Thursday, March 24, 2016

TOLAK TAX AMNESTY … ! Ada Rp 2.535 Triliun Dana Milik WNI di Bank Swiss, Indonesia dan Swiss Sepakat Sita Aset Koruptor


Indonesia dan Swiss sepakat membangun kerjasama untuk membekukan dan menyita aset koruptor. (Foto: Sindonews/Victor Maulana)

Jurnalpolitik.com – Pemerintah Indonesia dan Swiss sepakat membekukan dan menyita para pelaku kejahatan, termasuk koruptor di kedua negara. Kedua pemerintah ini juga sepakat mengembalikan aset pelaku kejahatan itu kepada negara yang bersangkutan.
Kesepakatan itu disampaikan dalam pertemuan antara Menteri Luar Negeri Swiss, Didier Burkhalter, dengan Menteri Luar Indonesia, Retno Marsudi, Senin (16/3/2015).
“Kami sepakat untuk memulai rencana negosiasi Mutual Legal Asisgment (MLA). Pada April nanti tahap pertama negosiasi MLA akan dilaksanakan dan kami sepakat untuk mendorong agar agreement MLA itu bisa ditandatangani tahun ini,” ucap Menlu Retno dalam pernyataan bersama dengan Menlu Burkhalter, di kantor Kementerian Luar Negeri Indonesia, Jakarta.
Menurut Retno, perjanjian ini sangat penting khusunya bagi Indonesia. Sebab, dengan perjanjian ini harta dan aset para pelaku kejahatan yang dilarikan ke Swiss bisa disita.
“Bagi Indonesia kerjasama MLA sangat penting karena persetujuan itu menjadi dasar menyita, membekukan, dan mengembalikan aset para pelaku kriminal,” imbuh Retno.
Retno melanjutkan, kerjasama ini juga akan menjadi sinyal bagi dunia internasional bahwa Indonesia dan Swiss memiliki komitmen kuat dalam menanggulangi kejahatan lintas negara.
Selain membahas MLA, kedua Menlu ini juga membahas soal penguatan kerjasama bilateral dan ekonomi kedua negara, termasuk salah satunya adalah peningkatan ekspor kakao ke Swiss.
Diperkirakan Mencapai Rp 2.535 triliun Harta Milik 84 WNI yang Tersimpan di Bank Swiss
Dikutip dari Thejakartapost.com, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memperkirakan, sedikitnya ada 84 WNI memiliki rekening gendut di bank Swiss. Nilainya mencapai kurang lebih US$ 195 miliar atau sekitar Rp 2.535 triliun (kurs Rp 13.000 per US$). Jauh di atas belanja negara dalam APBN 2016 sebesar Rp 2.095,7 triliun. (BacaAda Rp 2.500 Triliun Dana Gelap Keluar-Masuk Indonesia Sejak Sepuluh Tahun Terakhir)
Selain itu, Menkeu Bambang juga mencatat adanya aset domestik sebesar Rp 1.400 triliun yang belum dilaporkan dengan benar. Para pemilik rekening ini variatif mulai dari politisi, pengusaha dan pejabat.
Dengan data tersebut, maka tidak heran bila Kementerian Keuangan sangat bernafsu untuk menarik dana tersebut agar pulang kampung (reaptriasi). Sayangnya, upaya me-repatriasi rekening gendut itu terganjal karena DPR menunda pembahasan RUU Tax Amnesty.

DPR Terkesan Menunda-nunda RUU Tax Amnesty
Wacana rancangan UU tentang Pengampunan Pajak mulai mengemuka di parlemen pada semester II 2015. Awalnya DPR mengajukan RUU tentang Pengampunan Nasional dengan skema upeti, di mana lingkup pengampunannya lebih luas yakni tak hanya pidana pajak tetapi juga mencakup pidana umum.
Namun skema tersebut mendapat penolakan publik. Kemudian pemerintah hanya mengakomodir pengampunan pada pidana pajak.
Dan menjelang akhir masa sidang 2015, terjadi perubahan inisiator atas RUU tersebut. RUU Pengampunan Nasional yang berganti menjadi RUU Tax Amnesty ditetapkan menjadi usulan pemerintah.
Pemerintah lewat Sekretaris Kabinet Pramono Anung sangat berharap agar pembahasan rancangan Undang-undang tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) bisa segera diselesaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Pramono mengatakan keinginan untuk menyelesaikan RUU Tax Amnesty bukan atas dasar tekanan atau kepentingan golongan. Rancangan beleid tersebut, katanya, bertujuan untuk kepentingan masyarakat Indonesia.
“Dalam kondisi turbulensi ekonomi dunia dan juga kami lihat defisit anggaran bisa terjadi, maka harapannya RUU Tax Amnesty bisa diselesaikan,” kata Pramono ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (24/2/2016).
“Kalau anggaran bagus maka bisa membangun infrastruktur yang lebih baik,” kata Pram.
Namun, Pram meyakini pihak DPR bisa memahami maksud dari usulan diinisiasinya RUU Tax Amnesty dengan baik.
Keinginan pemerintah agar DPR segera menyelesaikan pembahasan RUU Tax Amnesty juga disampaikan Juru Bicara Presiden Johan Budi.
“Yang penting Presiden Jokowi berharap RUU Tax Amnesty segera dibahas sekarang sebagai prioritas,” kata Johan di Jakarta.
Johan juga mengingatkan DPR mengenai sudah adanya Surat Presiden dari Jokowi, yang memungkinkan DPR untuk melakukan pembahasan dengan segera.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai pembahasan RUU Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) dapat ditunda. Hal itu terjadi apabila sebagian besar fraksi menolak melanjutkan pembahasan RUU tersebut.
“Saya kira iya. RUU Prolegnas kan ada 40, mana yang akan diprioritaskan. Banyak sekali pekerjaan rumah DPR ini,” ujar Fadli Zon di Gedung Nusantara III DPR RI, Jakarta, Rabu (24/2).
Legislator Partai Gerindra ini tidak setuju melanjutkan pembahasan RUU Pengampunan Pajak. Menurutnya, diberlakukannya pengampunan pajak belum menjamin pemasukan akan lebih baik.
“Belum tentu terjadi repatriasi dana datang dari luar negeri. Adanya rasa ketidakadilan bagi yang selama ini taat bayar pajak. Reward mereka apa?” tuturnya.
Sementara itu Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hendrawan Supratikno membantah adanya penundaan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di parlemen. Rencananya, RUU Pengampunan Pajak akan dibahas pada masa sidang DPR yang berikutnya.
“Sama seperti KPK. Perlu dimatangkan dan disosialisasikan. Itu yang tepat, kalau ditunda kurang tepat,” ujar Hendrawan Supratikno saat dihubungi, Rabu (24/2/2016).
6.000 Orang Indonesia Simpan Uangnya di Satu Negara
Harapan pemerintah dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak ini agar nantinya dapat membantu peningkatan penerimaan pajak, khususnya dari aset Wajib Pajak (WP) yang disimpan di luar negeri.
Saat ini Kementerian Keuangan mengaku telah memiliki data mengenai rekening Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro berharap dengan skema yang akan diterapkan dalam RUU pengampunan pajak, rekening tersebut bisa kembali ke Indonesia, atau paling tidak pemilik rekening bisa melaporkan asetnya secara tegas.
Bambang juga mengaku telah mengetahui pola yang digunakan orang Indonesia untuk memiliki rekening di luar negeri. Yaitu dengan membentuk perusahaan khusus dengan tujuan tertentu atau Special Purpose Vehicle (SPV) yang ada di berbagai tempat di dunia. Biasanya SPV ini didirikan di negara-negara bebas pajak (tax haven).

