“’Bom waktu’ yang saya maksud itu adalah terjadinya quatro-deficits sekaligus. Yaitu,
- Defisit Neraca Perdagangan sebesar -U$6 miliar,
- defisit Neraca Pembayaran -U$9,8 miliar,
- deficit Balance Of Payments -U$6,6 miliar pada Q1-2013, dan
- defisit APBN plus utang lebih dari Rp2.100 triliun.
Ini benar-benar bahaya. Kita harus mencegah agar Indonesia tidak kembali terpuruk seperti tahun 1998,” kata Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, kepada wartawan di selsa-sela Malam Penganugrahan Perempuan Tangguh, di Jakarta, senin malam (26/8).
Menurut tokoh nasional yang dinobatkan sebagai Calon Presiden Paling Ideal versi The President Center ini, sebetulnya quarto deficit itu tidak terjadi dalam semalam. Tanda-tandanya sudah tampak sejak dua tahun silam. Seharusnya, SBY dan para menteri ekonominya sudah bisa mengantisipasi sejak awal.
Selama 3 bulan terakhir cadangan devisa sudah berkurang –US$14,6 miliar. Kemerosotan lebih tajam jika dibandingkan posisi akhir tahun lalu, yaitu sebesar –US$20 miliar. Sampai 31 Juli 2013 cadangan devisa tinggal US$92,7 miliar. Padahal, sampai akhir Agustus 2011 cadangan devisa tercatat US$124,6 miliar.
“Pertanyaannya, kemana saja pemerintah kita selama ini? Kok bisa, memburuknya berbagai indikator makro itu dibiarkan saja terus terjadi? Apa karena SBY dan para menterinya sibuk berpolitik? Yang pasti, akibat pemerintah telmi, rakyat menjadi korban. Setelah terpukul kenaikan harga ronde 1 akibat kenaikan harga BBM dan bulan puasa, rakyat kembali terpukul akibat kenaikan harga pangan ronde 2 (10-15%) akibat anjloknya nilai tukar Rupiah. Saya sudah sarankan sejumlah langkah untuk menurunkan harga pangan sejak tiga bulan lalu ke Kepala Bulog, Menteri Perdagangan dan melalui media masa. Namun saran-saran itu diabaikan,” papar Rizal Ramli.
Sedangkan menyangkut terus melemahnya rupiah, Capres yang di kalangan Nahdiyin akrab disapa Gus Romli ini menyatakan, upaya Bank Indonesia (BI) yang terus-menerus melakukan intervensi dengan menjual dolar hanya akan sia-sia. Langkah itu ibarat ‘menggarami laut’ yang justru berakibat makin tergerusnya devisa.
Quatro-defisits itu ditambah pula dengan defisit kepercayaan dan kredibilitas terhadap kesungguhan dan kemampuan pemerintah menyelesaikan masalah. Perlu dicatat pada tahun 1998, defisit kepercayaan di tengah-tengah kemerosotan ekonomi makro serta gejolak eksternal, akhirnya berujung pada perubahan politik. (*)
www.rimanews.com