Thursday, April 30, 2015

Kepolisian RI perlu REVOLUSI

Nampaknya tidak pula kunjung usai masalah di tubuh Kepolisian RI (Polri). Kasus demi kasus semakin mengancam integritas maupun kepercayaan masyarakat. Reformasi Kepolisian hanyalah mimpi di siang bolong. Seperti yang sudah pernah kita dengar tentang reformasi di tubuh TNI. Mengayomi, melayani, dan melindungi, itulah motto tentang impian kepolisian RI di masa depan.

Pokok Persoalan: Posisi Yang Dilematis
Pangkal permasalahan Polri sesungguhnya sudah terjadi sejak lama. Kedudukan kepolisian di negeri ini tidaklah pernah jelas sejak awal dibentuknya paska Proklamasi Kemerdekaan RI. Paska Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dikeluarkan Keppres No 154/1959 yang menyatakan Kepolisian Negara diberikan kedudukan menteri negara (ex-officio). Perubahan masih terus bergulir sampai pada tanggal 13 Juli 1959 melalui Keppres No 154/1959 menyebutkan Kapolri diberikan pula jabatan sebagai Menteri Muda Kepolisian.

Presiden Soekarno pernah mengutarakan keinginannya untuk membentuk ABRI yang terdiri atas Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian. Keinginan Presiden Soekarno tersebut ditentang oleh Kapolri (Menteri muda Kepolisian) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Alasannya, dengan dimasukkan ke dalam ABRI akan mengurangi profesionalitasnya. Kemauan keras Soekarno itu pula yang menyebabkan RS Soekanto mengundurkan diri pada tanggal 15 Desember 1959. Ahirnya, melalui Tap MPRS No II dan III Tahun 1960 ditetapkan ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara.

Di masa Orde Baru terjadi perubahan yang cukup ekstrim, sekalipun masih belum banyak merubah tatanan sebelumnya. Presiden Soeharto mulai menata ulang 4 elemen di dalam ABRI. Kedudukan Kapolri (sebelumnya Kepala Kepolisian Negara atau KKN) sejajar dengan Kepala Staf angkatan bersenjata (KSAL, KSAU, dan KSAD). Istilah kepala staf tersebut untuk menggantikan penyebutan sebelumnya, yaitu panglima angkatan bersenjata (laut, udara, dan darat). Perubahan di organisasi kepolisian pun dilakukan dengan merubah tanda kepangkatan yang sama dengan kepangkatan di angkatan bersenjata.

Demi memperkuat legitimasi politiknya, rezim Orba selanjutnya meleburkan Polri ke dalam ABRI (sekarang TNI). Polri menjadi angkatan keempat yang sejajar dengan angkatan laut, angkatan udara, dan angkatan darat. Di sinilah awal dimulainya militerisme ke dalam organisasi Polri yang masih membekas hingga saat ini. Militerisme diperlihatkan dari segala aspek, mulai dari seragam, tanda kepangkatan (dan kepangkatan), perekrutan, hingga pada aspek pendidikan (seluruh jenjang pendidikan). Diterapkannya politik teroritial di mana angkatan darat mendominasi komando militer menyebabkan polisi lebih dekat dengan angkatan darat (TNI-AD).

Pokok persoalan di dalam kepolisian RI sesungguhnya terletak dari perkembangan sejarahnya. Dimulai dari terbentuknya Pasukan Polisi Istimewa yang turut serta pula dalam berbagai misi penumpasan separatis hingga misi merebut Irian Barat. Sejak saat itu perannya menjadi di persimpangan jalan, apakah menjadi polisi profesional ataukah sekalian dapat difungsikan untuk mendukung fungsi militer. Paska reformasi bukan memberikan solusi, akan tetapi permasalahan baru, yaitu dengan melepaskan Polri dari TNI dan menjadikan Polri sebagai institusi yang langsung di bawah Presiden RI. Padahal, seperti TNI-AL, TNI-AU, dan TNI-AD berada di bawah Panglima TNI. Ini berarti pula kedudukan Panglima TNI sejajar degan Kapolri.

Revolusi Kepolisian RI
Rasanya akan lebih tepat apabila disebut revolusi ketimbang reformasi. Perlu dilakukan suatu perubahan ekstrim pada institusi Polri untuk keseluruhan aspek di dalamnya. Tujuan revolusi tidak lain untuk mewujudkan institusi kepolisian yang profesional. Seperti kita ketahui, Kepolisian RI pula hendak mewujudkan mottonya, yaitu mengayomi, melayani, dan melindungi.
Kepangkatan dan Tanda Kepangkatan
Perubahan tanda kepangkatan dan kepangkatan sudah dilakukan sejak 1 Januari 2001. Sayangnya, perubahan tersebut hanya merubah desain dan penyebutan, bukan merubah struktur kepangkatannya. Ini perlu diperhatikan, karena struktur kepangkatan Polri saat ini masih mengikuti struktur kepangkatan di TNI. Ini berarti masih menyisakan kesan militeristik di dalam Polri dan tentu personilnya.
Seragam dan Atribut
Seragam kepolisian saat ini masih identik dengan seragam yang digunakan di lingkungan angkatan bersenjata. Tentunya ini akan membawa dampak psikologis yang cukup serius, yaitu pola pikir militeristik. Atribut berupa lencana dan tanda jasa memiliki desain yang sama persis dengan yang digunakan pada angkata bersenjata. Kepolisian bahkan memiliki wing terjun dan tanda kecakapan lain yang mirip dengan militer. Ini semua harus dihilangkan. Seragam kepolisian sebaiknya merupakan seragam sipil, karena sesuai dengan mottonya adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Metode Perekrutan
Metode perekrutan saat ini terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu perekrutan di tingkat tamtama, tingkat bintara (Sekolah Kepolisian), dan di tingkat akademi (Akademi Kepolisian). Metode perekrutan seperti ini punya kemiripan dengan metode perekrutan angkatan bersenjata. Metode kualifikasi dalam perekrutan ini pun harus dilakukan perombakan total. Aspek perekrutan di kepolisian sejak lama telah menjadi isu/permasalahan yang jarang tersentuh. Metode perekrutan di dalam kepolisian sebaiknya harus menggunakan pendekatan civil society. Mirip dengan metode perekrutan pada sekolah-sekolah seperti STPDN, STAN, dan lain sebagainya. Perubahan metode perekrutan secara bertahap akan menggeser paradigma militeristik menjadi paradigma civil society.
Pendidikan Kepolisian Negara
Syarat untuk dapat masuk ke kepolisian hendaknya minimal berpendidikan terakhir setingkat SLTA. Sekolah Kepolisian sebaiknya dihapuskan, sehingga untuk pendidikan dasar hanya ada di Akademi Kepolisian (Diploma atau setara D3). Seluruh lulusannya adalah setara dengan bintara. Jika hendak menuju jenjang perwira, maka lulusan Akpol tadi harus memenuhi persyaratan menuju jenjang pendidikan sekolah lanjut yang disebut Sekolah Tinggi Kepolisian. Di sini tidak akan pernah ada istilah perwira muda seperti yang terdapat pada ketentaraan. Kepangkatan perwira setidaknya baru bisa dicapai apabila yang bersangkutan telah menempuh masa di lapangan yang cukup panjang dan tentunya dengan sedikit cacat.
Organisasi di Bawah Kementrian
Pernah disampaikan usulan, agar institusi Polri tidak berdiri sendiri di bawah langsung Presiden RI, akan tetapi di bawah kementrian atau yang setikang dengan kementrian. Ada dua kementrian yang menjadi opsi, yaitu Kementrian Dalam Negeri atau Kejaksaan. Dengan mempertimbangkan mottonya dan teknis lapangan yang akan dihadapi, maka akan lebih tepat apabila Kepolisian RI berada di bawah Kementrian Dalam Negeri. Kepolisian akan berkoordinasi langsung dengan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Agar tidak terdapat tumpang tindih dengan tugas Satpol PP, maka sebaikanya pula melakukan perombakan pada Satpol PP dengan membatasi kewenangannya atau secara bertahap dihapuskan. Dalam hal ini, Kepolisian RI akan bekerja langsung berdasarkan surat keputusan mendagri dan surat keputusan kepala daerah.
Perubahan Desain (Visual)
Perubahan yang dimaksud di sini adalah perubahan pada desain bangunan yang selama ini masih meninggalkan karakter militeristik. Misalnya dengan keberadaan pos jaga di setiap polda, polres, poltabes, dan polsek yang desainnya mirip atau menyerupai pos jaga di pos militer. Perombakan desain tersebut bertujuan untuk menghilangkan kesan militeristik pada institusi Polri maupun perspektif dari masyarakat sendiri.
Merampingkan Unit Brigade Mobil (Brimob)
Jumlah unit kesatuan Brimob saat ini dirasakan terlalu besar. Melihat motto maupun tugas pokok yang diemban nampaknya akan menjadi dilematis jika dihubungkan dengan motto ataupun tugas pokok Polri. Brimob sebaiknya secara berangsur dapat dikurangi, sehingga nantinya akan membentuk unit kesatuan khusus yang beroperasi di setiap daerah setingkat propinsi. Keberadaan Brimob yang terlalu besar ini pula yang menyebabkan terjadinya dilema pelaksanaan ataupun perwujudan motto Polri.
Alokasi Pembiayaan
Seperti pada poin yang sudah disebut sebelumnya, apabila Polri secara struktural berada di bawah Kemendagri. Oleh karenanya, pembiayaan operasional Polri di daerah akan disokong dari APBD. Ini berarti besar atau kecilnya kebutuhan akan unsur kepolisian di daerah disesuaikan pula berdasarkan kapasitas pendapatan (APBD) di daerah. Dalam hal ini, pemerintah pusat memiliki standar minimal untuk penyelenggaran kepolisian di daerah. Sokongan dana dari pusat hanya akan diberikan apabila standar minimal tidak dapat dipenuhi oleh anggaran pemerintah daerah setempat. Dalam hal ini, pembiayaan atas pendidikan kepolisian bukan domain atau kewenangan pemerintah daerah, melainkan kewenangan pemerintah pusat (melalui Kemendagri).
Membatasi Kewenangan
Kewenangan untuk menjaga keamanan nasional yang diserahkan kepada Polri dirasakan akan menjadi beban tersendiri. Aspek kewenangan Polri pada tatanan keamanan harus dibatasi hanya pada aspek pencegahan tindak pidana kriminal dan menjaga keamanan/ketertiban umum. Seperti misal terorisme sebenarnya bukanlah domain Polri, melainkan domain bidang pertahanan dan keamanan. Polri harus tetap difokuskan profesionalitasnya pada aspek pelayanan kepada masyarakat. Pembatasan kewenangan ini pula mengharuskan Polri agar bekerjasama dan mengaktifkan kembali fungsi DLLAJR di dalam jajaran Dinas Perhubungan. Artinya, hak atau kewenangan untuk mengurusi SIM maupun surat-surat kendaraan bermotor harus diserahkan kepada DLLAJR.
Struktur Pertanggungjawaban
Mengingat secara operasional bekerja di bawah naungan pemerintah daerah, maka institusi Polri di daerah bertanggungjawab langsung kepada kepala pemerintah daerah. Pertanggungjawaban kepolisian di daerah selanjutnya akan diserahkan kepada Kepolisian Pusat (Metro) yang nantinya akan menjadi pertanggungjawaban Kapolri kepada Mendagri. Sebagai catatan, keamanan nasional bukanlah domain Polri, sehingga tidak dimasukkan ke dalam laporan pertanggungjawaban Polri baik di daerah maupun pusat.