Negara tax haven yang cukup popular dan sering menjadi tujuan WNI ini adalah British Virgin Islands (BVI). Kemudian SPV-SPV tersebut menyimpan uangnya di suatu negara. Bambang mengatakan ada beberapa negara yang menjadi tujuan orang Indonesia membuka rekeningnya. Namun, dia tidak mau menyebutkan apa saja nama negaranya.

“Di satu negara ada rekening lebih dari 6.000 WNI punya rekening di negara tersebut,” ujar Bambang usai mengikuti rapat terbatas pencucian uang dan penggelapan pajak di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/3). Kementerian Keuangan telah mengidentifikasi negara, rekening, bank, dan nama-nama 6.000 orang Indonesia tersebut.
Uang yang disimpan di negara tersebut belum tercatat sebagai aset yang dilaporkan pemilik rekening di dalam SPT (Surat Pemberitahuan) tahunan pajak. Artinya selama ini pemilik rekening tersebut tidak pernah membayar pajak atas asetnya yang disimpan di luar negeri.
“Tentunya ini adalah bagian nanti yang kita kejar,” kata Bambang. Dan pemilik uangnya dengan sukarela nanti melaporkan atau ikut di dalam program pengampunan pajak yang akan dilakukan pemerintah nantinya.
Jokowi: Hati-hati Simpan Uang di Swiss dan Singapura
Dalam satu kesempatan, Presiden Joko Widodo mengingatkan masyarakat bersiap menghadapi era keterbukaan global di tahun 2018. Terutama bagi mereka yang menyimpan uang di bank luar negeri.
“Hati-hati nanti pada 2018, keterbukaan secara global akan dimulai. Bapak ibu kalau ada simpanan uang di Swiss, Singapura, Hongkong, nanti tidak bisa ditutupi lagi. Jadi bagi yang simpanannya banyak hati-hati,” kata Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Selasa (15/12).
Senada dengan pernyataan Jokowi, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengungkapkan pada 2018 nanti sistem perpajakan dunia akan sangat terbuka. Dengan begitu Pram berharap orang Indonesia yang memiliki rekening di luar negeri untuk melapor ke Kementerian Keuangan.
Sistem yang dimaksud Pramono adalah automatic exchange of information/AEOI. Keterbukaan informasi secara otomatis terkait perpajakan. Di mana saja orang menyimpan dananya akan terlihat.
“Sebenarnya ini kesempatan bagi siapapun yang saat ini masih menyimpan uangnya di luar untuk segera berkoordinasi dengan Menkeu, Ditjen Pajak agar kemudian tidak menjadi permasalahan di kemudian hari,” ujar Pramono.
Presiden Joko Widodo sangat berharap DPR bisa segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak dalam masa sidang berikutnya. Namun, jika pembahasannya berlarut-larut dan tidak bisa selesai, pemerintah telah menyiapkan opsi lain untuk menyelesaikan permasalahan pajak dan menggenjot penerimaan negara.

“Instrumennya sudah ada, tapi akan kami sampaikan kalau ternyata tax amnesty tidak dapat terselesaikan,” ujarnya.


Wednesday, March 9, 2016

Kronologi Kasus BLBI sejak 1997 hingga 2015

11 Juli 1997
Pemerintah Indonesia memperluas rentang intervensi kurs dari 192 (8 persen) menjadi 304 (12 persen), melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta menerapkan kebijakan uang ketat.
14 Agustus 1997
Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat panik, lalu berbelanja dolar dalam jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke Bank Indonesia, tingkat suku bunga di pasar uang dan deposito melonjak drastis karena bank-bank berebut dana masyarakat.
1 September 1997
Bank Indonesia menurunkan suku bunga SBI sebanyak tiga kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yang mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan.
3 September 1997
Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan serta Produksi dan Distribusi berlangsung di Bina Graha dipimpin langsung oleh Presiden Soeharto. Hasil pertemuan: pemerintah akan membantu bank sehat yang mengalami kesulitan likuiditas, sedangkan bank yang ”sakit” akan dimerger atau dilikuidasi. Belakangan, kredit ini disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
1 November 1997
16 bank dilikuidasi.
26 Desember 1997
Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono melayangkan surat ke Presiden Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang terus mengalami saldo debit akibat tekanan dari penarikan dana nasabah. Soedradjad mengusulkan agar mengganti saldo debit dengan surat berharga pasar uang (SBPU) khusus.
27 Desember 1997
Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997 yang ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi Bank Indonesia untuk mengganti saldo debit bank dengan SBPU khusus agar tidak banyak bank yang tutup dan dinyatakan bangkrut.

