Indonesia dan Swiss sepakat membangun kerjasama untuk membekukan dan menyita aset koruptor. (Foto: Sindonews/Victor Maulana) |
Jurnalpolitik.com – Pemerintah Indonesia dan Swiss sepakat
membekukan dan menyita para pelaku kejahatan, termasuk koruptor di kedua
negara. Kedua pemerintah ini juga sepakat mengembalikan aset pelaku kejahatan
itu kepada negara yang bersangkutan.
Kesepakatan itu disampaikan dalam pertemuan antara
Menteri Luar Negeri Swiss, Didier Burkhalter, dengan Menteri Luar Indonesia,
Retno Marsudi, Senin (16/3/2015).
“Kami sepakat untuk memulai rencana negosiasi Mutual
Legal Asisgment (MLA). Pada April nanti tahap pertama negosiasi MLA akan
dilaksanakan dan kami sepakat untuk mendorong agar agreement MLA itu bisa
ditandatangani tahun ini,” ucap Menlu Retno dalam pernyataan bersama dengan
Menlu Burkhalter, di kantor Kementerian Luar Negeri Indonesia, Jakarta.
Menurut Retno, perjanjian ini sangat penting khusunya
bagi Indonesia. Sebab, dengan perjanjian ini harta dan aset para pelaku
kejahatan yang dilarikan ke Swiss bisa disita.
“Bagi Indonesia kerjasama MLA sangat penting karena
persetujuan itu menjadi dasar menyita, membekukan, dan mengembalikan aset para
pelaku kriminal,” imbuh Retno.
Retno melanjutkan, kerjasama ini juga akan menjadi
sinyal bagi dunia internasional bahwa Indonesia dan Swiss memiliki komitmen
kuat dalam menanggulangi kejahatan lintas negara.
Selain membahas MLA, kedua Menlu ini juga membahas
soal penguatan kerjasama bilateral dan ekonomi kedua negara, termasuk salah
satunya adalah peningkatan ekspor kakao ke Swiss.
Diperkirakan Mencapai Rp 2.535
triliun Harta Milik 84 WNI yang Tersimpan di Bank Swiss
Dikutip dari Thejakartapost.com, Menteri
Keuangan Bambang Brodjonegoro memperkirakan, sedikitnya ada 84 WNI memiliki
rekening gendut di bank Swiss. Nilainya mencapai kurang lebih US$ 195
miliar atau sekitar Rp 2.535 triliun (kurs Rp 13.000 per US$). Jauh
di atas belanja negara dalam APBN 2016 sebesar Rp 2.095,7 triliun. (Baca: Ada Rp 2.500 Triliun Dana Gelap
Keluar-Masuk Indonesia Sejak Sepuluh Tahun Terakhir)
Selain itu, Menkeu Bambang juga mencatat adanya aset
domestik sebesar Rp 1.400 triliun yang belum dilaporkan dengan benar.
Para pemilik rekening ini variatif mulai dari politisi, pengusaha dan pejabat.
Dengan data tersebut, maka tidak heran bila
Kementerian Keuangan sangat bernafsu untuk menarik dana tersebut agar pulang
kampung (reaptriasi). Sayangnya, upaya me-repatriasi rekening
gendut itu terganjal karena DPR menunda pembahasan RUU Tax Amnesty.
DPR Terkesan Menunda-nunda RUU Tax Amnesty
Wacana rancangan UU tentang Pengampunan
Pajak mulai mengemuka di parlemen pada semester II 2015. Awalnya DPR
mengajukan RUU tentang Pengampunan Nasional dengan skema upeti, di mana lingkup
pengampunannya lebih luas yakni tak hanya pidana pajak tetapi juga mencakup
pidana umum.
Namun skema tersebut mendapat penolakan publik.
Kemudian pemerintah hanya mengakomodir pengampunan pada pidana pajak.
Dan menjelang akhir masa sidang 2015, terjadi
perubahan inisiator atas RUU tersebut. RUU Pengampunan Nasional yang berganti
menjadi RUU Tax
Amnesty ditetapkan menjadi usulan
pemerintah.
Pemerintah lewat Sekretaris Kabinet Pramono Anung
sangat berharap agar pembahasan rancangan Undang-undang tentang Pengampunan
Pajak (Tax
Amnesty) bisa segera diselesaikan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pramono mengatakan keinginan untuk menyelesaikan RUU
Tax Amnesty bukan atas dasar tekanan atau kepentingan golongan. Rancangan
beleid tersebut, katanya, bertujuan untuk kepentingan masyarakat Indonesia.
“Dalam kondisi turbulensi ekonomi dunia dan juga kami
lihat defisit anggaran bisa terjadi, maka harapannya RUU Tax Amnesty bisa diselesaikan,” kata Pramono ditemui di
Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (24/2/2016).
“Kalau anggaran bagus maka bisa membangun
infrastruktur yang lebih baik,” kata Pram.
Namun, Pram meyakini pihak DPR bisa memahami maksud
dari usulan diinisiasinya RUU Tax Amnesty dengan baik.
Keinginan pemerintah agar DPR segera menyelesaikan
pembahasan RUU Tax Amnesty juga disampaikan Juru Bicara Presiden Johan Budi.
“Yang penting Presiden Jokowi berharap RUU Tax Amnesty segera dibahas sekarang sebagai prioritas,” kata
Johan di Jakarta.
Johan juga mengingatkan DPR mengenai sudah adanya
Surat Presiden dari Jokowi, yang memungkinkan DPR untuk melakukan pembahasan
dengan segera.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai
pembahasan RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dapat
ditunda. Hal itu terjadi apabila sebagian besar fraksi menolak melanjutkan
pembahasan RUU tersebut.
“Saya kira iya. RUU Prolegnas kan ada 40, mana yang
akan diprioritaskan. Banyak sekali pekerjaan rumah DPR ini,” ujar Fadli Zon di
Gedung Nusantara III DPR RI, Jakarta, Rabu (24/2).
Legislator Partai Gerindra ini tidak setuju
melanjutkan pembahasan RUU Pengampunan Pajak. Menurutnya, diberlakukannya
pengampunan pajak belum menjamin pemasukan akan lebih baik.
“Belum tentu terjadi repatriasi dana datang dari luar
negeri. Adanya rasa ketidakadilan bagi yang selama ini taat bayar pajak. Reward mereka apa?” tuturnya.
Sementara itu Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan Hendrawan Supratikno membantah adanya penundaan pembahasan
rancangan undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di
parlemen. Rencananya, RUU Pengampunan Pajak akan dibahas pada masa sidang DPR
yang berikutnya.
“Sama seperti KPK. Perlu dimatangkan dan
disosialisasikan. Itu yang tepat, kalau ditunda kurang tepat,” ujar Hendrawan
Supratikno saat dihubungi, Rabu (24/2/2016).
6.000 Orang Indonesia Simpan Uangnya
di Satu Negara
Harapan pemerintah dalam Undang-Undang
Pengampunan Pajak ini agar nantinya dapat membantu peningkatan
penerimaan pajak, khususnya dari aset Wajib Pajak (WP) yang disimpan di luar
negeri.
Saat ini Kementerian Keuangan mengaku telah memiliki
data mengenai rekening Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Menteri
Keuangan Bambang Brodjonegoro berharap dengan skema yang akan diterapkan dalam
RUU pengampunan pajak, rekening tersebut bisa kembali ke Indonesia, atau paling
tidak pemilik rekening bisa melaporkan asetnya secara tegas.
Bambang juga mengaku telah mengetahui pola yang
digunakan orang Indonesia untuk memiliki rekening di luar negeri. Yaitu dengan
membentuk perusahaan khusus dengan tujuan tertentu atau Special Purpose Vehicle (SPV) yang ada di berbagai tempat di dunia.
Biasanya SPV ini didirikan di negara-negara bebas pajak (tax haven).
Negara tax haven yang cukup popular dan sering menjadi
tujuan WNI ini adalah British Virgin Islands (BVI).
Kemudian SPV-SPV tersebut menyimpan uangnya di suatu negara. Bambang mengatakan
ada beberapa negara yang menjadi tujuan orang Indonesia membuka rekeningnya.
Namun, dia tidak mau menyebutkan apa saja nama negaranya.
“Di satu negara ada rekening lebih dari 6.000 WNI
punya rekening di negara tersebut,” ujar Bambang usai mengikuti rapat terbatas
pencucian uang dan penggelapan pajak di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin
(21/3). Kementerian Keuangan telah mengidentifikasi negara, rekening, bank, dan
nama-nama 6.000 orang Indonesia tersebut.
Uang yang disimpan di negara tersebut belum tercatat
sebagai aset yang dilaporkan pemilik rekening di dalam SPT (Surat
Pemberitahuan) tahunan pajak. Artinya selama ini pemilik rekening tersebut
tidak pernah membayar pajak atas asetnya yang disimpan di luar negeri.
“Tentunya ini adalah bagian nanti yang kita kejar,”
kata Bambang. Dan pemilik uangnya dengan sukarela nanti melaporkan atau
ikut di dalam program pengampunan pajak yang akan dilakukan pemerintah
nantinya.
Jokowi: Hati-hati Simpan Uang di
Swiss dan Singapura
Dalam satu kesempatan, Presiden Joko Widodo
mengingatkan masyarakat bersiap menghadapi era keterbukaan global di tahun
2018. Terutama bagi mereka yang menyimpan uang di bank luar negeri.
“Hati-hati nanti pada 2018, keterbukaan secara global
akan dimulai. Bapak ibu kalau ada simpanan uang di Swiss, Singapura, Hongkong,
nanti tidak bisa ditutupi lagi. Jadi bagi yang simpanannya banyak hati-hati,”
kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Selasa (15/12).
Senada dengan pernyataan
Jokowi, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengungkapkan pada 2018 nanti sistem perpajakan dunia akan sangat terbuka. Dengan
begitu Pram berharap orang Indonesia yang memiliki rekening di luar negeri
untuk melapor ke Kementerian Keuangan.
Sistem yang dimaksud Pramono adalah automatic
exchange of information/AEOI. Keterbukaan informasi
secara otomatis terkait perpajakan. Di mana saja orang menyimpan dananya akan
terlihat.
“Sebenarnya ini kesempatan bagi siapapun yang saat ini
masih menyimpan uangnya di luar untuk segera berkoordinasi dengan Menkeu,
Ditjen Pajak agar kemudian tidak menjadi permasalahan di kemudian hari,” ujar
Pramono.
Presiden Joko Widodo sangat berharap DPR bisa segera
menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak dalam masa sidang
berikutnya. Namun, jika pembahasannya berlarut-larut dan tidak bisa selesai,
pemerintah telah menyiapkan opsi lain untuk menyelesaikan permasalahan pajak
dan menggenjot penerimaan negara.
“Instrumennya sudah ada, tapi akan kami sampaikan
kalau ternyata tax
amnesty tidak dapat terselesaikan,”
ujarnya.
No comments:
Post a Comment