Wednesday, May 29, 2013

Kemenko Perekonomian Siapkan Road Map Kemitraan Komoditas Pangan


Malang - Sorotan publik terhadap kebijakan pemerintah terkait komoditas pangan dan sektor pertanian yang terkesan berjalan sendiri-sendiri dan egosentris direspon oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan membuat road map kebijakan yang mengarah pada koordinasi antar Kementerian.

Dua komoditas yang kebijakannya sudah selesai disiapkan adalah gula dan susu. Untuk susu, rencananya pada 1 Juni nanti akan diluncurkan.
"Road map ini nanti ada di setiap Kementerian, apakah Kementerian Pertanian dan Perdagangan yang saat ini masing-masing mengembangkan kemitraan akan melakukan koordinasi dengan target dan tujuan yang sama," ungkap Diah Maulida, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Sumber Daya Hayati pada Peringatan 1 Tahun PISAgro (Partnership for Sustainable Agriculture) di Malang, Rabu (29/5).
Menurut Diah, pengembangan secara terpadu pada komoditas lainnya yang melibatkan seluruh kementerian yang terkait dengan komoditas terebut juga akan disiapkan, sehingga setiap kementerian nantinya juga tidak akan berjalan sendiri-sendiri tetapi dalam satu koordinasi.
Wakil Menteri Pertanian, Rusman Hariawan, sependapat dengan rencana tersebut. "Memang perlu dipikirkan kedepan ada satu road map yang jelas terkait dengan beberapa program yang ada sekarang seperti program kemitraan dengan petani," ujarnya.

Rusman memberi contoh program kemitraan dengan petani yang dijalankan oleh beberapa kementerian. "Ada kemitraan yang dipelopori oleh Kementerian BUMN dengan program GP3K dan ada juga PISAgro yang diipelopori oleh perusahaan swasta baik lokal maupun asing. Keduanya sama-sama bertujuan baik ingin meningkatkan produktivitas petani. Kalau program kemitraan ini nantinya bisa disatukan dan dilakukan secara luas, saya yakin hasilnya akan jauh lebih baik," katanya panjang lebar.
Dia menyatakan dukungannya pada setiap program kemitraan yang melibatkan korporasi dan petani seperti halnya PISAgro. Karena hal itu akan mendorong penerapan pertanian yang baik dan meningkatkan produktivitas pangan serta meningkatkan kesejahteraan petani.
"Kami berharap program ini dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia," tandasnya.
Menurutnya, pada 2050, jumlah penduduk di Indonesia diperkirakan akan mencapai 400 juta jiwa. "Diperlukan upaya bersama dari pemangku kepentingan untuk memastikan agar komoditas bahan pangan dapat mencukupi kebutuhan domestik yang dalam sepuluh tahun terakhir meningkat 100%," katanya.
Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, mengatakan kemitraan berkelanjutan seperti PISAgro ini sangat dibutuhkan terkait dengan isu berkelanjutan di pasar global.
"Produk kita dilarang masuk pasar karena tidak sustainable dalam label perdagangan internasional. Ini tantangan yang kita hadapi," katanya.
Selain itu, lanjut dia, kemitraan yang mendorong peningkatan produksi juga sangat diperlukan ditengah pertumbuhan konsumsi pangan yang terus meningkat.
Saat ini terdapat 50 juta orang kelas konsumsi dan diprediksi dalam 15 tahun kedepan jumlahnya akan meningkat menjadi 120 juta orang. Ditambah lagi ada 50 kota di Indonesia dengan pertumbuhan konsumsi yang rata-rata 20% per tahun. Dari 50 kota tersebut, 25 kota diantaranya merupakan kota baru, termasuk Malang, Kediri, Banyuwangi dan lainnya. "Pertanyaannya, siapa yang akan memenuhi kebutuhan mereka. Ini artinya semua upaya peningkatan produktivitas akan direspon oleh pasar," terang dia.
Co-Chairman PISAgro, Franky Wijaya mengungkapkan PISAgro yang didirikan pada April 2012 lalu yang memiliki 13 anggota yang terdiri dari sejumlah perusahaan nasional dan internasional, LSM serta organisasi internasional yang bekerjasama dengan Forum Ekonomi Dunia.
Dalam kemitraannya dengan petani atau peternak, PISAgro punya target 20% meningkatkan produktivitas pertanian, 20% pendapatan petani, dan menurunkan 20% emisi gas rumah kaca.
"Kami akan mengembangkan program kemitraan ini dibeberapa daerah di Indonesia, bahkan kami juga akan merangkul pemerintah daerah untuk bersama memacu potensi daerahnya di sektor pangan. Salah satu yang telah bergabung dengan kita adalah Pemprov Jatim yang selama telah memberi dukungan," kata CEO SMART Tbk ini.
Dia menegaskan kemitraan dengan petani murni hubungan bisnis. "Tidak ada subsidi atau perlakukan khusus yang kita berikan kepada mereka. Kalau kita mengeluarkan dana besar, semuanya bertujuan ada peningkatan produktivitas dan perbaikan pola tanam yang tentunya akan memberi nilai lebih bagi perusahaan," katanya.
Franky berharap kemitraan yang dijalankan PISAgro ini tidak sebatas pada komoditas tertentu seperti kopi, kedelai, susu, coklat, padi dan kelapa sawit. Sebab masih banyak komoditas lain yang berpeluang dilakukannya kemitraan seperti dengan petani tebu. "Perusahaan yang bergerak di industri gula juga banyak, jadi kemitraan dengan tebu dan petani lainnya perlu juga dilakukan. Selain itu, PISAgro juga melakukan replika program serupa yang punya success story bagus di daerah-dearah lain sehingga program ini akan memberi makna yang luas dalam program pertanian berkelanjutan," pungkas dia.