10 April 1998Menkeu diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN dengan batas waktu pelaksanaan 22 April 1998.
Mei 1998
BLBI yang dikucurkan pada 23 bank mencapai Rp 164 triliun, dana penjaminan antarbank Rp 54 triliun, dan biaya rekapitalisasi Rp 103 triliun. Adapun penerima terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank, yakni BDNI Rp 37,039 triliun, BCA Rp 26,596 triliun, Danamon Rp 23,046 triliun, dan BUN Rp 12,067 triliun.
4 Juni 1998
Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima di dunia internasional. Pemerintah nterpaksa memakai dana BLBI senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).
21 Agustus 1998
Pemerintah memberikan tenggat pelunasan BLBI dalam tempo sebulan. Bila itu dilanggar, ancaman pidana menunggu.
21 September 1998
Tenggat berlalu begitu saja. Boro-boro ancaman pidana, sanksi administratif pun tak terdengar.
26 September 1998
Menteri Keuangan menyatakan pemerintah mengubah pengembalian BLBI dari sebulan menjadi lima tahun.
27 September 1998
Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Ginandjar Kartasasmita meralat angka lima tahun. Menurut Ginandjar, pemerintah minta pola pembayaran BLBI tunai dalam tempo setahun.
18 Oktober 1998
Hubert Neiss melayangkan surat keberatan. Dia minta pelunasan lima tahun.
10 November 1998
Pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen, sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama. Jumlah kewajiban BLBI dari BTO (bank take-over) dan BBO (bank beku operasi) saat itu adalah Rp 111,29 triliun.

