subsidi dari pemerintah. Ini dibantah Asmar. Menurutnya, para petani sawit tidak pernah dapat subsidi.
Belum pulihnya krisis ekonomi di Eropa dan Amerika, membuat perang dagang antar negara semakin memanas. Begitu juga dengan komoditas ekspor andalan Indonesia, kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO).
Seperti diketahui, Eropa merupakan pasar utama CPO Indonesia. Namun, perdagangan CPO sudah satu tahun lebih mengalami masalah. Penyebabnya, kampanye negatif sejumlah NGO atau LSM di Eropa terhadap produk CPO Indonesia. Mereka menuding, CPO Indonesia tidak ramah terhadap lingkungan dan kesehatan.
Untuk menyampaikan aspirasi itu, sejumlah pengurus Apkasindo menyambangi Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag) di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat. Sekjen Apkasindo Asmar Arsyad menegaskan, tuduhan Eropa terhadap produk CPO Indonesia sama sekali tidak benar. Oleh sebab itu, pihaknya berencana melakukan perlawanan.
“Kita tidak mau mereka (Uni Eropa) mencekal CPO untuk biodisel kita di Uni Eropa. Ini persaingaan tidak sehat. Anggota kita 20 juta orang dan semua hidup dari kelapa sawit. Kalau ini dimatikan, Eropa jelas tidak pro terhadap rakyat,” tegas Asmar kepada wartawan di Kantor Menteri Perdagangan Gita Wirjawan.
Eropa menuduh harga minyak sawit mentah atau CPO asal Indonesia lebih murah karena mendapatkan subsidi dari pemerintah. Ini dibantah Asmar. Menurutnya, para petani sawit tidak pernah dapat subsidi.
Belum pulihnya krisis ekonomi di Eropa dan Amerika, membuat perang dagang antar negara semakin memanas. Begitu juga dengan komoditas ekspor andalan Indonesia, kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO).
Seperti diketahui, Eropa merupakan pasar utama CPO Indonesia. Namun, perdagangan CPO sudah satu tahun lebih mengalami masalah. Penyebabnya, kampanye negatif sejumlah NGO atau LSM di Eropa terhadap produk CPO Indonesia. Mereka menuding, CPO Indonesia tidak ramah terhadap lingkungan dan kesehatan.
Subscribe to:
Posts (Atom)