Merubah Mindset Pada Sistem Pendidikan
Diberlakukan perubahan tanda kepangkatan dan penyebutannya di tahun 2001 tidak diikuti dengan perubahan yang menyeluruh, terutama perubahan pada pola mikir institusi maupun personilnya. Salah satu pangkal persoalan cara berpikir (mindset) dari personil kepolisian terletak pada aspek kependidikan. Para personilnya sejak lama dibina sebagai alat negara, bukan dibina sekaligus sebagai pelayan masyarakat. Itu sebabnya pada poin di atas disebutkan apabila salah satu sasaran revolusi di kepolisian adalah pada pendidikan kepolisian.
Akademi Kepolisian dan Sekolah Tinggi Kepolisian
Sekolah Kepolisian sebaiknya dihapuskan dan keseluruhannya dileburkan ke dalam Akademi Kepolisian (Akpol) dengan masa pendidikan standar selama 3 tahun. Di sini tidak dikenal istilah perwira remaja/muda yang bisa ditemukan pada kependidikan militer. Seluruh lulusan Akpol berpangkat Sersan. Mereka harus menjalani masa percobaan resmi di lapangan minimal 5 tahun setelah pendidikan, sebelum nantinya memperoleh lencana kepolisian. Masa percobaan di lapangan yang cukup panjang di sini merupakan bagian dari pendidikan jangka panjang, yaitu pengamatan. Dalam hal ini, masyarakat yang nantinya akan berperan langsung memberikan penilaian, baik penilaian kepada individu (personil Polri) maupun institusinya. Untuk menuju jenjang kependidikan perwira setidaknya harus mengemban tugas lapangan minimal 10 tahun. Selain perombakan di atas, seragam pendidikan untuk Akpol harus pula dibedakan dari AAL, AAU, maupun Akmil. Sejak pendidikan dasar hendaknya sudah ditanamkan apabila mereka adalah abdi masyarakat, bukan militer.
Materi Pendidikan Dasar (Kurikulum)
Sebagai institusi yang memiliki sasaran pada aspek civil society, maka materi pendidikan kepolisian harus menitikberatkan pada aspek pelayanan sosial. Titik kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh setiap personila adalah kemampuan dasar komunikasi. Aspek bela diri dan ketangkasan lain bisa jadi kemampuan standar, akan tetapi komunikasi interpersonal harus menjadi kemampuan wajib yang memiliki skor (poin kualifikasi) paling tinggi. Ini berarti harus dilakukan perombakan besar-besaran dalam kurikulum pendidkan kepolisian. Perombakan tersebut bertujuan untuk mengubah dan sekaligus menanamkan tugas dan tanggungjawab kepolisian sesuai dengan mottonya, mengayomi, melayani, dan melindungi. Prinsip dasar dalam perubahan kurikulum pendidikan dasar kepolisian merubah mindset kepolisian dan personil. Mindset yang hendak ditanamkan bahwa polisi bukan semata alat negara, akan tetapi lebih dititikberatkan sebagai pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat. Paradigma alat negara seringkali disalahgunakan dan menciptakan persepsi negatif, tanpa dibarengi tugas pokoknya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Mindset semacam ini dilandasi suatu kesadaran dan pemahaman apabila Polri selaku institusi dibiayai oleh rakyat.
Pengawasan Tugas Kepolisian
Dalam revolusi total di dalam organisasi Kepolisian RI, masyarakat memiliki tanggungjawab yang secara langsung terlibat ke dalam pengawasan. Secara struktural, tanggungjawab pengawasan terletak pada institusi legislatif di daerah, yaitu DPRD di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Kemendagri akan membentuk lembaga khusus yang berfungsi mewadahi segala fungsi dan tindakan pengawasan terhadap kepolisian di daerah. Lembaga independen tersebut akan berkomunikasi (bukan bekerjasama) dengan pihak legislatif di daerah. Review akan dilakukan setiap bulan yang bertempat di balai kota di masing-masing daerah tingkat propinsi dan kabupaten/kota.

Penutup: Polisi Profesional Tanpa Dilema
Sebagaimana kita ketahui bersama, institusi Kepolisian RI memang cukup bermasalah. Kita tidak bisa hanya cukup sekedar menyalahkan satu pihak atau pihak lain di saat ini. Dilema kepolisian merupakan dilema di masa lalu yang tidak pernah terselesaikan. Jaman semakin berubah, tantangan pun semakin berbeda. Tidak hanya sekedar melempar wacana dan menciptakan hanya retorika semata. Siapapun pihak yang telah menyepakati berkewajiban memenuhi dan mengikuti tahapan transisinya.

Permasalahan yang sekaligus menjadi penghambat menuju revolusi kepolisian Indonesia akan cukup berat. Tidak sedikit kepentingan-kepentingan politik yang selama memanfaatkan institusi kepolisian. Tidak sedikit pula nantinya kepentingan bisnis yang akan gunakan segala cara untuk menghambat, bahkan menggagalkan transisi tersebut. Dari internal kepolisian sendiri pun akan dimungkinkan pula melakukan tindakan serupa untuk menghambatnya. Tentunya untuk dapat menjamin keberlangsungan dan konsistensi harus dibarengi pula dengan adanya upaya untuk melakukan pembersihan total.


leo4kusuma.blogspot.com

Kasus Hadi Purnomo dalam skandal ngemplang pajak BCA adalah soal CLEAR and CLEAN asset owner BCA

GEBRAKAN KPK di masa iklim politik yang memanas akhir-akhir ini adalah penetapan HP, mantan Dirjen Pajak 2002-2004 dan mantan Kepala BPK RI. HP telah menjadi berita nasional. 