8 Januari 1999Pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliun sebagai tambahan penggantian dana yang telah dikeluarkan BI atas tagihan kepada bank yang dialihkan ke BPPN.
6 Februari 1999
BI dan Menkeu membuat perjanjian pengalihan hak tagih (on cessie) BLBI dari BI kepada pemerintah senilai Rp 144,53 triliun.
8 Februari 1999
Penerbitan Surat Utang Pemerintah No SU-001/MK/1998 dan No SU-003/MK/1998.
13 Maret 1999
Pemerintah membekukan kegiatan usaha 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan merekapitalisasi 7 bank.
Februari 1999
DPR RI membentuk Panja BLBI.
19 Februari 1999
Ketua BPKP Soedarjono mengungkapkan adanya penyelewengan dana BLBI oleh para bank penerima. Potensi kerugian negara sebesar Rp 138,44 triliun (95,78%) dari total dana BLBI yang sudah disalurkan.
13 Maret 1999
Pemerintah mengumumkan pembekuan usaha (BBKU) 38 bank.
14 Maret 1999
Pemerintah dan BI mengeluarkan SKB Penjaminan Pemerintah.
17 Mei 1999
UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia ditandatangani Presiden Habibie. Dalam UU itu disebutkan bahwa BI hanya dapat diaudit oleh BPK, dan direksi BI tak dapat diganti oleh siapa pun.
1 September-7 Desember 1999
BPK mengaudit neraca BI per 17 Mei 1999 dan menemukan bahwa jumlah BLBI yang dapat dialihkan ke pemerintah hanya Rp 75 triliun, sedangkan Rp 89 triliun tidak dapat dipertangggungjawabkan. BPK menyatakan disclaimer laporan keuangan BI. Tapi, pejabat BI menolak hasil audit. Alasannya, dana BLBI itu dikeluarkan atas keputusan kabinet.
28 Desember 1999
Pemerintah melalui Kepala BPPN Glen Yusuf memperpanjang masa berlaku program penjaminan terhadap kewajiban bank.
Desember 1999
BPK telah menyelesai-kan audit BI dan terdapat selisih dari dana BLBI sebesar Rp 51 triliun yang tidak akan dibayarkan pemerintah kepada BI, terutama karena penggunaannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
5 Januari 2000
Ada perbedaan jumlah BLBI antara pemerintah dan BI. Pemerintah menyebut BLBI sebesar Rp 144,5 triliun plus Rp 20 triliun untuk menutup kerugian Bank Exim (Mandiri). Tapi, menurut BI, masih ada Rp 51 triliun dana BLBI yang harus ditalangi pemerintah. Dana sebanyak itu diberikan BI kepada bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama November 1997-Januari 1998.
10 Januari 2000
Bocoran hasil audit KPMG yang ditunjuk BPK untuk mengaudit neraca awal BI beredar di kalangan wartawan. Audit itu menemukan bahwa penyelewengan BLBI berjumlah Rp 80,25 triliun.
29 Januari 2000
Audit BPK menemukan fakta bahwa 95,78 persen dari BLBI sebesar Rp 144,54 triliun berpotensi merugikan negara karena sulit dipertanggung-jawabkan.tersangka dalam kasus cessie Bank Bali.
21 Juni 2000
Gubernur Bank Indonesia, Syahril Sabirin, ditahan Kejaksaan Agung dengan status sebagai tersangka.
9 Oktober 2000
Ketua BPK Billy Judono mengatakan bahwa BLBI sudah diberikan oleh BI sejak 1991 hingga 1996. Jadi, tidak benar bahwa BI hanya bertanggung jawab saat krisis saja.
18 Oktober 2000
Komisi IX DPR yang membidangi perbankan menolak jumlah BLBI yang ditanggung BI hanya sebesar Rp 24,5 triliun. “Jumlah ini merendahkan hasil audit BPK,” kata anggota dewan.
26 Oktober 2000
Jaksa agung menunda proses hukum terhadap 21 obligor agar mereka punya kesempatan melunasi dana BLBI.
1 November 2000
DPR, Pemerintah dan BI menetapkan keputusan politik menyangkut pembagian beban antara Pemerintah dan BI terhadap dana BLBI yang sudah dikucurkan.
Awal November 2000Sumber di BI menyatakan, tanggung jawab BI terhadap BLBI hanya Rp 48 triliun, terhitung sejak 3 September 1997-29 Januari 1999, bukan sebelum dan sesudahnya.
2 November 2000
BPK mengancam BI akan memberikan opini wajar dengan pengecualian terhadap laporan neraca BI jika dana BLBI tidak dapat dituntaskan.
17 November 2000
Pukul 16.30, pejabat teras BI menyatakan mundur serentak. Mereka yang mundur adalah Deputi Senior Gubernur Anwar Nasution, Deputi Gubernur Miranda Goeltom, Dono Iskandar, Achwan, dan Baharuddin Abdullah, dengan alasan tak mendapat dukungan politik pemerintah dan DPR. Sedangkan Syahril Sabirin, Achjar Iljas, dan Aulia Pohan tidak mundur. Pokok-pokok Kesepakatan Bersama antara Pemerintah dan BI ditetapkan. Berdasarkan kesepakatan ini, BI menanggung beban Rp 24,5 triliun dan sisanya menjadi beban Pemerintah.
3 Januari 2001
Dua Deputi BI Aulia Pohan dan Iwan G Prawiranata ditingkatkan berkasnya ke penyidikan berkaitan dengan keterlibatan mereka dalam penyalahgunaan dana BLBI.
7 Maret 2001
DPR mengusulkan pembentukan Pansus BLBI DPR. Pembentukan Pansus ini dipicu oleh pernyataan Menkeu Prijadi Praptosuhardjo yang menyebutkan pemerintah belum menyepakati jumlah tanggungan BI sebesar Rp 24,5 miliar.
10 Maret 2001
Pemilik BUN Kaharuddin Ongko ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI.
22 Maret 2001
Pemilik Bank Modern, Samandikun Hartono ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan penyelewengan dana BLBI.
9 April 2001
Dirut BDNI Sjamsul Nursalim yang bersatus tersangka penyelewengan dana BLBI dicekal Kejaksaan Agung. Selain Sjamsul, David Nusawijaya (Sertivia) dan Samandikun Hartono (Bank Modern) juga dicekal.
29 Maret 2001
Kejagung mencekal mantan ketua Tim Likuidasi Bank Industri (Jusup Kartadibrata), Presider Bank Aspac (Setiawan Harjono).
2 April 2001
Pelaksanaan Program Penjaminan dana nasabah yang semula diatur melalui SKB antara BI dan BPPN diubah dengan SK BPPN No 1036/BPPN/0401 tahun 2001.
30 April 2001Kejagung membebaskan David Nusawijaya, tersangka penyelewengan BLBI. Selain itu, Kejagung juga mencekal 8 pejabat bank Dewa Rutji selama 1 tahun
.
2 Mei 2001
Kejagung membebaskan 2 tersangka penyelewengan BLBI (Samandikun Hartono dan Kaharuddin Ongko) dan mengubah statusnya menjadi tahanan rumah.
19 Juni 2001Wapresider Bank Aspac, Hendrawan Haryono dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan dikenai denda Rp 500 juta. Ia didakwa telah merugikan negara sebesar Rp 583,4 miliar.
21 Juni 2001
Mantan Direksi BI Paul Sutopo ditahan di gedung Bundar oleh aparat Kejagung.
31 Mei 2002
Tim Bantuan Hukum Komite Kebijakan Sektor Keuangan menyampaikan Laporan Pemeriksaan Kepatuhan Anthony Salim, Andre Salim dan Sudono Salim untuk memenuhi Kewajiban-kewajibannya dalam MSAA tanggal 21 September 1998. Dalam bagian kesimpulannya, TBH antara lain menyatakan meski telah memenuhi sebagian besar kewajiban-kewajibannya, namun secara yuridis formal telah terjadi pelanggaran, atau kelalaian atau cidera janji atau ketidakpatuhan, atas kewajiban-kewajibannya dalam MSAA yang berpotensi merugikan BPPN.
2004Sampai 2004, pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada lima obligor MSAA dan 17 obligor PKPS APU padahal mereka belum lunas membayar utang mereka.
11 Januari 2007Dua petinggi Salim Grup (Anthony Salim dan Beny Setiawan) menjalani pemeriksaan di Mabes Polri atas tuduhan telah menggelapkan aset yang telah diserahkan kepada BPPN sebagai bagian pembayaran utangnya. Aset yang digelapkan itu meliputi tanah, bangunan pabrik dan mesin-mesin di perusahaan gula Sugar Grup.
19 Februari 2007
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Gedung MPR/DPR RI menegaskan terhadap 8 obligor yang bermasalah, pemerintah akan menggunakan kesepakatan awal APU plus denda. “Kami tetap akan menjalankan sesuai keyakinan pemerintah bahwa mereka (delapan obligor BLBI, red) default. Tagihan kepada mereka adalah Rp 9,3 triliun,” tegas. Ke delapan obligor itu adalah James Sujono Januardhi dan Adisaputra Januardhy (Bank Namura), Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), Lidia Muchtar (Bank Tamara), Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa), Omar Putihrai (Bank Tamara), Atang Latief (Bank Bira), dan Agus Anwar (Bank Pelita dan Istimarat).
18 September 2007
Sejumlah anggota DPR mengajukan hak Interpelasi mengenai BLBI kepada Pimpinan DPR.
4 Desember 2007
Rapat Paripurna DPR menyetujui Hak Interpelasi Atas Penyelesaian KLBI dan BLBI yang diajukan 62 pengusul.
21 Januari 2008
Ormas-ormas Islam yang tergabung dalam “Jihad Melawan Koruptor BLBI” memberikan penghargaan terhadap sejumlah anggota DPR yang dinilai benar-benar serius hendak mengungkap kasus BLBI.
28 Januari 2008