Banjir Impor, Pemerintah Dinilai Gagal Urus Pangan Nasional


RIMANEWS - Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menunjuk pemerintah telah gagal dalam kedaulatan pangan. Hal ini dilihat dari membanjirnya bahan pangan impor hasil pertanian.

Hal tersebut disampaiakan oleh Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, Fadli Zon yang menyatakan pemerintah tidak serius dalam mengembangkan sektor pertanian sebagai negara agraris.

"Seharusnya tak perlu impor kalau strategi produksi dan pasca produksi jelas. Impor menunjukkan kegagalan dalam kedaulatan pangan," kata Fadli kepada wartawan di Jakarta, Rabu (29/5).

Ketidak seriusan pemerintah terlihat dengan carut-marutnya sistem pengaturan dari hulu hingga hilir. Kementrian Pertanian yang membawahi Departemen Pertanian seharusnya dapat bekerjasama dilapangan karena yang paling dirigikan sebenarnya adalah petani dan juga rakyat.

"Ada integrasi dan koordinasi dari semua kepentingan produksi seperti pupuk, benih, obat2an, irigasi, lahan dan modal," katanya.

Menurutnya pemerintah seharusnya berperan aktif dalam menjamin stabilitas harga sehingga kendali harga tidak dimonopoli oleh tengkulak ataupun kapitalis.

"Ada jaminan harga yang baik bagi petani dan insentif yang memadai. Pasca produksi misalnya penggilingan, processing dan lainya," jelasnya.

Lebih lanjut Fadli menyampaikan kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk mewujudkan swasembada pangan. Data yang dihimpun oleh Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dimana Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum-nya menyebutkan harus ada perluasan lahan pertanian untuk meningkatkan produksi pangan.

"Luas lahan dari data yang kita akui adalah luas panen sekitar 13 juta ha, namun lahannya sendiri sekitar 7-8 juta ha. Sangat kurang. Perlu cetak sawah baru agar produksi meningkat," jelasnya.

Saat ditanya apakah dengan luas lahan sangat mempengaruhi dari stabilitas harga dan stock pangan nasional, Fadli menjawab pesimis. "Tergantung produksi dan pasca produksi," ujarnya.(yus/PN)


Tuesday, May 28, 2013

KEAMANAN PANGAN, GIZI BURUK SERTA DAMPAK SOSIO-EKONOMINYA


Mendapatkan makanan yang aman adalah hak azasi setiap orang (ICN, Roma, 1992). Pada kenyataannya, belum semua orang bisa mendapatkan akses terhadap makanan yang aman. Hal ini ditandai dengan tingginya angka kematian dan kesakitan yang diakibatkan oleh Penyakit Bawaan Makanan (PBM). Secara umum PBM dapat diakibatkan oleh bahaya biologi dan kimia. WHO (2004) dalam laporannya menyebutkan bahwa angka kematian global akibat diare selama tahun 2002 adalah sebesar 1,8 juta orang. Angka kesakitan global karena PBM  sulit sekali untuk diperkirakan. Selain diare, terdapat lebih dari 250 jenis penyakit karena mengkonsumsi makanan yang tidak aman. Terdapat tiga konsekuensi yang ditimbulkan oleh PBM: gizi buruk, dampak sosio-ekonomi di masyarakat dan penyakit sekunder yang timbul akibat PBM.   



Situasi Keamanan Pangan di Indonesia

Angka kejadian keracunan makanan, sebagai salah satu manifestasi PBM dapat menjadi indikator situasi keamanan pangan di Indonesia.  Badan POM (2005) melaporkan bahwa selama tahun 2004, terdapat 152 KLB keracunan pangan, sebanyak 7295 orang mengalami keracunan makanan, 45 orang diantaranya meninggal dunia. Badan kesehatan dunia (WHO, 1998) memperkirakan bahwa rasio antara kejadian keracunan yang dilaporkan dengan kejadian yang terjadi sesungguhnya di masyarakat adalah 1:10 untuk negara maju dan 1:25 untuk negara berkembang. Jika merujuk pada asumsi WHO di atas, kemungkinan yang terjadi sesungguhnya di Indonesia pada tahun 2004 adalah sekitar 180-ribuan orang mengalami keracunan makanan dan seribu orang diantaranya meninggal dunia !!! Situasi ini sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia, selain berdampak langsung terhadap masalah kesehatan, kondisi ini juga mempengaruhi aspek-aspek sosio-ekonomi lainnya, seperti produktifitas kerja, aspek perdagangan, kepariwisataan dan sebagainya. 

Keamanan Pangan dan Gizi Buruk
Diare, sebagai salah satu gejala utama PBM dapat  menyebabkan gizi buruk melalui mekanisme kehilangan cairan (dehidrasi) dan ketidakseimbangan cairan elektrolit tubuh selama diare berlangsung. Selain itu diare juga mempengaruhi proses penyerapan zat-zat gizi/malabsorbsi, yang dapat menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi dan gangguan pertumbuhan.  




Efek kumulatif dari episode diare yang dialami anak terlihat jelas pada grafik di atas. Satu atau dua kali diare memang tidak membahayakan nyawa, tetapi sakit diare yang dialami anak secara berulang-ulang dapat menghambat pertumbuhan dan bahkan perkembangan mental anak. Karena itu tingginya angka diare ini dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa datang.  Untuk itu masalah keamanan pangan merupakan salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam upaya menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.


Dampak PBM Terhadap Sosio-ekonomi
Dampak PBM terhadap ekonomi dapat dihitung melalui perkiraan biaya yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan, kerugian yang ditimbulkan akibat tidak bisa bekerja, permasalahan hukum yang itimbulkan dan sebagainya. Untuk konteks Indonesia, Badan POM (2005) mencoba mengkalkulasikan kerugian yang ditimbulkan akibat masalah keamanan pangan selama tahun 2004.  toal kehilangan mencapai 6.7 miliar Rupiah!!! Sebagai rujukan, di Amerika Serikat diperkirakan kerugian yang ditimbulkan akibat PBM tiap tahunnya mencapai 5 hingga 6 millar dollar. Suplai makanan di Amerika Serikat dapat dikatakan sebagai yang paling aman di dunia. Tetapi tetap saja angka kesakitan dan angka kematian karena PBM tinggi sekali. CDC memperkirakan setiap tahunnya 76 juta orang Amerika menderita sakit akibat PBM, 300 ribu diantaranya harus dirawat di rumah sakit dan 5000 orang meninggal akibat FBD.

Keamanan Pangan adalah Tanggung Jawab Bersama
Mengingat persoalan keamanan pangan di Indonesia memiliki implikasi yang sangat luas maka perlu segera mendapatkan perhatian yang lebih serius. Terciptanya system keamanan yang ideal memerlukan keterlibatan berbagai institusi untuk menjamin keamanan pangan, mulai dari hulu hingga ke hilir (from farm to fork), mulai dari proses pemanenan, distribusi, pengolahan, hingga di meja konsumen. Terciptanya kondisi keamanan pangan yang ideal adalah tanggung jawab bersama 

Gambar 3 Keamanan pangan adalah tanggungjawab bersama


Yang menjadi keprihatinan,  sampai saat ini kita masih belum memiliki program keamanan pangan nasional yang tertata dengan baik. Masih banyak yang harus dilakukan untuk menjawab berbagai persoalan seperti: sistem investigasi yang efektif terhadap kasus PBM, tingkat cemaran potensi bahaya biologis dan kimiawi pada berbagai bahan pangan, rencana aksi untuk mengatasi masalah detention dan holding terhadap produk makanan yang diekspor, penerapan sistem HACCP di dalam negeri dan sistem pengawasannya, dan lain-lain.

Tenaga ahli kesehatan di jajaran Pemerintah Daerah (Pemda) merupakan agen penting dalam  mempersiapkan SDM di wilayahnya, diantaranya melalui perencanaan dan realisasi program keamanan pangan di masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengetahuan, kepekaan dan kepedulian terhadap masalah keamanan pangan dan peranannya dalam mencegah dan menanggulangi PBM. Sehingga tenaga ahli kesehatan Pemda dapat berperan secara optimal dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat PBM.





Regulasi Gizi dan Pangan


Berikut merupakan berbagai regulasi terkait dengan gizi dan pangan yang dikategorikan menjadi 3, yaitu Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), dan peraturan lainnya yang mencakup Instruksi Presiden, Keputusan menteri, Peraturan Kepala BPOM, SNI, dan lainnya
Berbagai regulasi tersebut dapat diunduh/download dengan langsung mengklik judulnya.
1. Regulasi terkait gizi dan pangan kategori Undang-undang (UU):
2. Regulasi terkait gizi dan pangan kategori Peraturan Pemerintah (PP):
3. Regulasi terkait gizi dan pangan kategori peraturan lainnya (PP):
a. Inpres dan Perpres
b. Surat Keputusan (SK) dan Peraturan Menteri
c. Peraturan Kepala BPOM
d. Standar Nasional Indonesia (SNI)

Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP)


Hazard analysis and critical control points, or HACCP /ˈhæsÊŒp/, is a systematic preventive approach to food safety and allergenic, chemical, and biologicalhazards in production processes that can cause the finished product to be unsafe, and designs measurements to reduce these risks to a safe level. In this manner, HACCP is referred as the prevention of hazards rather than finished product inspection. The HACCP system can be used at all stages of a food chain, from food production and preparation processes including packaging, distribution, etc. The Food and Drug Administration (FDA) and the United States Department of Agriculture (USDA) say that their mandatory HACCP programs for juice and meat are an effective approach to food safety and protecting public health. Meat HACCP systems are regulated by the USDA, while seafood and juice are regulated by the FDA. The use of HACCP is currently voluntary in other food industries.
HACCP is believed to stem from a production process monitoring used during World War II because traditional "end of the pipe" testing on artillery shell's firing mechanisms could not be performed, and a large percent of the artillery shells made at the time were either duds or misfiring. HACCP itself was conceived in the 1960s when the US National Aeronautics and Space Administration (NASA) asked Pillsbury to design and manufacture the first foods for space flights. Since then, HACCP has been recognized internationally as a logical tool for adapting traditional inspection methods to a modern, science-based, food safety system. Based on risk-assessment, HACCP plans allow both industry and government to allocate their resources efficiently in establishing and auditing safe food production practices. In 1994, the organization of International HACCP Alliance was established initially for the US meat and poultry industries to assist them with implementing HACCP and now its membership has been spread over other professional/industrial areas.
Hence, HACCP has been increasingly applied to industries other than food, such as cosmetics and pharmaceuticals. This method, which in effect seeks to plan out unsafe practices based on science, differs from traditional "produce and sort" quality control methods that do nothing to prevent hazards from occurring and must identify them at the end of the process. HACCP is focused only on the health safety issues of a product and not the quality of the product, yet HACCP principles are the basis of most food quality and safety assurance systems,and the United States, HACCP compliance is regulated by 21 CFR part 120 and 123. Similarly, FAO/WHO published a guideline for all governments to handle the issue in small and less developed food businesses.