Pertanyaan tentu menyeruak, yaitu bagaimana KPK dapat menetapkan suatu kasus pajak menjadi kasus korupsi sehingga merupakan kewenangan KPK untuk menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan UU KPK dan UU Tipikor Tahun 1999 yang diubah pada UU Tipikor Tahun 2001? 

Hal yang sangat menarik perhatian kita, dengan gebrakan KPK ini justru terkait kewajiban pajak dari bank BCA yang dikenal sebagai bank take over (BTO) yang telah memperoleh bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai akibat dampak krisis perbankan pada 1998. 

Menarik perhatian dan patut diteliti kemungkinan telah terjadi tax evasion atau bahkan tax fraud di dalam permohonan keberatan pajak terutang dari BCA. Perlu kita bersama mendudukkan perkara pajak HP sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 1983 yang telah diubah ketiga kalinya pada tahun 2009 (UU KUP). Karena keputusan Dirjen Pajak, HP, yang dipersoalkan KPK adalah masih dalam ranah hukum pajak yang merupakan hukum (pidana) administratif; bukan ranah Undang-Undang Tipikor 1999/2001. 

Pengalihan perkara hukum pidana administratif ke hukum pidana khusus cq UU Tipikor tersebut secara doktrin dan secara normatif hampir mustahil oleh karena terganjal ketentuan Pasal 14 UU Tipikor/1999 yang berbunyi: ”Jika pelanggaran terhadap undang-undang lain disebutkan secara tegas sebagai tindak pidana korupsi, maka yang berlaku ketentuan sanksi dalam undang-undang ini.” 

Atau secara a contrario, dapat dikatakan bahwa, ”Jika di dalam undang-undang lain, selain Undang-Undang Tipikor tidak ditegaskan bahwa pelanggaran terhadap undang-undang lain itu sebagai tindak pidana korupsi, maka yang berlaku ketentuan undang-undang lain itu.” 

Ketentuan tersebut merupakan rujukan bagi penegak hukum, bahwa ketentuan UU Tipikor tidak boleh digunakan layaknya ”pukat harimau”. Sehingga sejatinya pelanggaran-pelanggaran yang bersifat administratif serta-merta merupakan tindak pidana korupsi, asalkan ada kerugian negara di dalamnya. Lagipula, keputusan Dirjen Pajak ketika itu, HP, jelas merupakan kewenangan yang diberikan oleh UU KUP. Ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang berbunyi. 

”Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak,”; Pasal 26 ayat (1) UU KUP berbunyi, ”Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 12 (duabelas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.” 

Sehingga menjadi absurd dan terlalu dini untuk menyatakan bahwa, keputusan Dirjen Pajak, dalam hal ini HP, menerima keberatan pajak yang diajukan BCA (korporasi) merupakan penyalahgunaan wewenang yang ditengarai merugikan keuangan negara sebesar Rp 375 miliar. 

Bahkan juga terlalu dini untuk menetapkan HP dalam kedudukan dan jabatan sebagai dirjen pajak ketika itu selaku tersangka. Hal ini disebabkan untuk penetapan sebagai tersangka dalam konteks UU KUP merupakan kewenangan penyidik PNS pajak atau penyidik kepolisian sesuai dengan KUHAP dan UU KUP.
Uraian normatif ini terlepas dari fakta bahwa HP selaku pegawai tinggi di Kemenkeu memiliki harta kekayaan yang sangat signifikan, bahkan jauh melebihi penghasilannya yang sah selaku dirjen pajak. 

Karena fakta tersebut harus disertai bukti yang cukup untuk dapat dijadikan petunjuk atau alat bukti lainnya sehingga diperoleh dua alat bukti permulaan yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka. Ketua KPK beralasan, penetapan HP si mantan Dirjen Pajak selaku tersangka dengan alasan fakta terdapat keganjilan-keganjilan dalam proses pengambilan keputusan oleh HP terhadap permohonan keberatan BCA. 

Menurut pendapat saya, alasan-alasan tersebut baru merupakan kecurigaan semata- mata atau dugaan belaka tentang ”ada udang di balik batu” dalam keputusan (mantan) Dirjen Pajak, HP, ketika itu, untuk menerima keberatan pajak BCA. Namun dugaan itu pun harus didukung bukti materiil yang kuat di hadapan pemeriksaan sidang pengadilan. 

Dalam konteks UU Tipikor 1999/2001, pernyataan Ketua KPK yang merujuk pada Pasal 3 atau Pasal 2 UU Tipikor merupakan terobosan hukum baru, di luar ketentuan UU KUP 1983/2007 yang hanya memberikan celah hukum pemberlakuan UU Tipikor tersebut pada perbuatan pemerasan semata- mata, eks Pasal 12 UU Tipikor sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 36 A ayat (4) UU KUP. Pimpinan KPK dan penyidik dalam perkara HP memang harus bekerja keras. 

Pertama, untuk membuktikan telah terjadi penyalahgunaan wewenang karena kedudukan atau jabatan sebagai dirjen pajak, yang dilakukan dengan sengaja dan dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi; sehingga negara dirugikan karenanya (Pasal 3). Atau harus membuktikan bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum yang telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi sehingga negara dirugikan karenanya (Pasal 2). 

Namun, menjadi pertanyaan normatif, apakah setiap kerugian negara yang terjadi karena keputusan pegawai pajak serta-merta dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi? Selain terkait ketentuan Pasal 36A UU KUP khusus ditujukan pada Pasal 12 UU Tipikor (pemerasan dalam jabatan), juga terkait ketentuan UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Bab XI (Penyelesaian Kerugian Keuangan Negara). 

Aturan tersebut intinya menegaskan bahwa perbuatan baik yang disengaja maupun karena kelalaian oleh pejabat publik dan negara mengalami kerugian, maka penyelesaiannya adalah cukup jika pejabat negara itu mengembalikan kerugian keuangan negara tersebut kecuali jika ada temuan/ bukti oleh BPK bahwa ada unsur pidana di dalamnya. 

Ketentuan Bab XI UU Nomor 1/2004 hakikatnya menegaskan bahwa perbuatan tersebut termasuk pelanggaran administratif sehingga cukup dengan sanksi administratif; tidak harus serta-merta merupakan pelanggaran pidana dan sanksi pidana.

Mungkin bagi pimpinan KPK yang dipersoalkan adalah fakta atau LHKPN HP selaku mantan dirjen pajak dan dari hasil penyelidikan KPK telah menimbulkan dugaan bahwa ada harta kekayaan yang bersangkutan yang dinilai sangat signifikan dibandingkan dengan penghasilan yang bersangkutan yang sah selaku pegawai /dirjen pajak. 

Begitu pula, pimpinan KPK ada kemungkinan hendak menggunakan perkara pajak BCA dalam kaitan tersangka HP sebagai pintu masuk masalah kronis kasus BLBI terkait BCA sebagai BTO yang ditengarai tidak ”clear and clean” dalam proses pengambilalihan aset BCA oleh BPPN.

Inti dari sikap KPK dalam menghadapi perkara keputusan Dirjen Pajak HP adalah apakah keputusan mantan Dirjen Pajak HP telah benar-benar ”clear and clean” karena dua unsur ini sangat penting untuk mengetahui motif (niat) dari dikeluarkannya keputusan dirjen pajak menerima permohonan keberatan pajak dari BCA. 
ROMLI ATMASASMITA
Profesor Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)  
(nfl)
nasional.sindonews.com

TAX RATIO Indonesia cuma 11% krn PENGUSAHA BANYAK NGEMPLANG PAJAK dan DIRJEN PAJAK KORUP

Economists lose faith in ‘Jokowinomics’
Satria Sambijantoro, The Jakarta Post, Jakarta | Business | Thu, April 09 2015, 8:03 AM

Having pinned high hopes on the new government, international analysts have now become skeptical over the economic reforms previously announced by President Joko “Jokowi” Widodo as realization of his promises has been sluggish.

In a report entitled “Trimming Expectations” released on Wednesday, Bank of America Merrill Lynch cut economic growth projection for Indonesian to 5.5 percent this year, from its earlier estimate of 5.7 percent.

The US-based bank also cut its 2016 growth projection to 5.7 percent from 6 percent earlier, citing “slow” progress on the realization of infrastructure investment.