DPR – RI secara resmi mengirimkan surat kepada Presiden RI agar memberikan keterangan di depan Rapat Paripurna DPR sekaitan Hak Interpelasi atas penyelesaian KLBI dan BLBI.
29 Januari 2008
Ratusan orang yang tergabung dalam GEMPUR berunjuk rasa di depan gedung DPR. Mereka curiga ada anggota DPR yang menjadi beking para obligor BLBI.
12 Februari 2008
Pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian Boediono menyampaikan jawaban pemerintah terhadap 10 pertanyaan terkait penyelesaian BLBI di depan Rapat Paripurna DPR. Ketika membacakan keterangan, lebih separuh anggota dewan meninggalkan ruang sidang. Pada awalnya, Rapat Paripurna diwarnai hujan interupsi yang mempersoalkan ketidakhdiran SBY dan lembaran jawaban yang hanya ditandatangani Boediono saja.
29 Februari 2008
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, menyatakan Tim 35 yang melakukan penyelidikan kasus ini BLBI I dan BLBI II tidak menemukan adanya pelanggaran pidana yang dilakukan Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim. Menurut Kemas Yahya, sesuai dengan surat penyelesaian utang Master Settlement for Acquisition Agreement atau MSAA, kewajiban debitor kepada pemerintah dianggap selesai jika aset yang dinilai sesuai dengan kewajiban dan diserahkan kepada pemerintah. “Kami sudah berbuat semaksimal mungkin dan kami kaitkan dengan fakta perbuatannya. Hasilnya tidak ditemukan perbuatan melanggar hukum yang mengarah pada tindakan korupsi,” kata Kemas Yahya Rachman.
2 Maret 2008
Jaksa Urip Tri Gunawan yang menjadi ketua Tim Jaksa BLBI II dicokok aparat KPK seusai bertandang ke rumah milik pengusaha Syamsul Nursalim di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, Dari tangan Urip, penyidik KPK menyita uang sebesar US$ 660 ribu atau sekitar Rp 6 miliar. Uang ini diduga sebagai uang suap terkait kasus BLBI. Selain Urip, KPK juga menahan Artalyta Suryani, seorang pengusaha yang diketahui dekat dengan Sjamsul Nursalim dan juga Anthony Salim.
2 Maret 2008
Wacana perguliran tentang hak angket mulai mengemuka di kalangan anggota DPR menyusul tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan.
8 Maret 2008
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad Bandung, Romli Atmasasmita. mengusulkan agar KPK mengambil alih pengusutan BLBI. Menurut dia, kasus BLBI telah masuk ranah pidana, karena obligor yang tidak membayar menyebabkan negara rugi. Selain itu, ada unsur penipuan di dalamnya, karena tidak ada niat dari obligor nakal untuk melunasi utangnya. Saran ini mengacu pada pasal 8 ayat 2 UU KPK yang memberi wewenang KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan polisi atau jaksa.
10 Maret 2008Usulan hak angket kasus BLBI sudah diedarkan kepada para anggota DPR. Usulan hak angket dimunculkan karena langkah penyelesaian kasus BLBI secara hukum yang dirintis Kejaksaan Agung ternyata berakhir antiklimaks. Kejagung menghentikan penyelidikan kasus yang diduga melibatkan sejumlah pengusaha kelas kakap itu. “Apalagi dengan adanya jaksa yang tertangkap tangan menerima suap. Inilah yang menyebabkan kami akan menggunakan hak angket,” ujar Dradjad Wibowo, anggota DPR dari Fraksi PAN.
13 Maret 2008
Empat orang inisiator hak angket BLBI, Soeripto, Dradjad Wibowo , Abdullah Azwar Anas dan Ade Daud Nasution secara resmi menyerahkan draft hak angket kasus BLBI ke pimpinan DPR, Draft tersebut diterima langsung oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di ruang kerjanya. Sebanyak 55 anggota DPR telah memberikan tanda tangan sebagai bentuk dukungan.
6 Mei 2008
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan Masyarakat Antikorupsi Indonesia terhadap surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Kejaksaan Agung atas kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syamsul Nursalim. Kejaksaan Agung langsung menyatakan banding.
2009
Penangkapan Ketua KPK Antasari Azhar menjadi lonceng kematian upaya penuntasan korupsi BLBI.
2014
Tekad Ketua KPK Abraham Samad menyidik kembali korupsi BLBI untuk menuntaskan aspek hukum pidana yang terkait ternyata hanya bualan kosong semata, karena penyidikan itu dilakukannya sekedar untuk menekan PDIP dan Megawati agar menepati janji yang sudah disepakati sebelumnya, yakni: kontribusi dan jasa Samad memanfaatkan KPK untuk menghancurkan musuh dan rival politik PDIP guna memenangkan pemilu dan pilpres, akan dihargai dan dibayar dengan pencawapresan Samad duet bersama capres Jokowi pada Pilpres 2014.
Janji PDIP itu terbukti tidak ditepati dan Samad akhirnya gigit jari.
2015
Menko Polhukam Luhut B Panjaitan menegaskan kasus korupsi BLBI tidak akan diteruskan lagi penyidikan dan penuntasannya.
Daftar Bank Penerima yang Melakukan Penyimbangan Dana BLBI Terbesar
Ada 5 Bank dari 48 bank penerima dana BLBI yang melakukan penyimpangan terbesar hingga 74% total BLBI yakni:
1. BDNI sebesar 24, 47 trilyun yaitu 28, 84% dengan pemilik Syamsul Nursalim
2. BCA sebesar 15, 82 trilyun yaitu 18,64% dengan pemilik Soedono Salim
3. Bank Danamon sebesar 13,8 trilyun yaitu 16,27% dengan pemilik Usman Admadjaya
4. Bank Umum Nasional sebesar 5,09 trilyun yaitu 6,0 % dengan pemilik Bob Hasan
5. Bank Indonesia Raya (BIRA) sebesar 3,66 trilyun yaitu 4,31 % dengan pemilik Atang Latief.
Sumber : Laporan Audit BPK RI No.06/01/Auditama II /AI/ VII /2000Selama ini para obligor besar dilindungi oleh Pemerintah Singapura dan juga Penguasa Indonesia.
*********************
Mungkin rekan-rekan capek dan letih membaca kronologi yang cukup panjang ini, tapi sadarkah bahwa penderitaan yang dirasakan oleh sebagian besar rakyat lebih dari capek dan letih dari sekadar membaca?
Setiap tahun 50-60 triliun dana APBN rakyat harus tergerus untuk membayar subsidi para bankir dan penerima BLBI. Disisi lain, rakyat dipaksa membeli sumber kekayaan alam yang mahal dengan kebijakan pasar bebas pada minyak dan (akan) listrik dan air, hal yang bertolak belakang dengan China sejak Reformasi Agraria dan Keterbukaan tahun 1978.
Sangat ironis bahwa dengan alasan kooperatif membayar utang, pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri telah mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada 5 obligor MSAA dan 17 obligor PKPS APU. 5 obligor kategori MSAA (Master Settlement Acuisition Agreement) yang sudah mendapatkan SKL terdiri atas Anthony Salim dengan tingkat pengembalian Rp 19,4 triliun (37%), Sjamsul Nursalim Rp 4,9 triliun (17,3%), M Hasan Rp 1,7 triliun (27,4%), Sudwikatmono Rp 713 miliar (37,4%), dan Ibrahim Risjad Rp 370,8 miliar (55,7%). [sumber].
Artinya dari 5 obligor ini, secara defakto mereka masih berutang kepada rakyat Indonesia sebesar 57.8 Triliun pada tahun 2003 (atau Net Present Value dengan tingkat bunga 10% tahun 2009 sekitar 93 triliun), namun dikatakan lunas.
Sungguhlah tidak adil bahwa hingga saat ini pemerintah masih membayar bunga dan utang para rata-rata diatas 30 triliun hingga 60 triliun per tahun. Justru pembayaran utang dan bunga para bankir dan obligor diperoleh dari utang dalam dan luar negeri. Dan hingga Januari 2009, utang negara membengkak hingga 1667 triliun. Saya masih tidak habis berpikir, mengapa masih banyak yang memberi pertanyaan kepada saya mengapa Utang Negara Membengkak hingga 1667 Triliun dengan pertanyaan, padahal berkali-kali saya tegaskan bahwa inefisiensi anggaran + pembayaran utang najis yang memberi subsidi kepada para bankir dan obligorlah membuat utang kita membengkak. Keputusan pemerintah yang sangat lemah dan (maaf) pengecut kepada para obligor, bankir, pemegang saham daripada memperjuangkan keadilan bagi rakyat dan bangsa.
Jika kebijakan ekonomi membayar terus utang obligor dan bankir dengan cara menambah utang negara, maka (maaf) anak SMA-pun bisa! Seorang lulusan SMA atau SMK Ekonomi pun bisa. Jika memang pemimpin kita lebih pro-rakyat, maka semestinya tim pemerintah dengan mengeluarkan seluruh tenaga dan pemikiran serta dukunga masyarakat berjuang untuk menindak ketidakbenaran ini. Mengapa BLBI dan penyehatan perbankan selama 1997-2004 senilai Rp 640,9 triliun harus dibebankan kepada rakyat sedangkan para bankir dan obligor serta pemegang saham saat ini sedang berselancong dan tinggal di apartemen mewah? Mengapa para nelayan, petani dan pemulung yang harus ikut membayar utang para obligor ini dari pajak penjualan, bumi dan bangunan dan segala kekayaan alam kita?

4 Skenario untuk 4 Kali Perampokan
Jika dirunut sejak awal, maka saya mengatakan bahwa Indonesia (dan nusantara) telah 4 kali dirampok secara besar-besaran yakni 350 tahun penjajahan Belanda, 3.5 penjajahan Jepang, 32 tahun orba, dan ??? BLBI dan turunannya BPPN. Dalam hal ini saya memberi suatu impian atau cita-cita yang hendaknya menjadi solusi para calon pemimpin (apa boleh buat…hanya ada 3 capres saja). Mekipun dari solusi itu akan terlihat ganjil dan sulit untuk terlaksana, yakni
1. Perampokan Penjajahan Belanda Selama 150 tahun
Selama 150 tahun, kolonialisme Belanda mengeruk sumber kekayaan olahan Indonesia dalam perkebunan, rempah-rempah dan diakhir-akhir adalah minyak bumi dan tambang lain. Disamping itu, Belanda secara nyata-nyata merampok hak hidup rakyat Indonesia dengan sistem paksa. Ribuan triliun kekayaan alam kita dirampok bahkan nilai yang tidak dapat diuangkan dari nyawa-nyawa rakyat kita yang diperbudak. Belum lagi warisan korupsi VOC yang ditularkan kepada masyarakat nusantara.Sudah semestinya nenek-moyang pemerintah Belanda memiliki tanggungjawab moril kepada nenek moyang bangsa kita.
2. Perampokan Penjajahan Jepang Selama 3,5 tahunDikatakan bahwa penderitaan penjajahan 3.5 tahun oleh Jepang hampir sama dengan 350 tahun pemerintahan Belanda. Sama seperti kasus Belanda, maka karena besarnya penderitaan fisik maupun mental akibat penjajahan Belanda kepada kakek-nenek kita, maka secara moril dan materil Jepang harus mengganti seluruh kerugian akibat perampokan sumber kekayaan alam, tanaman jarak, romosha. Dan selama 3.5 tahun, pemerintahan Jepang diminta membayar sekurang-kurangnya 25 triliun (total sekurang-kurangnya 87.5 triliun). Dan secara tertulis dalam sebuah monumen di negeri Sakura mencantumkan pernyataan maaf kepada nenek-moyang bangsa Indonesia.
3. Perampokan Penjajahan Ekonomi, Politik Selama Orba (1967-1998)Selama hampir 32 tahun, praktis negara kita dikuasai oleh kekuatan asing. Itullah yang dikatakan oleh John Pilger maupun John Perkins dan sejarawan Asviwarman. Selama 32 tahun Bank Dunia, anggota Paris Club, lembaga keuangan menjerat Indonesia dengan utang yang tidak terbayar dengan kebocoran/korupsi lebih kurang 30% dari 128 miliar dollar. Disamping itu perusahaan MNC dan konglomerat cina menguras kekayaan alam kita dan melakukan pembohongan publik seperti dilakukan Freeport yang menambang emas tapi mengatakan menambang tembaga. Begitu juga kontrak kerja migas, bijih besi, hutan dan lain-lain. Ratusan bahkan ribuan triliun kekayaan alam kita dirampok di depan pejabat orba. Oleh karena itu, langkah pertama adalah pemerintah harus menghapus 30% utang yang bocor dari lembaga keuangan. Langkah kedua kontrak kerja/karya yang selama ini merugikan bangsa ditarik bahkan jika dapat diminta pertanggungjawaban (ekstrimnya mengembalikan kerugian).
4. Perampokan BLBI dan BPPNJika 3 perampokan pertama didominasi oleh orang asing, maka perampokan keempat justru dilakukan oleh warga Indonesia dan disetujui oleh para pejabat negara yang katanya “melaksanakan amanah rakyat”. BLBI adalah salah satu sejarah perampokan yang masih dapat kita telusuri dan ikuti secara pasti hingga detik ini. Perampokan uang negara dengan memberi BLBI yang tidak transparan seperti laporan BPK dan penghianatan kepada rakyat Indonesia dengan menyatakan lunas membayar padahal baru membayar setengah dari total utang kepada negara. Begitu juga kasus penjualan bank BPPN dengan sangat murah serta BUMN strategis. Ratusan bahkan triliun rupiah telah dirugikan atas transaksi ini. Semua angkat tangan kasus ini. Solusinya: oke…kita beri win-win solution. Para pejabat yang keliru memberi keputusan yang merugikan keuangan negara dan rakyat, majulah dan mengakulah kepada publik. Lalu, kasus ini kita selesaikan secara bersama-sama. Jujurlah bahwa keputusan yang keliru adalah keliru dan benar adalah benar. Bagaimanapun hutang harus dibayar, dan sungguh tidak adil jika utang bankir dan obligor ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia yang sama sekali tidak mencicipinya. Sungguh tidak adil….seorang kreditor motor yang telah membayar 18 dari 24 bulan harus rela motornya disita karena selama 2 atau 3 bulan tidak sanggup membayar, padahal sudah 75% kreditor tersebut kooperatif dalam mencicil utang. Inilah ketidakadilan.
*********
Siapakah bertanggungjawab? Inilah pertanyaan besar? Ini pula janji-janji mereka pada tahun 2014. Selama baru setahun lebih 5, pemerintah proxy pro cina dan RRC ini ternyata sangat senang memperkayakan para konglomerat cina dan negara China (RRC). Pemerintahan Jokowi jor-joran menerima utang dari RRC, baik dengan jaminan negara atau pun jaminan BUMN seperti proyek kereta cepat Bandung-Jakarta.
Hanya dalam waktu setahun, Presiden Jokowi dan BUMN-BUMN RI telah berutang dengan China sebesar Rp. 850 triliun. Utang pemerintah RI kepada RRC memang tanpa prosedur rumit, namun bunga utang mencapai 2%/tahun, jauh di atas bunga utang kreditur lain yang hanya 0.5-1.0%/tahun.
Utang proyek-proyek BUMN seperti pengadaan armada pesawat Garuda, proyek kereta cepat Bandung-Jakarta, pembangunan bandara, pembangkit listrik, dan lain-lain, yang dominan dari China, dipastikan akan tak mampu dibayar lunas oleh BUMN. Akibatnya, tunggakan utang ini nantinya akan menjadi pintu masuk bagi RRC untuk menguasai BUMN-BUMN RI.
Modal kerja sebesar Rp. 50 triliun utang dari China untuk empat Bank BUMN RI dipastikan akan menjadi akses utama bagi China menguasai bank BUMN RI dalam beberapa tahun ke depan.
Semoga Nasionalisme Bangsa kita Bangkit. Bangkitlah Mental Bangsaku, Bangkitlah Jiwa Bangsaku untuk Berani Menegakkan Keadilan dan Kebenaran. Berani katakan “Tidak pada Mereka yang Membela Ketidakbenaran!
Semoga Indonesiaku Bangkit, Semogat Rakyatku Bangkit. Bangunlah secara menyeluruh untuk Kebangkitan Nasional Bangsa Indonesia.



Saturday, January 16, 2016

Monsanto’s MON863 maize is withdrawn from the European market

The GMO “event” known as MON863, which is found in several GM plants, including maize, is no longer authorised for commercialisation in the EU. All varieties containing this event, alone or in “stacked” crops with other traits, as well as crossed varieties bred from these plants, will no longer be sold. 

This news is reported in an article by Eric Meunier of the French group Inf’OGM.

The MON863 event codes for the insecticidal protein Cry3Bb1, which targets corn rootworm. The plants in which this event is inserted are supposed to kill the rootworm and thus resist its attacks. 

Authorized in twelve countries including the United States, Canada, South Africa, Japan, and the Philippines, the event was used in four GM maize varieties authorized for import into the European Union.

Dossiers withdrawn, licences cancelled

On 14 December 2015, the European Commission informed representatives of the Member States meeting within the Standing Committee on plants, animals, food and feed that the trade permits and authorization renewal application dossiers for this event had been withdrawn. 

According to the European Commission, interviewed by Inf'OGM, "Monsanto has decided, for commercial reasons, to request the withdrawal of the authorizations granted for all products containing the MON863 event currently on the market (including stacked events)"[1]. So seven authorizations, for MON863 maize and stacked crops containing the MON863 event, have been cancelled (see table here). No GM plants containing the MON863 event will therefore be marketable.

Event has not been sold since 2011

Some uncertainty remains in the countries where this event is still allowed. Yann Fichet, Director of Institutional and Industrial Affairs for Monsanto France, told Inf'OGM that Monsanto did not "request the renewal of the authorization of MON863 maize in the EU and in other regions of the world”. And he confirmed the words of the Commission: it is a "commercial decision because the last sales of seed containing MON863 date back to 2011," in all countries where this event is authorised, and MON863 maize has been replaced "by new varieties supplying an identical benefit to users,” without specifying which. 

In the end, said Fichet, Monsanto prefers to devote its "resources to regulatory dossiers for products that are actually used by farmers”. Indeed, he said, each dossier for authorised GMO events must be regularly "updated if advances in science or regulations require it, and a monitoring plan must be documented every year”.

The safety of MON863 for health has long been questioned.

MON863: contamination and development of resistance in insects

Monsanto says it stopped selling MON863 seed in 2011. But that does not mean that cultivation of MON863 maize stopped in that year outside of the European Union. Two occurrences are relevant to the company’s statement. The first is the discovery by Greenpeace of MON863 maize seed corn in certified non-GMO seed sold in France by Semillas Fito [2]. This was followed by another discovery of contamination, this time in laboratory rat feed. In 2015, CRIIGEN published a scientific article reporting contamination of such feed with pesticides, heavy metals and GMOs, including MON863 [3]. 

The presence of the MON863 event can be linked to commercial or experimental cultivation of crops (even if carrying out field trials with events that the company no longer sells is questionable). These cases show that the MON863 event was present in fields and in feed after 2011.

And also in 2011, a scientific paper challenged the sustainability of MON863 maize by the finding that after only three years of cultivation, the Western corn rootworm had developed resistance to the Bt insecticidal protein in MON863 maize (and also the protein in MON88017) [4].

The European Union, importer of maize

What consequences will the ban on MON863 maize have on imports into the European Union? In 2014-2015 the EU imported 9.13 million tonnes of maize (and exported 4 million tonnes); 60% of the imported maize was from the Ukraine [5]. Canada and the United States, two countries where MON863 is approved for cultivation, provide 13% of European maize imports. MON863 cannot be assumed to be excluded from imports from these countries, since many unauthorized GMO events, such as GM LL601 rice, have turned up in imports.
Notes


[1] http://ec.europa.eu/food/plant/standing_committees/sc_modif_genet/docs/sc_modif_genet_20151214_agenda.pdf

[2] Inf'OGM, France – Contamination des cultures par des OGM: la France aussi est (faiblement) touchée, Christophe NOISETTE, 4 June 2014

[3] Inf'OGM, UE – Pour l’AESA, un rat témoin peut manger de ‘bons’ OGM, Eric MEUNIER, 19 Nov 2015

[4] Inf'OGM, ETATS-UNIS – La chrysomèle résiste de plus en plus au maïs transgénique censé la tuer, Eric MEUNIER, 4 July 2014

[5] http://ec.europa.eu/agriculture/cereals/trade/cereals/2014-2015_en.pdf

Source: Inf’OGM (French) http://www.infogm.org/

Sunday, October 11, 2015

KPK Dilikuidasi, Kasus BLBI Raib

Jakarta – Apabila rencana  revisi Undang –undang Komisi  Pemberantasan Korupsi (UU  KPK) diterima dan kemudian  disahkan, dan umur komisi anti  rasuah hanya 12 tahun, maka  kasus kakap, seperti kasus Bantuan  Likuiditas Bank Indonesia  (BLBI) atau pun kasus Bank  Century, akan menguap.

Kasus besar itu akan menjadi  fosil sejarah, tanpa pernah  dituntaskan. Semua akan ditaruh  d ilaci meja. Dan, yang  bersorak sorai adalah para  pengemplang BLBI, serta para  penikmat duit korupsi. Karena  itu, publik anti korupsi, harus  rapatkan barisan. Markas pemberantas  korupsi di Rasuna  Said harus tetap ada, bahkan  mesti kian kuat posisinya. “Kalau umur cuma 12 tahun,  kasus-tahun besar seperti Century,  BLBI malah bisa menguap  dan habis nanti,” kata Bambang  Widodo Umar, dosen Universitas  Indonesia yang dikenal juga  sebagai pengamat ini.

Bambang yang berbicara  sebagai narasumber diskusi “Jangan  Bunuh KPK”, yang digelar  di Kantor Indonesian Corruption  Watch (ICW), di Kalibata,  Jakarta Selatan, Minggu  (11/10),  berpendapat, ukuran 12 tahun  itu, juga tidak jelas dari mana  asal atau dasar perhitungannya.

Namun yang pasti, serangan  ke KPK kian kencang. Lebih  kencang dari kasus Cicak vs  Buaya jilid I. Kini, yang diserang  tak lagi personal di KPK,  tapi sudah menyerang struktur  dan keberadaan komisi anti korupsi itu sendiri.  “Kalau dulu orangnya yang diserang,  sekarang strukturnya yang diserang,”  katanya.

Dalam paparannya, Bambang  Widodo Umar mengkritik  keras, tentang klausul yang  masuk dalam draf revisi UU  KPK, seperti aturan kasus diatas  50 miliar. Di mata Bambang  Widodo, aturan aturan  di atas 50 miliar atau umur 12  tahun, bukan hanya memperlemah  KPK tapi juga mematikan  komisi anti korupsi. Komisi  pemberantas tengah coba  dibunuh secara sistematis. “Dan itu bisa mengganggu  perjalanan pembangunan nasional  Indonesia,” katanya.

Sementara pembicara lain,  Betty Alisjahbana mengatakan,  kalau memang ada masalah,  misalnya penyalahgunaan wewenang  penyadapan, tinggal  dilakukan  diaudit saja.

Adanya  KPK, sebenarnya kata Betty, salah  satu alasannya karena belum  efektifnya kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas  korupsi.  Harus diakui, KPK sekarang  adalah lembaga penegak hukum yang menempati posisi  tertinggi untuk kepercayaan  publik. “Kedepannya KPK diharapkan  bisa memberdayakan  peran kepolisian dan kejaksaan,”  ujarnya.

Sikap Presiden 

Sedangkan pengamat sosial,  Benny Susetyo langsung menyentil  Presiden Jokowi. Kata  dia, Jokowi dipilih karena dianggap  punya moralitas  publik.

Maka, dalam situasi sekarang  ini, publik sangat menunggu  sikap tegas dari sang kepala  negara. Jokowi, sebagai panglima  tertinggi di negeri ini,  mesti segera bersikap. “Maka  segeralah mengambil tindakan yang tegas bahwa pemerintah  tidak mau ada revisi UU KPK,”  katanya.

Benny Susetyo pun meminta  Presiden harus segera  mengambil tindakan, mengakhiri  kegaduhan yang tak perlu  ini. Polemik revisi UU KPK,  akan selesai, bila Istana menyatakan  dengan tegas menolak  itu. Dan, Presiden yang mesti  bersuara, bukan yang lain yang  mengatasnamakannya. “Dan revisi itu ditarik kembali,  maka masalah ini selesai.

Mana janji kampanye Jokowi  dalam nawacita, yang katanya  akan menjaga KPK dan  akan memberi anggaran 10  kali lipat? Kami menagih itu,”  ujarnya.

www.koran-jakarta.com



Friday, May 22, 2015

Kasus Pajak BCA, Ahli KPK Sebut Ada Kerugian Negara

JAKARTA, GRESNEWS.COM - Saksi ahli yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sidang gugatan praperadilan yang dilayangkan mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo terkait penetapan sebagai tersangka kasus korupsi pajak BCA mengungkapkan adanya kerugian negara dalam kasus itu. Riawan Candra, ahli yang diajukan KPK meyatakan, dalam hukum administrasi pembayaran pajak merupakan kewajiban wajib pajak. Negara memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran pajak tersebut.

"Ketika yang seharusnya menjadi hak negara tetapi tidak, itu bisa dikategorikan kerugian negara," kata Candra dalam sidang yang berlangsung di PN Jakarta Selatan, Kamis (21/5).

Dalam kasus korupsi pajak BCA ini, Hadi yang ditetapkan sebagai tersangka sejak
21 April 2014, diduga mengubah telaah Direktur Pajak Penghasilan mengenai keberatan SKPN PPh BCA. Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003 terkait non-performing loan (NPL atau kredit bermasalah) senilai Rp5,7 triliun kepada Direktur PPh Ditjen Pajak.

Akibatnya, berdasar hasil investisgasi Inspektorat Bidang Investigasi (IBI) Kementerian Keuangan ditemukan
kerugian negara sebesar Rp375 miliar. Atas dasar itulah, