Defisit perdagangan pangan terjadi sejak 2007, juga dgn kecenderungan membesar |
JAKARTA – Pemerintah diminta segera mengurangi, bahkan menghentikan, impor komoditas pangan, terutama gandum.
Selain menguras devisa negara yang sangat besar setiap tahun, kebergantungan pada pangan yang tidak bisa diproduksi di Tanah Air itu bakal mengancam cita-cita kemandirian pangan dan kedaulatan negara.
Gandumisasi atau penerapan politik gandum yang semula bertujuan mengurangi kebergantungan pada beras sebagai makanan pokok rakyat, dalam perkembangannnya selama lebih dari 30 tahun, justru menghambat diversifi kasi pangan dari bahan lokal dan mematikan harapan hidup petani nasional. Mempertahankan politik gandum sama saja membahayakan masa depan 240 juta rakyat Indonesia demi keuntungan segelintir konglomerat monopolis importir gandum yang selama ini mendapatkan perlakuan istimewa pemerintah, seperti pembebasan bea masuk impor.
Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta, M Maksum, mengatakan gandum merupakan tanaman yang memiliki kelebihan tersendiri, namun bukan berarti tidak bisa disubstitusi. Bahkan, upaya substitusi dari bahan lokal yang dikenal dengan nama mocaf (modified cassava flour), ketika krisis gandum global, justru mendorong perekonomian petani lokal dan memacu kreativitas pemerintah.
"Pemerintah daerah akhirnya berinvestasi untuk pengembangan pabrik mocaf karena di tengah krisis gandum harga mocaf bisa naik sehingga layak secara ekonomi," jelas Maksum saat dihubungi Minggu (5/5). Pemerintah, sebelumnya, mengakui konsumsi gandum di dalam negeri masih mengandalkan impor. Alasannya, karena secara iklim komoditas ini tidak bisa diproduksi dalam jumlah massal di Indonesia.
Pemerintah juga merasa senang karena gandum telah menjadi makanan pokok kedua setelah beras. Tak cuma itu, pemerintah juga dengan bangga sedang menjajaki untuk membeli gandum dari daerah otonom khusus Rusia, sementara Turki yang jelas-jelas menawarkan terigu lebih murah malah dihambat dengan aturan bea masuk impor. Soalnya kemudian, imbuh Maksum, adalah ketika mocaf sudah memiliki pasar tetapi dibunuh dengan adanya impor gandum yang terus bertambah.
"Yang bermain mafia, kartel, dan pemilik modal," ujar Maksum. Dia juga menilai para pemangku kepentingan di jajaran kabinet memiliki kepentingan terus dibukanya keran impor gandum ke Indonesia sekalipun jelas-jelas mengancam stabilitas pangan nasional.
"Mereka di kabinet menikmati importasi gandum dari pemilik modal," ungkap Maksum.
Patut Digugat
Seperti dikabarkan, sebagai negara yang tidak memproduksi gandum, kebergantungan Indonesia pada bahan pangan itu sungguh mengerikan. Proyeksi yang dirilis oleh www. uswheat.org, secara terang-terangan, menyebutkan pada 2050 Indonesia akan mengimpor 7,1 juta ton.
Hal itu sangat mungkin terjadi karena pada 1980 konsumsi per kapita gandum baru 8,1 kilogram (kg) per tahun, namun pada tahun 2010 sudah menjadi 21,2 kg per orang per tahun. Bahkan, pada 2050, jika laju konsumsi gandum terus dipertahankan seperti sekarang, konsumsi per kapita gandum di Indonesia akan menjadi 22,4 kg atau nyaris 2 kg per orang per bulan.
Kedaulatan pangan Indonesia yang akan diwujudkan pemerintah dari bahan impor patut digugat, apalagi gandum tidak diproduksi di Tanah Air. Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan meski bukan kebutuhan pokok, pemerintah tetap mengimpor gandum karena perubahan gaya hidup akibat meningkatnya jumlah masyarakat kelas menengah.
Dia berpendapat pemerintah seharusnya fokus untuk memperkuat sektor pangan dengan mendorong ke arah kemandirian dalam negeri. Untuk itu, pemerintah harus mengalokasikan anggaran lebih besar pada sektor pertanian pangan, bukan malah mengurangi potensi pendapatan akibat bea masuk impor gandum nol persen. SB/git/WP
koran-jakarta.com
No comments:
Post a Comment