“Infrastructure investment has been subdued over the past decade and should recover under President Jokowi’s watch,” said Chua Hak Bin, an economist with Bank of America Merrill Lynch.

“But progress is slow so far, in part because of complex land acquisition process, weak implementation capacity and poor inter-agency coordination,” he noted.

Jokowi based his growth-minded economic agenda on the ambitious infrastructure spending plan, as he allocated approximately Rp 290 trillion (US$22.38 billion) in capital expenditure (capex) in the 2015 state budget, up from Rp 190 trillion last year.

However, recent developments show that budget disbursement remains sluggish, just as in past years. This occurred despite the reforms floated by Jokowi, including his instruction to kick-start state-contract tendering in March instead of June as is the norm.

In the first quarter of this year, the government disbursed only 18.5 percent of total state spending of Rp 1.98 quadrillion. Meanwhile, the Public Works and Housing Ministry, which is responsible for infrastructure projects, had spent only 3 percent of its budget by the end of March.

The situation sees the government facing a serious risk of underspending in the capex budget allocation, Chua added.

“Our concern is that a potential cut in expenditure of Rp 100 trillion may come, mostly in the form of a cut or delay in capital expenditure,” commented Reza Siregar, an economist with Goldman Sachs, another US-based investment bank.

Reza also noted that there were “questions on the viability of the key targets of the newly revised 2015 budget”, cautioning against a possible swelling in the fiscal deficit as a result of the unrealistic revenue collection target.

This year, Jokowi has targeted tax collection of Rp 1.48 quadrillion, a 30 percent increase from a year earlier.

This is an overly optimistic target, according to Goldman Sachs, which predicted that the maximum growth in tax revenues this year might stand at only 15 percent.

Caution over Jokowi’s economic reform progress was also shared by ratings agency Standard and Poor’s (S&P), which has refused to upgrade its credit rating for Indonesia.

This week, S&P’s executives met local analysts and media representatives in Jakarta and announced the ratings agency’s decision to maintain Indonesia’s rating at BB+, or one notch below the prestigious investment-grade status.

A country with an investment-grade rating normally sees stronger foreign inflows, compared to one rated in speculative or junk grades.

“The S&P sees a considerable risk. It sees the emerging of ‘less friendly’ business policies that could potentially negate the fuel subsidy reform,” Mandiri Sekuritas analyst Aldian Taloputra and Leo Rinaldy, who attended the meeting with S&P, wrote in a note distributed to clients on Wednesday.

“It wants to assess whether the government is consistent on its reform path if the external or internal pressures, including political pressure, intensify,” they noted. –

www.thejakartapost.com

Diminta Revisi, Jokowi Malah Sebut Target Pajak Kurang Tinggi
Gentur Putro Jati, CNN Indonesia
Rabu, 29/04/2015 14:32 WIB

Jakarta,
 CNN Indonesia -- Usulan Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu agar pemerintah merevisi turun target penerimaan pajak dari Rp 1.294,2 dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 tidak dihiraukan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Mantan Gubernur Provinsi DKI Jakarta tersebut justru menilai dengan rasio perpajakan yang ada, maka target tersebut masih terbilang kecil. Jokowi mencatat dari 252 juta penduduk Indonesia, idealnya ada 44 juta penduduk yang memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Namun kenyataannya baru 26 juta yang menyerahkan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan (PPh) tahunan kepada pemerintah. Dari angka itu, ternyata baru 10 juta yang membayar pajak dan 900 ribu diantaranya adalah Wajib Pajak (WP) pribadi.

“Ini kan sangat kecil sekali, rasio pajak kita juga hanya 11 persen. Ini kecil sekali kalau dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang sudah 18-21 persen,” ujar Jokowi di Istana Negara dikutip dari laman Sekretariat Kabinet, Rabu (29/4).

Oleh karena itu, usulan agar pemerintah menurunkan target pajak agar di akhir tahun terhindari dari terjadinya shortfall atau kekurangan target sebesar Rp 220 triliun tidak dipenuhinya. 

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menurutnya masih bisa mengejar target tersebut asalkan bisa menggunakan cara yang tepat untuk memancing wajib pajak melaksanakan kewajibannya.

“Petugas pajak harus bisa melakukan dengan cara yang hati-hati, jangan sampai justru ada ketakutan dan menimbulkan dampak yang tidak baik. Jangan sampai dunia usaha takut membelanjakan uang, takut mengeluarkan uang, takut menginvestasikan uang karena merasa dikejar-kejar,” tegas Jokowi.

Sementara Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menilai masih rendahnya tingkat kepatuhan wajib pajak adalah karena kurang pahamnya masyarakat atas ketentuan perpajakan. Karena itu, dengan moto “Reach the unreachable, touch the untouchable”, kata Menkeu, Ditjen Pajak akan melakukan pembinaan kepada kelompok wajib pajak terdaftar yang telah maupun belum melaporkan SPT, serta orang atau badan yang belum terdaftar sebagai wajib pajak.

Selain itu Kementerian Keuangan juga menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagai akibat keterlambatan penyampaian SPT atau penyetoran pajak.


Menkeu menyebutkan, PMK tentang sunset policy itu sesuai dengan strategi DJP untuk menjadikan tahun 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak. 

“Strategi ini merupakan bagian dari rencana pengamanan target penerimaan pajak 2015. Diharapkan seluruh masyarakat mampu menyukseskan tahun pembinaan wajib pajak 2015, dan seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah, pelaku bisnis, dan stakeholdermendukung kebijakan tersebut,” kata Bambang. (gen)

www.cnnindonesia.com


Impor Gandum itu untuk dapatkan DISCOUNT dan NGEMPLANG PAJAK

Wheat trade built on years of kickbacks
By Marian Wilkinson National Security Editor
December 6, 2005

AUSTRALIA'S wheat exporter paid millions of dollars in kickbacks to Pakistan, Indonesia and Yemen before it became embroiled in the illicit payments to Saddam Hussein's regime in the oil-for-food scandal, according to two former employees.

Describing a system of kickbacks for contracts within the
Australian Wheat Board when it was still under government control in the 1990s and after it was privatised in 1999 to become AWB, one former employee with direct knowledge of the payments said bluntly, "The culture of the organisation was: get the job done."

According to the former employees, who asked not to be named, the largest kickbacks before Iraq were paid in the 1990s to Pakistan, where up to $8 million was paid in one year to a local agent who would pass on payments to officials in the Ministry of Food and Agriculture.

"Basically, the officials in Pakistan, in the Ministry of Food and Agriculture, wanted to get a kickback on this type of business and AWB were given a third party to deal with. So funds were transferred into this third party's account," a former employee told the Herald.

"We would transfer
$US4 a tonne. That would be on transferred to the officials and whoever else was needed to make sure the business flowed smoothly. We were not given the names to whom he was transferring the money. We left it up to this guy who was professional in what he did."

A second employee told the Herald the agent in Pakistan would arrange an annual memorandum of understanding between the wheat board and the ministry and set the price and the commission before a contract was signed.

"If we were shipping to Pakistan, we would have made sure we were looking after people in the ministry," he said.

Both former employees believe the kickbacks were known to individuals at senior levels of the AWB.

"This was not looked on as something that was bad," said one. "It meant you could get more money for that wheat, so what's your problem? Culturally that's the way the organisation worked."

In Indonesia,
under President Soeharto, the AWB paid a special rebate on its wheat contracts to the Bogasari Flour Mills. The company was controlled at the time by a close friend of Soeharto and the rebate was paid into an offshore account that avoided government taxes and charges.

It was a deal that "would not have reached Australian business practice standards", said one former AWB employee.

Both the Pakistani and Indonesian kickbacks were reviewed in 2000 after the Government passed new laws making it a criminal offence to bribe foreign officials anywhere in the world to win or retain business. AWB held internal meetings with a law firm and the anti-corruption organisation, Transparency International, to brief employees on the anti-bribery laws.

The new claims will bolster calls by the Opposition foreign affairs spokesman, Kevin Rudd, for a royal commission into the AWB and the Iraq oil-for-food scandal.

Last month, the Howard Government set up a judicial inquiry under a former judge, Terry Cole, QC, into the kickbacks paid to Iraq by AWB in the oil-for-food scandal. But the inquiry is narrowly confined by its terms of reference to investigate whether any officer with AWB and two other Australian companies named in the UN's oil-for-food investigation broke the law.

The Cole inquiry was forced on the Government after the UN's inquiry, led by Paul Volcker, found that AWB Ltd had paid more than $US220 million in illegal fees on its wheat contracts to Iraq. The payments were channelled to Saddam's regime in contravention of the UN sanctions against Iraq.