The HACCP seven principles



Principle 1: Conduct a hazard analysis. – Plans determine the food safety hazards and identify the preventive measures the plan can apply to control these hazards. A food safety hazard is any biological, chemical, or physical property that may cause a food to be unsafe for human consumption.
Principle 2: Identify critical control points. – A critical control point (CCP) is a point, step, or procedure in a food manufacturing process at which control can be applied and, as a result, a food safety hazard can be prevented, eliminated, or reduced to an acceptable level.
Principle 3: Establish critical limits for each critical control point. – A critical limit is the maximum or minimum value to which a physical, biological, or chemical hazard must be controlled at a critical control point to prevent, eliminate, or reduce to an acceptable level.
Principle 4: Establish critical control point monitoring requirements. – Monitoring activities are necessary to ensure that the process is under control at each critical control point. In the United States, the FSIS is requiring that each monitoring procedure and its frequency be listed in the HACCP plan.
Principle 5: Establish corrective actions. - These are actions to be taken when monitoring indicates a deviation from an established critical limit. The final rule requires a plant's HACCP plan to identify the corrective actions to be taken if a critical limit is not met. Corrective actions are intended to ensure that no product injurious to health or otherwise adulterated as a result of the deviation enters commerce.
Principle 6: Establish procedures for ensuring the HACCP system is working as intended. – Validation ensures that the plants do what they were designed to do; that is, they are successful in ensuring the production of a safe product. Plants will be required to validate their own HACCP plans. FSIS will not approve HACCP plans in advance, but will review them for conformance with the final rule.
Verification ensures the HACCP plan is adequate, that is, working as intended. Verification procedures may include such activities as review of HACCP plans, CCP records, critical limits and microbial sampling and analysis. FSIS is requiring that the HACCP plan include verification tasks to be performed by plant personnel. Verification tasks would also be performed by FSIS inspectors. Both FSIS and industry will undertake microbial testing as one of several verification activities.
Verification also includes 'validation' – the process of finding evidence for the accuracy of the HACCP system (e.g. scientific evidence for critical limitations).
Principle 7: Establish record keeping procedures. – The HACCP regulation requires that all plants maintain certain documents, including its hazard analysis and written HACCP plan, and records documenting the monitoring of critical control points, critical limits, verification activities, and the handling of processing deviations.

Note:

  • FSIS = Food Safety and Inspection Service




Sunday, May 26, 2013

Pemilik Bank Terdahulu yg jadi Pengemplang BLBI dgn bantuan kaki tangannya melakukan MONEY LAUNDERING !!

JAKARTA - Kesepakatan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk merestrukturisasi surat utang (SU) eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sekadar untuk menyelamatkan kualitas modal BI. Selain itu, kesepakatan untuk merestrukturisasi sistem pelunasan obligasi itu, dari pelunasan penuh pada 2033 menjadi cicilan bertahap hingga 2043, akan memperpanjang beban rakyat atas utang pengemplang BLBI yang ditanggung pemerintah.

Lebih lanjut, restrukturisasi surat utang eks obligor BLBI itu, dari tidak dapat diperdagangkan atau nontradable menjadi dapat diperdagangkan atau tradable, dinilai merupakan suatu upaya mengaburkan jejak kejahatan perbankan yang akhirnya harus ditanggung oleh seluruh rakyat pembayar pajak negara tersebut.

Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Adiningsih, mengemukakan dengan kesepakatan restrukturisasi itu, BI berharap dapat menyerap ekses likuiditas tanpa harus menambah beban bunga karena bunga surat utang eks BLBI akan dibayarkan dari anggaran negara. Namun, lanjut dia, pemerintah dan BI harus menyadari bahwa perubahan status surat utang eks BLBI yang semula nontradable menjadi tradable itu akan menjadi sarana menghapus kejahatan masa lalu.

"Saya kira, rekstrukturisasi surat utang eks BLBI itu hanya sekadar memindahkan laporan dari kantong kiri ke kantong kanan. Karena milik negara, maka diatur pertanggungjawaban masing-masing antara pemerintah dan BI," jelas Adiningsih di Jakarta, Selasa (22/11).

Seperti diketahui, dalam Rapat Kerja antara BI dan Komisi XI DPR dalam pembahasan revisi Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 2003 perihal Surat Utang Pemerintah (SUP) yang diterbitkan pada masa BLBI, Selasa, Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan pemerintah bersama bank sentral sepakat merestrukturisasi Special Rate Bank Indonesia atau SRBI-01, surat utang pemerintah eks BLBI, dari sistem pelunasan pada 2033 (bullet payment) menjadi cicilan secara bertahap (amortized bonds) sampai 2043.

Selain itu, disepakati bahwa surplus dari BI akan digunakan untuk mempercapat pelunasan SRBI-01 yang dimaksud dan menambahkan klausul kemungkinan SRBI-01 dikonversi menjadi Surat Berharga Negara (SBN) yang dapat diperdagangkan. SRBI-01 merupakan surat utang pemerintah kepada bank sentral yang diterbitkan dalam rangka merestrukturisasi surat utang BLBI, SU- 001 dan SU-003, senilai 144,5 triliun triliun. Saat diterbitkan pada 2003, SRBI-01 berjangka 30 tahun dengan bunga 0,1 persen dari sisa pokok.

Kerusakan Lama

Menurut Adiningsih, penyelesaian utang eks BLBI sebaiknya tidak membahayakan anggaran negara. Untuk itu, DPR harus memperhitungkan kapasitas kemampuan pemerintah dalam menangani beban utang tersebut. "Perubahan itu memang mengurangi beban BI, namun akan jadi beban pemerintah. Pemerintah akan makin berat dalam membayar kewajiban yield (bunga). Apalagi kalau obligasi itu bersifat jangka pendek," imbuh dia.

Menyinggung bahwa upaya tersebut juga bermaksud menghapus jejak kejahatan lama yang dilakukan pengemplang obligor eks BLBI, Adiningsih menyatakan menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menagih utang negara kepada pemilik bank terdahulu. Ini juga bentuk keadilan pemerintah terhadap rakyat miskin pembayar pajak yang ikut menanggung beban utang itu.

"Pemerintah harus tetap menagih kewajiban para pengemplang BLBI tersebut," katanya. Anggota Komisi XI DPR Abdilla Fauzi Achmad mengatakan kesepakatan pemerintah dan BI untuk memperdagangkan surat utang eks BLBI sesuai dengan harga pasar akan memperparah kerusakan lama yang ditimbulkan pengemplang BLBI.

Selain itu, jejak utang BLBI itu akan lenyap bersamaan dengan masuknya investor baru. "Memang belum ada keputusan soal ini karena kita masih membutuhkan pendalaman lebih lanjut. Tetapi prinsipnya, kalau lebih banyak mudaratnya, jangan dipaksakan," tegas dia. fia/lex/WP

koran-jakarta.com

Tuesday, May 14, 2013

Privatisasi PLN, Asing Ancam Sektor Energi Listrik Indonesia


Privatisasi PLN, Asing Ancam Sektor Energi Listrik Indonesia

Privatisasi sektor kelistrikan dengan pecahan (unbundling) baik secara vertikal maupun horizontal PT. PLN akan mengakibatkan beban listrik yang harus dibayar oleh masyarakat semakin besar, selain itu membuka peluang pihak asing asing untuk menguasai sektor kelistrikan di tanah air.

Program ini pasti akan menaikan harga, sebab listrik selama ini mulai dari pembangkit, kemudian transmisi, distribusi, dan retail melalui satu tangan. Ini akan dipecah-pecah, jelas Ketua Umum DPP Serikat Pekerja PT. PLN Ahmad Daryoko dalam Acara Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan bertema Prokontra Privatisasi PLN, di Gedung YTKI,Jakarta, Senin(18/2).

Menurutnya, apabila pembangkitan listrik ditangani oleh perusahaan asing, kemudian yang mengurus transmisi oleh perusahaan lain, dan yang melakukan distribusi lain lagi, dikhawatirkan akan terjadi perebutan keuntungan dari pembayaran konsumen.

Tiap masing-masing bagian itu akan membebankan biaya kepada konsumen, yang dirugikan konsumen, apalagi ketika terjadi beban puncak, bisa seperti Kamerun naik 15-20 kali lipat biayanya. Yang untungkan mereka yang menguasai unit-unit tadi, inikan instalasi milik publik tetapi kenapa dikuasai pribadi-pribadi, tandasnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Tim Indonesia Bangkit Ichsanuddin Noorsy mengatakan, Indonesiasecara sistemik selama tiga generasi terus dijadikan sapi perahan AS, karena secara ekonomi tidak bisa bebas.

Indonesia selalu merujuk kepada mekanisme pasar, dan ini sejalan dengan konsensus Washingtonyang menuliskan bahwa tidak ada barang yang gratis, tegasnya.

Karena itu, lanjut Ichsan rencana privatisasi PLN yang nantinya akan tergantung pada mekanisme pasar ini, selalu mengukur kekuatan dari segi materi, hal itu hanya akan menguntungkan kelompok kapitalis, dan terus menyengsarakan rakyat.

Di tempat yang sama Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia M. Ismail Yusanto menegaskan, kebijakan ekonomi pemerintah terhadap sektor kelistrikan ini, kalau dibiarkan akan bertentangan dengan prinsip keadilan, sebab Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Energi ini merupakan milik rakyat.

Masyarakat harus mempunyai akses yang sama untuk memperolah hak miliknya, dan seharusnya pemerintah hanya mengatur ketersediaannya, jelasnya

Ia menilai, rencana pemerintah untuk melakukan pemecahan PLN telah mengubah fungsi negara menjalankan pengawasan terhadap SDE, namun tidak lepas dari visi pasar bebas berupa penjajahan baru melalui penguasaan sumber daya energi.

Wacana privatisasi PT. PLN ini bermula pada rapat umum pemegang saham (RUPS) PT PLN pada 8 Januari 2008. Keputusan dalam RUPS itu kali ini sangat istimewa, karena berupa restrukturisasi terhadap PLN berupa pembentukan 5 anak perusahaan distribusi (Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali) serta paling lambat akhir tahun 2008 membentukan satu anak perusahaan Transmisi dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali. Juga akan dibentuk dua BUMN Pembangkitan bahwa PT Indonesia Power dan PT Pembangkit Jawa Bali yang terpisah dari PLN.

hizbut-tahrir.or.id


Privatisasi PLN Sebuah Skenario Penghancuran Bangsa oleh Kekuatan Kapitalis

I. PENGERTIAN PRIVATISASI.
Privatisasi atau lebih tegasnya Penjualan Asset Negara adalah sebuah proses pengalihan hak kepemilikan dari kepemilikan publik ( negara ) ke pemilikan pribadi/perusahaan swasta.
Contoh: Beralihnya kepemilikan PT. INDOSAT yang semula milik Indonesia menjadi milik SINGTEL Singapura, melalui penjualan saham model Strategic Sales/Strategic Partner (melalui penjualan ke mitra strategis).
Catatan: Penjualan saham lewat Strategic Sales ataupun Initial Public Offering (IPO), tetap sama, privatisasi.

II. LATAR BELAKANG PRIVATISASI PLN.
Privatisasi yang terjadi di semua BUMN di Indonesia, adalah sebagai akibat dari kebijakan hutang rezim Orde Baru ,yang karena tidak mampu mengembalikan hutang sebagaimana perjanjian, maka terpaksa menandatangani Pacta Pengembalian Hutang secara Paksa yaitu dengan cara “menyerahkan” asset negara bernama BUMN melalui mekanisme “Lelang” yang disebut IPO maupun Strategic Sales/Strategic Partner. Disamping Pacta pengembalian hutang diatas,Pemerintah Indonesia juga dipaksa pemilik modal/Kapitalis untuk membuka pasar strategis yang selama ini di lindungi secara ketat oleh Konstitusi demi terjaminnya Kesejahteraan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Cara cara pengembalian hutang melalui penjualan asset negara, serta keharusan membuka pasar strategis tersebut, tertuang didalam suatu surat kesanggupan/komitmen Pemerintah Indonesia kepada IMF (International Monetarry Fund) yang mewakili badan keuangan dunia yang lain (ADB,IBRD dll) yang disebut Letter Of Intent (LOI).
Privatisasi PLN dimulai dengan ditandatanganinya LOI yang pertama oleh Presiden Soeharto pada tanggal 31 Oktober 1997, dimana pada butir 41 Pemerintah Indonesia akan mengevaluasi lagi belanja negara berkaitan dengan pelayanan publik (seperti listrik, air, minyak dll), dan berjanji bahwa sektor pelayanan publik tersebut akan di Privatisasi, agar tercipta pasar yang effisien,kompetitif dan transparan (ini adalah “adagium” klasik dari Kapitalis agar perusahaan negara dapat dikuasainya).
III. TAHAPAN PRIVATISASI PLN.
III.1 Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan/Power Sector Restructuring Program.
Dengan komitmen dalam LOI diatas, maka Pemerintah c.q Departemen Pertambangan dan Energi membuat “Blue Print” yang berisi rencana besar privatisasi PLN, yang kemudian lebih dikenal dengan “The white paper” atau buku putih Pertambangan dan Energi pada Agustus 1998, yang berisi Kebijakan Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan atau “Power Sector Restructuring Program”. Yang intinya :
1). Privatisasi PLN Jawa- Bali ,karena wilayah ini yang laku dijual ke swasta, dan dapat di komersilkan (daerah “profit center”)
2). Penyerahan PLN Luar Jawa ke Pemda, karena wilayah ini dianggap merugi dan membebani Pemerintah Pusat (daerah “cost   center”).
III.2 Restrukturisasi Korporat
Dengan mengacu kepada White Paper tersebut, maka pada tahun 2002 meluncurlah UU No 20/ tahun 2002 tentang Ketenaga Listrikan yang intinya :
a). Membuat sistim “unbundling vertikal” untuk PLN Jawa-Bali, dengan tujuan agar supplai listrik dari hulu ke hilir di usahakan oleh badan usaha yang berbeda beda, Pembangkit oleh kelompok Genco (Generating Company), Transmisi oleh kelompok Transco (Transmission Company), Distribusi oleh kelompok Disco (Distribution Company), Dan Retail oleh kelompok Retco (Retail Company). Dengan demikian kalau semula supplai listrik mulai pembangkit,transmisi,distribusi, retail, sampai ke titik lampu, dikuasai oleh satu perusahaan (PLN), ibaratnya tanpa praktek “percaloan”. Maka setelah “unbundling vertikal” supplai listrik harus melalui ber macam macam perusahaan sebelum sampai ketitik lampu kita, padahal setiap perusahaan memungut jasa (seperti praktek “percaloan”). Akibatnya listrik sampai ke konsumen jadi sangat mahal. Contoh riil dari penerapan sistim ini adalah yang terjadi di Philipina, sehingga harga listriknya mencapai rata rata Rp 3500,- per kwh, tertinggi di dunia. Dan Perusahaan listrik negaranya (NAPOCOR) setelah di privatisasi, 60 % dikuasai oleh Mantan Presiden Arroyo.
b).Membuat sistim “unbundling horisontal” untuk PLN luar Jawa-Bali, yaitu pemisahan operasional kelistrikan berdasar geografis atau kewilayahan. Tujuannya adalah setiap wilayah kelistrikan dapat di kelola oleh Pemda tingkat II, sesuai semangat OTTODA. Untuk itu sebelum pengelolaan diserahkan ke Pemda, PLN saat ini mulai melakukan Restrukturisasi Korporat yaitu dengan membubarkan Kantor Cabang di Wilayah PLN Luar jawa, dan menggantinya dengan Area Jaringan , yang hanya berkompeten ngurus jaringan saja. Sedangkan untuk retail, setiap kabupaten didirikan Kantor Rayon yang mengurus retail tersebut. Sehingga suatu saat nanti rayon rayon ini diserahkan ke Kabupaten/Kodya.i
IV. TAHAPAN PENGKONDISIAN
Sebelum PLN di Privatisasi, maka PLN akan mengalami tahapan pengkondisian antara lain: Restrukturisasi Korporat, Internal Unbundling, Profitisasi, Privatisasi.
IV.1 Restrukturisasi Korporat.
Restrukturisasi Korporat bahkan sudah dimulai pada tahun 1992, dari hasil kajian John Perkins yang akhirnya menulis buku “pengakuan dosa” berjudul “The confussion of an economic hit man”. Pada tahun itu dibentuklah anak perusahaan Pembangkitan Jawa Bali I (PJB I) dan Pembangkitan Jawa Bali II (PJB II). Pada tahun 2000 kedua anak perusahaan tersebut berganti nama menjadi PT Indonesia Power dan PT PJB (Pembangkitan Jawa Bali).
Selanjutnya pada 2001, Restrukturisasi Korporat dilanjutkan antara lain pemisahan fungsi jaringan dan retail pada Kantor Cabang PLN Jawa- Bali serta perubahan sebutan jabatan dari Jabatan yang berbau Birokrat/Infra struktur (Kepala, Pemimpin) menjadi hal hal yang berbau komersial/komoditi (General Manajer, Manajer, dll).
IV.2 Internal Unbundling
Internal Unbundling bisa terjadi bersamaan dengan restrukturisasi korporat, sebagaimana terjadi atas PT Indonesia Power dan PT PJB dan juga PT PLN Batam, PT PLN Tarahan.
Tahap Internal unbundling yang belum dilakukan adalah pembentukan Anak Anak Perusahaan Distribusi di Jawa-Bali serta Anak Perusahaan Transmisi Jawa Bali. Hal ini pernah di coba melalui Kebijakan Korporat pada Januari 2008, tetapi mendapat tentangan keras dari SP PLN dengan demo 10.000 massa didepan Istana. Sampai saat ini pembentukan anak perusahaan Distribusi di Jawa Bali,dan Transmisi Jawa Bali ini belum terlaksana,sepertinya manajemen PLN sedang mencari justifikasi dan moment yang tepat agar tidak di curigai karyawan.
IV.3 PROFITISASI
Saat ini PLN berada pada tahapan Profitisasi, sambil juga menyelesaikan tahap Restrukturisasi yang belum selesai benar akibat pembatalan UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan pada 2004, dan penentangan terhadap Program Privatisasi.
Disamping itu, terlihat manajemen PLN saat ini juga melakukan uji coba “Internal Unbundling Horizontal” dengan melakukan pembubaran Cabang Makasar dan akan diikuti Cabang lain di Indonesia Barat.
Pada tahap Profitisasi, sesuai White Paper butir 12, Pemerintah akan memberikan kucuran dana yang cukup kepada PLN guna mempersiapkan diri untuk di Privatisasi. Maka pantaslah saat ini (Era DIRUT Dahlan Iskan) PLN menerima Anggaran dari Pemerintah sebesar Rp 200 trilyun pertahun (lihat millis PLN tanggal 10 Pebruari 2011, Pernyataan Dirut PLN). Padahal di era era sebelumnya PLN hanya mendapat jatah anggaran sekitar Rp 60 s/d Rp 80 trilyun saja dari Pemerintah.
Disamping itu untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat pada saat PLN di Privatisasi nanti, maka diperlukan peningkatan “corporate image”. Sehingga bisa dimaklumi, kalau saat ini para petinggi PLN sering muncul di acara acara televisi , dan membuat program sosial serta keagamaan, terlebih bulan Romadhon, serta program lain berkaitan dengan kelistrikan, kenaikan daya gratis, pengembalian UJL, gerakan sejuta sambungan dan lain lain, semua itu bermuara pada “ Pencitraan “ untuk mendapatkan dukungan masyarakat guna suksesnya Privatisasi PLN dan penyerahan PLN Luar Jawa ke Pemda, yang dalam waktu dekat akan dilaksanakan.
IV.4 PRIVATISASI.
Tahapan yang paling ditunggu oleh para pemilik modal (ADB,IBRD,Multinational Corporation) serta kekuatan Kapitalis Lokal/Internasional yang lain, adalah kapan PLN mulai di jual/diprivatisasi. Karena sektor kelistrikan memang merupakan ladang bisnis yang sangat menjanjikan, terutama di sektor pembangkit.
Untuk menuju Privatisasi maka sesuai Undang Undang Energi No 30/Tahun 2007 tentang Energi pasal 7) ayat (2) yang menyatakan : “harga energi ditetapkan sesuai harga keekonomian yang berkeadilan” , maka tarip listrik akan dinaikkan sampai ketingkat harga keekonomian ,dimana dapat menutupi biaya produksi ditambah margin , yaitu menjadi sekitar Rp 1500/kwh. Pada saat kondisi harga/tarip listrik sudah seperti itu, maka penjualan asset asset PLN dari Pembangkit,Transmisi, Distribusi dimulai. Sedangkan proses penyerahan retail ke swasta sudah dimulai dari sekarang ,saat Dahlan Iskan menjadi DIRUT PLN, yaitu dengan adanya program retail dengan sistim Pra bayar.
V. DAMPAK PRIVATISASI LISTRIK
V.1 Dampak kelistrikan Jawa-Bali
- Dengan adanya Unbaundling Vertikal, maka harga listrik di Jawa-Bali akan mencapai Rp 3500/kwh (butir III.2. a).
- Penaggung jawab ketenagalistrikan hanya pada level Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BAPETAL/BP Listrik) yang tidak memiliki ottoritas langsung ke system, karena tidak memiliki jaringan kelistrikan. Sehingga pada saat terjadi gangguan listrik, terjadi saling lempar tanggung jawab.
- Mekanisme jual beli listrik melalui tender terbuka yang dinamakan “Multi Buyer Multi Seller”(MBMS) yang di koordinir oleh BAPETAL/BP Listrik. Pengalaman yang terjadi di California dan Kamerun menunjukkan bahwa pada saat beban puncak/peak load (di Indonesia antara jam 5 sore s/d jam 10 malam ) harga listrik melonjak menjadi 15 kali lipat (kesaksian Prof.David Hall dari Greenwich University, UK, pada sidang Mahkamah Konstitusi tahun 2003).
- Rentan sabotase, apalagi kalau mayoritas Pembangkit dikuasai Asing.
V.2 Dampak kelistrikan Luar Jawa-Bali
- Biaya produksi kelistrikan Luar Jawa- Bali pada sisi pembangkit sangat besar, yaitu sekitar Rp 2500,- per kwh, mengingat sebagian besar pembangkit adalah diesel (PLTD). Memang ada beberapa PLTA namun “catchment area”/daerah tangkapan airnya sudah gundul,sehingga debit air pada pipa pesat/penstock untuk pembangkitan sangat kecil. Sehingga listrik yang berasal dari PLTA kurang signifikan.
- Bila biaya produksi listrik tinggi, sementara argumentasi penyerahan Rayon PLN ke Pemda adalah dalam rangka agar Pemda dapat memberdayakan peran BUMD nya (UU No 30/Th 2009), maka dampak kenaikan tarip listrik akan ditanggung konsumen luar Jawa-Bali. Perlu diketahui bahwa selama ini ada mekanisme “cross subsidy” dari Jawa- Bali yang untung kepada Luar Jawa-Bali yang masih rugi, namun dengan di privatisasinya kelistrikan Jawa-Bali maka cross subsidy tersebut terhenti.
- Akibat lebih lanjut dari lepasnya “kendali kontrol” ketenagalistrikan oleh Pemerintah Pusat adalah bahaya disintegrasi bangsa.
VI. KESIMPULAN
1). Kebijakan Privatisasi ketenagalistrikan ini benar benar hanya dipicu oleh keinginan negara negara Kapitalis yang ingin menguasai kembali sumber daya alam dan mengkooptasi secara politis negara berkembang seperti Indonesia (Pof Jeffry Winters, North Western University,AS, pada seminar di Hotel Mulia Senayan 2006).
2). Kebijakan privatisasi yang sudah melanda hampir keseluruh BUMN di Indonesia, disamping dorongan kekuatan Kapitalis, juga karena tidak adanya Visi/Ideologi para Pemimpin Bangsa ini.
3). Di Philipina – sesuai kesaksian dari Louis Corral,anggota parlemen Philipina di MK – akibat privatisasi kelistrikan dengan model “unbundling” ( seperti Indonesia ) maka harga listriknya termahal di dunia yaitu sekitar Rp 3500,- per kwh.
4). Di Kamerun – sesuai kesaksian Prof David Hall, dari University of Greenwich,UK, di MK – akibat “unbundling vertikal” maka terjadi “overpricing” hingga 15 kali lipat harga listrik kondisi normal, pada saat terjadi beban puncak, dan memicu Revolusi Sosial di Kamerun.
5). Dari paparan diatas disimpulkan bahwa privatisasi PLN akan membawa kehancuran Bangsa Indonesia, kalau tetap dipaksakan. UNTUK ITU HARUS DITOLAK OLEH SELURUH RAKYAT INDONESIA.
Penulis: Ahmad Daryoko, Presiden Konfederasi Serikat Nasional.