AWB executives, including Andrew Lindberg, managing director since 2000, have repeatedly denied any knowledge that the payments made for trucking services to a Jordanian company called Alia were being channelled to Saddam's regime. The trucking fees leapt from about $US12 a tonne to more than $US45 a tonne in two years.

The Volcker report said it was unable to find "sufficient" evidence that AWB directly knew the payments were kickbacks to the regime but there were "numerous documentary and circumstantial warning signs" that the trucking payments were "in whole or in part for the benefit of the [then] government of Iraq".

Murray Rogers, who served as chief executive from 1997 to 2000, declined to comment, saying it was up to Mr Cole whether he examined the new claims. AWB had no comment yesterday.

www.smh.com.au

Penerimaan Pajak Rendah, Kasus BCA Mesti Segera Dituntaskan

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta memprioritaskan penuntasan kasus pembebasan pajak PT Bank Central Asia (BCA) dengan tersangka mantan Dirjen Pajak, Hadi Poernomo. KPK juga harus segera menindak peran manajemen atau pemilik BCA yang diduga sebagai pelaku aktif yang menyuap pejabat negara dalam perkara yang merugikan negara 375 miliar rupiah itu.

Selain itu, pengungkapan kasus pajak BCA akan mengembalikan kepercayaan pembayaran pajak untuk memenuhi kewajibannya. Sebab, realisasi pendapatan pajak sampai semester I-2014 masih rendah, yakni baru mencapai 43,29 persen dari target 1.246,11 triliun rupiah yang ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2014 (lihat infografis).

“Kasus pembebasan pajak BCA dengan tersangka Hadi Poernomo merupakan kasus serius karena ternyata seorang dirjen Pajak bisa dibeli, dan pembelinya adalah BCA, yang kita tahu masih punya masalah terkait BLBI yang memberatkan pengeluaran negara,” kata Koordinator Forum Pajak Berkeadilan, Ah Maftuch, di Jakarta, Senin (11/8).

Maftuch menambahkan KPK menjadi satu-satunya tumpuan publik pada kasus penggelapan pajak sebagai pendapatan negara. “Pengungkapan kasus pajak BCA ini juga akan menjadi pintu masuk bagi KPK untuk membereskan megaskandal BLBI. Jika ini terungkap, maka beban utang BLBI tidak akan menjadi tanggung jawab generasi mendatang,” katanya.

Sejauh ini, setelah menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus pembebasan pajak BCA, KPK belum memeriksa mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu. KPK baru mengumpulkan keterangan dari sejumlah saksi, salah satunya mantan Dirjen Pajak, Darmin Nasution, kemarin.

Setelah dimintai keterangan, Darmin mengaku tidak mengetahui kasus pembebasan pajak BCA. “Apa yang disebutkan pada kasus itu saya belum berada di lingkungan Ditjen Pajak, dan kemudian ada follow up dari Irjen, saya juga nggak tahu karena saya kan sudah tidak di Pajak lagi waktu itu,” akunya.

Darmin menjabat dirjen Pajak sejak April 2006 sampai dengan Juli 2009. Dia menggantikan Hadi Poernomo yang menjabat dirjen Pajak pada Februari 2001 sampai dengan April 2006.

Pengemplang BLBI

Menurut Maftuch, BCA merupakan bank terbesar yang mengemplang BLBI. Kewajibannya pada negara belum tuntas karena masih ada utang pokok yang belum dibayar. Namun, setiap tahun BCA masih terus menerima subsidi bunga obligasi rekap dari negara. “Jadi, negara sudah dirugikan besar, tapi tidak mau membayar pajak,” katanya.

Lagi pula, imbuh Maftuch, BCA sebenarnya tidak pantas mengajukan keberatan membayar pajak sebesar 375 miliar rupiah atas transaksi kredit macet atau non perfoming loans senilai 5,7 triliun rupiah. Pasalnya, kondisi keuangan BCA setelah dijual ke publik pada 2001 sampai sekarang sudah sehat.

Maftuch menegaskan kejahatan perbankan yang dilakukan BCA sangat sistemik, dan hal itu bisa berlanjut sekian lama karena sistem kroni. “Kroni swasta selalu terhindar dari penegakan hukum karena selalu dilindungi pejabat tinggi,” jelasnya.

Maftuch menilai kalau BCA tidak dijual murah yang diduga kepada pemilik lama yang menjebol banknya sendiri, negara tidak akan rugi. “Bayangkan, utang sudah dihapus, namun aset masih bisa dimiliki oleh BCA, tapi rakyat yang membayar pajak masih menanggung utang itu dengan memberikan subsidi bunga obligasi rekap eks BLBI. Ini sangat tidak adil, dan sistem ini harus dihentikan segera bila mau terhindar dari bencana.” YK/fdl/AR-2

www.koran-jakarta.com

KPK Harus Periksa Sjamsul dan Anthony Salim Terkait Pajak BCA

Jakarta, GATRAnews - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera memeriksa Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim untuk mengusut kasus dugaan keberatan pajak yang membelit Hadi Poernomo, mantan Dirjen Pajak.

Desakan tersebut disampaikan Forum Pajak Berkeadilan (FPB) yang berganggotakan Perkumpulan Prakarsa, Asppuk, The Habibie Center, ICW, Indonesia for Global Justice, ILR, P3M, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dalam konferensi pers di Cheese Cake Factory, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (25/4).

Selain itu, KPK juga harus menjadikan kasus keberatan pajak BCA sebagai pintu masuk untuk membuka kembali kasus dugaan pengemplangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang pernah diselidik era Ketua KPK Antasari Azhar, karena terkait erat dengan kasus keberatan pajak BCA.

Ah Maftuchan, Peneliti Kebijakan Publik dari Perkumpulan Prakarsa menilai, kasus ini pintu masuk untuk menelusuri kasus dugaan penyalahgunaan dana BLBI oleh BCA. BCA berdalih hasil koreksi Direkorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap laba fiskal sejumlah Rp 6,78 trilyun harus dikurangi sebesar Rp 5,77 trilyun tidak harus membayar pajak, karena  transaksi pengalihan aset dilakukan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

"KPK harus menyelidiki klaim BCA atas pengalihan aset tersebut, karena sampai saat ini, skema BLBI-BPPN itu masih menyisakan permasalahan," tandas Maftuchan.

Terlebih, ujarnya, jika mengkaji laporan keuangan BCA akan didapatkan sejumlah kejanggalan yang mengarah ke pengelakan pajak (tax evasion) dan pengemplangan pajak (tax avoidance).

Penggelapan tersebut disinyalir memanfaatkan celah hukum dengan cara melakukan belanja di luar kewajaran, seperti menaikkan tunjangan dan gaji karyawan, serta menyuap oknum pejabat, sehingga jika hal tersebut dibuka, maka bisa menyasar BLBI. Terlebih Antasari  pernah menyelidiknya.

Atas dasar itu, KPK harus membukanya dan mengusut dugaan keterlibatan pemilik BCA  saat itu, yang penyelidikan sudah mengarah kepada Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim. Hadi Poernomo menguntungkan BCA sebagai wajib pajak badan atau korporasi.

Keputusan Hadi menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil, menjandikan BCA tidak harus membayar pajak dan modus ini merupakan bagian dari kejahatan perbankan yang harus diungkap dan diselesaikan KPK karena merugikan keuangan negara.

Kasus BCA merupakan fenomena gunung es, karena ditenggarai banyak kasus serupa yang terjadi di sektor perbankan. Adapun potensi kerugian negara dari pajak perbankan setiap tahunnya diperkirakan mencapai Rp 10-12 trilyun.

"Ini suatu kerugian besar yang diakibatkan oleh kejahatan perpajakan dari sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya," ujar Maftuchan. (IS)

www.gatra.com

Penggelapan pajak BCA menguntungkan Hadi Purnomo secara pribadi dan PT BCA sebagai wajib pajak

Forum Pajak Berkeadilan mengatakan kasus yang menjerat mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo dan PT Bank Central Asia (BCA) Tbk jika terbukti merupakan kejahatan pajak luar biasa. Kejahatan luar biasa karena melibatkan elemen otoritas perpajakan dengan korporasi.


"Dalam kasus ini, selain menguntungkan Hadi Purnomo secara pribadi juga menguntungkan PT BCA sebagai wajib pajak badan atau korporasi," ucap juru bicara Forum Pajak Berkeadilan Ah Maftuchan dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (25/4).

Forum Pajak Berkeadilan terdiri dari organisasi. Yakni 
  1. Perkumpulan Prakarsa
  2. The Habibie Center, 
  3. Indonesia Corruption Watch, 
  4. Indonesia for Global Justice, 
  5. Indonesia Human Rights Comitte for Social Justice, 
  6. Indonesia Legal Rountable, 
  7. Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 
  8. PWYP Indonesia, 
  9. Yappika, 
  10. Yayasan Layanan Konsumen Indonesia dan ASPPUK. 
Disampaikan, penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) oleh Hadi Purnomo selaku mantan Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan membuat beban pajak yang seharusnya dikenakan kepada BCA menjadi tidak ada atau nihil. 

"Modus ini merupakan bagian kejahatan perpajakan yang harus diungkapkan dan diselesaikan segera oleh KPK, karena merugikan penerimaan negara dari pajak," tegas Maftuchan. 

Kasus kejahatan di sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya, lanjut dia, dalam pandangan Forum Pajak Berkeadilan bukan hanya satu kasus melainkan banyak jumlahnya. Karena berdasarkan hasil investigasi dan kajian yang dilakukan pihaknya, ditemukan adanya potensi kerugian negara hingga Rp 10 triliun hingga Rp 12 triliun per tahun. 

www.aktual.co

Dalam ekspose, kasus BCA terpenuhi setidak-tidaknya terdapat unsur kerugian negara sebesar 375 miliar

JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait permohonan keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA). Hadi, yang hari ini masih menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dianggap telah merugikan negara hingga lebih dari Rp 370 miliar.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan, Hadi dijerat dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal Pajak 2002-2004. Ketika itu, BCA mengajukan keberatan pajak atas non-performance loan yang nilainya Rp 5,7 triliun. Hadi diduga menyalahi prosedur dengan menerima surat permohonan keberatan pajak BCA tersebut. Atas perbuatan ini, negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp 375 miliar.
"Dalam ekspose, terpenuhi setidak-tidaknya terdapat unsur kerugian negara sebesar 375 miliar," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto dalam jumpa pers di Gedung KPK, Senin (21/4/2014).
Hadi diduga melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang terkait permohonan keberatan BCA selaku wajib pajak pada 2003. Dia disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.

Kasus pajak BCA dan kasus korupsi BLBI sangat terkait

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan tidak menutup-nutupi pemeriksaan saksi kasus dugaan penyalahgunaan wewenang dirjen pajak periode 2002–2004, Hadi Poernomo. KPK juga mesti mengungkap keterlibatan saksi yang mengetahui keberatan pajak PT Bank BCA atas transaksi non performance loan sebesar 5,7 triliun rupiah.

Demikian pendapat pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, dan pegiat antikorupsi dari Kaukus Muda Indonesia, Edi Humaidi, yang dihubungi terpisah di Jakarta, Jumat (28/11).

Menurut Abdul Fickar Hadjar, apabila kasus korupsi telah masuk tahap penyidikan dan telah ada tersangkanya, sebaiknya KPK harus transparan. “Buat apa pemeriksaan saksi ditutup-tutupi? Ini kasus korupsi yang telah merugikan keuangan negara, maka publik mesti mengetahui perkembangannya,” kata Fickar.

Sebelumnya, Juru Bicara KPK, Johan Budi, mengatakan penyidik KPK masih terus memeriksa sejumlah saksi atas kasus penyalahgunaan wewenang permohonan keberatan pajak BCA dengan tersangka dirjen pajak periode 2001–2006, Hadi Poernomo. Bahkan, Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, menjelaskan pemeriksaan saksi kasus pajak BCA dilakukan secara bertahap. Busyro juga membantah KPK merahasiakan identitas saksi-saksi yang diperiksa terkait penyidikan kasus yang merugikan negara sekitar 375 miliar rupiah tersebut.

Penjelasan Johan Budi dan Busyro Muqoddas dilontarkan menanggapi adanya keluhan publik atas lambannya penyidikan kasus pajak BCA. KPK bahkan dinilai menutup-nutupi sejumlah saksi yang telah diperiksa karena tidak mencantumkan nama dan jadwal seperti yang terjadi pada perkara korupsi lainnya.

Kasus SKL BLBI

Sementara itu, kemarin KPK memeriksa mantan menko perekonomian Dorodjatun Kuncoro Jakti sebagai terperiksa kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sebelumnya KPK juga sudah memintai keterangan sejumlah menteri dan pejabat yang mengetahui SKL BLBI tersebut, seperti Kwik Kian Gie dan manten menkeu Bambang Subianto.

Menurut Edi Humaidi kasus SKL BLBI dan kasus pajak BCA merupakan pintu masuk bagi KPK untuk mengungkap skandal BLBI yang hingga sekarang telah membebani anggaran negara (ABPN). “Kasus pajak BCA dan kasus korupsi BLBI sangat terkait. KPK tinggal menarik benang merahnya saja, apalagi sebelumnya KPK telah meminta keterangan dari sejumlah pejabat yang mengetahui BLBI,” katanya.
Edi menegaskan skandal perbankan BLBI merupakan sumber dari segala sumber korupsi. Mereka yang terlibat berusaha memengaruhi aparat hukum dan pejabat negara untuk tidak mempersoalkannya lagi. Mereka bahkan mengalihkan kewajiban pengemplang BLBI melalui pembayaran bunga obligasi rekap perbankan di APBN. “Kini saatnya KPK mengungkap tuntas megakorupsi BLBI itu. Dasarnya jelas, hasil pendapatan pajak rakyat digunakan untuk membayar utang pengemplang BLBI,” ujar Edi. eko/AR-2

www.koran-jakarta.com

Harta Hadi Poernomo, dari Bekasi hingga California

TEMPO.COJakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Purnomo sebagai tersangka kasus pajak PT Bank Central Asia. Saat menjabat Direktur Jenderal Pajak Hadi pada 2002-2004, Hadi diduga mengubah keputusan permohonan pajak BCA sehingga merugikan negara Rp 375 miliar. (Baca: Tersandung Skandal Pajak, Ini Reaksi Bos BCA)

Investigasi majalah Tempo menemukan sejumlah aset Hadi yang tersebar dari Sawangan, Bogor hingga ke Los Angeles, Amerika Serikat. Berdasarkan laporan kekayaan yang disetorkan kepada KPK, total kekayaan Hadi mencapai Rp 37,9 miliar. Harta ini sebagian besar berasal dari hibah orang tua dan mertuanya. (Baca: KPK Tetapkan Hadi Poernomo sebagai Tersangka)

Dalam daftar pelaporan harta kekayaan penyelenggara negara yang diserahkan ke KPK pada 2010, Hadi juga memiliki harta senilai Rp 38,8 miliar dan banyak tanah di sejumlah daerah, termasuk tanah dan apartemen di Los Angeles, California, Amerika Serikat, seluas 60 x 160 meter persegi.

Hampir semua aset tersebut diatasnamakan Melita Setyawati, istrinya. Berikut sebagian besar harta Hadi yang ditemukan Tim Investigasi Tempo.


1. Raya Kembangan RT 08/02 No. 46, Kembangan, Jakarta Barat. Luas tanah: 2.900 meter persegi. AJB 25 Juni 1985 atas nama Melita Setyawati. Nilai jual obyek pajak (NJOP): Rp 2.925.000/meter persegi, harga pasar Rp 3-4 juta/meter persegi.

2. Raya Kembangan RT 08/02, Kembangan, Jakarta Barat. Luas tanah: 1.000 meter persegi. NJOP: Rp 2.925.000/meter persegi, harga pasar Rp 3-4 juta/meter persegi. AJB 2 Juli 1993 atas nama Melita Setyawati.

3. Kencana Molek I Blok M-12A No. 29, Kembangan, Jakarta Barat. Luas tanah/bangunan: 135/160 meter persegi. NJOP: Rp 5.095.000. AJB 22 Agustus 1996 atas nama Melita Setyawati.

4. Kembangan Raya 10 RT 07/01, Kembangan, Jakarta Barat. Luas tanah/bangunan: 429/326 meter persegi. NJOP: Rp 516.000/meter persegi. AJB 2 Agustus 2004 atas nama Melita Setyawati.

5. Anggrek Garuda Blok H/2 RT 01/05, Kemanggisan, Jakarta Barat. Luas tanah/bangunan: 233/100 meter persegi. NJOP: Rp 4.155.000/meter persegi. Akta hibah 15 November 1985 untuk Hadi Poernomo dari R. Abdul Hadi Noto Sentoso, yang membeli 15 November 1985.

6. Kompleks Migas 44/17A RT 01/07, Kemanggisan, Jakarta Barat. Luas tanah/bangunan: 315/200 meter persegi. NJOP: Rp 2.025.000/meter persegi. AJB tahun 1973 atas nama Melita Setyawati.

7. Iskandarsyah I/18 RT 05/04, Melawai, Jakarta Selatan. Luas tanah/bangunan: 668/400 meter persegi dan 668/668 meter persegi. NJOP: Rp 7.455.000/meter persegi. Akta hibah 18 Januari 1985 untuk Hadi Poernomo dari R Abdul Hadi Noto Sentoso, yang membeli 21 September 1983.

Merugikan Negara Rp260 Triliun, BCA Masih Juga Ngemplang Pajak

JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta tidak berhenti pada kasus dugaan korupsi terkait pembayaran pajak PT Bank Central Asia (BCA) dengan tersangka Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Hadi Poernomo, saat dia menjadi Dirjen Pajak pada 2002-2004. 
Lembaga antikorupsi itu juga mesti menyelidiki peran manajemen atau pemilik BCA dalam perkara dugaan korupsi pembayaran pajak yang merugikan negara sekitar 375 miliar rupiah itu. Pelaku aktif yang menyuap pejabat negara dalam kasus itu juga harus ditindak.
Dengan terbongkarnya kasus kolusi pejabat negara dengan BCA itu, maka pemerintah sebaiknya mempertimbangkan agar BCA dikembalikan kepada negara.
Pasalnya, kolusi yang dilakukan bank swasta itu sudah berjalan sejak skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonsia (BLBI) selalu merugikan uang negara dan rakyat. Apabila, hukum tidak ditegakkan, maka kejahatan itu akan berulang.
Seperti diketahui, kini kapitalisasi pasar BCA di Bursa Efek Indonesia (BEI) sudah mencapai 269,71 triliun rupiah (per 22 April 2014). Padahal, saat saham pemerintah di BCA dijual pada 2001 hanya dihargai 10 triliun rupiah. Dari kondisi itu, maka potensi kerugian negara dari transaksi penjualan saham BCA sekitar 259 triliun rupiah.

Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Hifdzil Alim, mengemukakan dengan penetapan Hadi Poernomo sebagai tersangka pada Senin (21/4), maka KPK bisa segera memeriksa BCA dan mengembangkan pemeriksaan kasus penggelapan pajak tersebut pada kasus yang jauh lebih besar yang selama ini menjadi perhatian publik, yakni penyalahgunaan dana BLBI. 
“BCA adalah bank terbesar yang mengemplang BLBI. Namun, kewajibanya kepada negara belum tuntas karena masih ada utang pokok yang belum dibayar. Namun, setiap tahun BCA masih terus menerima subsidi bunga obligasi rekap dari negara. Jadi, negara sudah dirugikan besar, tapi tidak mau membayar pajak,” ungkap dia saat dihubungi, Selasa (22/4).
BCA, menurut Hifdzil, sebenarnya tidak pantas mengajukan keberatan membayar pajak sebesar 375 miliar rupiah atas transaksi kredit macet atau non perfoming loans senilai 5,7 triliun rupiah. Pasalnya, kondisi keuangan BCA setelah dijual ke publik pada 2001 sampai sekarang sudah sehat.
Dia menegaskan kejahatan perbankan yang dilakukan BCA sangat sistemik dan hal itu bisa berlanjut sekian lama karena sistem kroni. “Kroni swasta selalu terhindar dari penegakan hukum karena selalu dilindungi pejabat tinggi,” papar dia.
Hifdzil menambahkan kalau BCA tidak dijual murah yang diduga kepada pemilik lama yang menjebol banknya sendiri, maka negara tidak akan rugi.
“Bayangkan, utang sudah dihapus, namun aset masih bisa dimiliki oleh BCA, tapi rakyat yang membayar pajak masih menanggung utang itu dengan memberikan subsidi bunga obligasi rekap eks-BLBI. Ini sangat tidak adil dan sistem ini harus dihentikan segera bila mau terhindar dari bencana.”
Apalagi, lanjut dia, apabila pembayaran obligasi rekap tidak dihentikan, maka utang negara dari BLBI pada 2043, yang mencapai sekitar 60.000 (enam puluh ribu) triliun rupiah, semakin tidak mungkin terkejar lagi oleh proyeksi pendapatan pajak yang hanya 5.401 triliun rupiah.
”Sistem ini harus dihentikan segera bila mau terhindar dari bencana. KPK harus berani usut tuntas sampai ke akar-akarnya, skandal mahabesar seperti ini harus disetop,” tegas Hifdzil.
Anggota Komisi III, Bambang Soesatyo, menambahkan KPK harus menjadikan kasus Hadi Poernomo pintu masuk untuk membongkar kasus lebih luas dan besar lagi, yakni berbagai dugaan penyimpangan pajak dan penyimpangan BCA sebagai salah satu penerima fasilitas terbesar BLBI. "Ini pintu masuk mengurai kasus BLBI," papar dia.

Periksa BCA
Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, menyatakan lembaga itu akan segera memeriksa BCA terkait kasus Hadi Poernomo tersebut.
"Nanti swastanya juga akan dikembangkan, setelah dikembangkan baru ketahuan swastanya siapa. BCA itu pasti akan kita periksa," kata Busyro saat ditemui di Gedung KPK, Selasa.
Menurut Busyro, KPK masih mengembangkan peran BCA dalam kasus ini. "Masih dikembangkan, dia itu siapa," ujar Busyro saat ditanya apakah BCA sebagai pihak yang memberi suap ke Hadi Poernomo. 
Dia menjelaskan motif paling jelas dalam kasus itu adalah penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Busyro juga mengaku belum mengatahui jumlah dana yang diberikan BCA kepada Hadi Poernomo.YK/ags/eko/WP

Saturday, April 25, 2015

Tak Dituntaskan, Skandal BLBI Bahaya Laten Kejahatan Bank

JAKARTA – Pemerintah harus segera menuntaskan penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) agar tidak menjadi bahaya laten kejahatan perbankan nasional. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus mengungkap dan menuntaskan pelanggaran hukum yang dilakukan obligor BLBI demi terwujudnya rasa keadilan rakyat.

"Kalau itu tidak dituntaskan, bankir-bankir hitam dapat saja mendirikan bank lalu mengeluarkan pinjaman untuk perusahaan atau grupnya, dan sengaja memacetkan pinjaman. Kalau pinjaman sudah macet, otomatis yang menanggung dana nasabah itu adalah LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Padahal  dana LPS itu berasal dari masyarakat sendiri," kata peneliti Pusat Studi Sosial dan Politik Indonesia (Puspol), Kusfiardi dalam diskusi Kerusakan Sistemik Akibat Kejahatan Ekonomi BLBI, Mewaspadai Moral Hazard Pengusaha Nakal di Tengah Kondisi Krisis di Jakarta, Kamis (23/4).

Karena itu, imbuh Kusfriadi, agar tidak terjadi perampokan oleh oknum bankir maka pemerintah harus berani menuntaskan dan menyelesaikan kejahatan perbankan terbesar dalam sejarah perbankan Indonesia, yaitu kasus korupsi BLBI. "Kebijakan warisan IMF ini kalau tidak dituntaskan segera akan menjadi contoh bagi bankir hitam untuk mengulangsi skandal BLBI," ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo yang menganggap Bank Dunia dan Dana Monter Internasional (IMF) tidak membawa solusi bagi persoalan ekonomi global, didesak untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan warisan lembaga internasional itu di Indonesia. Alasannya, skandal BLBI dengan obligasi rekapitalisasi perbankan pada 1998 yang merupakan warisan rekomendasi IMF terbukti memiskinkan rakyat Indonesia yang dipaksa menanggung utang pengemplang BLBI.


Menciderai Keadilan

Menjelaskan tentang pos pembayaran bunga obligasi rekap eks obligor BLBI yang di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dialokasikan 70 triliun rupiah per tahun selama 28 tahun (sampai tahun 2043), Kusfriadi menegaskan kenyataan ini merupakan rekayasa anggaran yang sangat menciderai keadilan rakyat.


“Bayangkan, akibat ulah segelintir bankir nakal, kita rakyat Indonesia yang disiplin membayar pajak, malah harus menanggung utang pengemplang BLBI itu. Anehnya lagi, selama hampir 28 tahun, pemerintah harus terus membayar 70 triliun rupiah ke bank-bank swasta pemegang obligasi rekap yang notabene sekarang sudah dimiliki pihak asing," ujar Kusfiardi.

Kusfriadi mencontohkan Bank Danamon, yang sebagian besarnya dimiliki oleh Temasek  Malaysia. "Jadi uang triliunan rupiah itu, dibayarkan ke Danamon, tapi uangnya, bukan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia tapi dinikmati negara lain," kata Kusfiardi.

Karena itu, Kusfriadi mlihat bahwa kejahatan yang timbul dari kasus BLBI itu sudah merupakan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat karena hak masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan terampas untuk membayar obligasi rekap BLBI.
"Karena itu perlu ada putusan politik dari pemerintahan Presiden Jokowi untuk berani menghapus kewajiban pembayaran hutang obligasi rekap tersebut. Masak mencabut subsidi BBM saja berani, tapi untuk menghapus kewajiban pembayaran utang obligasi rekap, tidak berani?" tegas Kusfiardi.eko/AR-2


Tuesday, April 14, 2015

The Evolving Automotive Ecosystem

MOUNTAIN VIEW, CALIF. – Google Chairman Eric Schmidt sits in a Google self-driving car at Google headquarters on February 2, 2015.
Much as was once the case with electrification, digitization is nowtransforming industry after industry. Inmedia and communications, for example, everything seems to be changing at once, from the way content is produced and delivered, to the sources of revenue and profits. In financial services, money and payment ecosystems are becomingincreasingly digital now that just about everyone in the world can afford a personal mobile device. Smart, connected products are reshaping industry boundaries and forcing companies to ask themselves a fundamental question: What business am I really in?
This is also the case in the automobile industry, one of the largest in the world. “Not since the first automotive revolution has there been such stunning innovation in the industry,” notes an excellent recent KPMG report, – Me, my car, my life… in the ultraconnected age. “Autonomous vehicles are only part of the story. The convergence of consumer and automotive technologies and the rise of mobility services are transforming the automotive industry and the way we live our lives.”
Self-driving cars have commanded our attention in the last few years. The advent of self-driving vehicles like the Google car is not only a truly dramatic milestone in AI, but concrete evidence that digital technologies are having a huge impact on the future of the automobile. Opinions vary as to the commercial prospects for such trulyautonomous vehicles. Some feel that they will be all around us within a decade, navigating our present roads right along human-driven cars. Others are not quite so sure due to the highly complex technical and societal issues that remain to be worked out. Time will tell.
In any event, car companies are working hard to try to keep pace with the speed of innovation in consumer technologies, a huge challenge to the auto industry, notes the KPMG report: “Melding the two worlds — consumer electronics, with its rapid new product launch cadences and willingness to accept iterative software releases, and automotive engineering, with its mass customization, millions of product configurations, and critical safety, durability, and reliability requirements — is not an easy prospect.”
As is the case in other industries, the core competencies that once made a car company successful, — making great engines, designing appealing auto bodies and interiors, marketing the freedom and romance of the open road, — are no longer enough. New software skills, representing a whole new culture are now needed. “Today an average midsize vehicle has approximately 40 to 50 individual microprocessor-driven systems, which require approximately 20+ million lines of code; a larger, high-end luxury vehicle might have as many as 100 million lines of code. A Boeing 787, on the other hand, has less than 15 million lines of code.”

As products become software-intensive and connected, complexity follows. So is the case with cars. Managing this growing complexity has become the greatest challenge in the industry, especially for companies in the early stages of the transition. “[C]omplexity is wreaking havoc with production costs and new product launches,” notes KPMG. “Vehicle recalls are at a record high, and customers are complaining vociferously about the design and usability of in-vehicle infotainment. The value of a car increasingly resides in software and electronics — and how well they work together. Get it right or lose your customers.”
It’s no longer enough for cars to smoothly get drivers where they want to go. People are now bringing their everyday digital experiences into their cars. In response, the report offers succinct advice to automakers:
  • “Customers will expect ubiquitous connectivity and seamless integration with their nomadic devices.”
  • “Make the HMI [Human Machine Interface] elegant and easy to use.”
  • “Use data and predictive analytics to manage the customer relationship throughout the life cycle, from awareness to purchase to vehicle maintenance and upgrade.”
Easier said than done, and little different from the advice one might offer to a smartphone designer. Cars are essentially becoming Smartphones on wheels, the title of a recent Economist article on the rise of the connected car. “This is the coming together of communications technologies, information systems and safety devices to provide vehicles with an increasing level of sophistication and automation. It is a process that will change not just how cars are used but also the relationship between a car and its driver. This, in turn, will affect the way vehicles are made and sold. Eventually, it is the connected car that may deliver a driverless future.”
Three main kinds of services have already been emerging from the marriage of advanced mechanical and digital technologies:
  • Applications such as music, navigation and traffic information delivered wirelessly to users’ mobile devices, — e.g., smartphones, tablets, — or to devices built into the car.
  • Maintenance services such as advanced warnings that parts must be replaced or explanations of why the check-engine-light is on, based on data transmitted by the car to a support center.
  • Services based on communications with other vehicles and/or with a smart infrastructure designed to reduce accidents and make traffic flow more smoothly.
Who will deliver these different kinds of services? Traditional carmakers and their existing suppliers, or a whole new set of digital-savvy companies? “Cars will become bundles of different technologies, not only of devices but also of consumer brands, all vying for the driver’s attention in a sometimes uneasy alliance with carmakers.”
A more recent Economist article, Upsetting the Apple car, probes deeper into these questions, as it wonders if technology companies like Google and Apple, or new startups like Tesla may one day dethrone the existing car companies. This is an issue in many other industries. Will the legacy industry leaders be able to embrace the new digital technologies, processes and culture, or will they inevitably fall behind their faster moving, more culturally adept digital-native competitors?
“[W]hatever the future of the car looks like, it will be tough to overturn the incumbents in a business where clever technology is only part of the equation,” writes theEconomist. “Despite a reputation, once richly deserved, for sloth in adopting new technologies, most big carmakers are pouring resources both into battery power and other alternative forms of propulsion, and into automated driving … [Moreover,] carmakers have had to become adept at handling mountains of regulations and fending off liability lawsuits. These will be huge issues when any self-driving car is involved in an accident — which they will be, even if less frequently than ones driven by humans…”
“In all, the tech firms may be better off working with carmakers, to develop the software that will provide the brains of the self-driving car, and to improve the range and battery costs of the electric car. In the motor industry, supplying the key parts is generally more profitable than putting the cars together, even if you do not get your company’s badge on the bonnet. In the future cars will be different but the brands will probably be much the same.”
How can today’s auto companies stay relevant and capitalize on these many digital innovations? The KPMG report offers with 5 key recommendations, which while aimed at the automobile industry, apply equally well to any company in any industry facing similar digital challenges.
Find new partners and dance: “The structure of the automotive industry will likely change rapidly. Designing and producing new vehicles have become far too complex and expensive for any likely one company to manage all on its own. The companies that thrive in the future will likely be those that are nimble, future oriented — and prepared to invest in new technologies, new talent, and new strategic alliances.”
Become data masters: “Know your customers better than they know themselves. Use that data to curate every aspect of the customer experience from when they first learn about the car to the dealership experience and throughout the customer life cycle. Having data scientists on staff will likely be the rule, not the exception. Ultimately, you will need to use that data to create mobility solutions that capture consumers’ attention, address their personal mobility needs, and make their lives better, more fun, and more productive.”
Update your economic models: “Predicting demand was hard enough in the old days, when you did a major new product launch approximately every five years. Now, with the intensity of competition, the rapid cadence of new launches, and the mashup of consumer and automotive technology, you may need new economic models for predicting demand, capital expenditures, and vehicle profitability.”
Tame complexity: “It’s all about the center stack, the seamless connectivity with nomadic devices, the elegance of the Human Machine Interface. The companies that create the best, most easily customized user experiences will likely be victors in the age of personalized mobility.”
Create adaptable organizations: “It will take a combination of new hard and soft skills to build the cars and the companies of the future. For many older, established companies, that means culture change, bringing in new talent, and rethinking every aspect of process and people management. Melding the rigor and discipline it takes to build zero-defect automotive grade machines in factories throughout the world with the free-wheeling culture of the most innovative high tech companies will be a challenge. But the winning companies will make it happen.”
Irving Wladawsky-Berger worked at IBM for 37 years and was then strategic advisor to Citigroup for 6 years. He is affiliated with MIT, NYU and Imperial College, and is a regular contributor to CIO Journal.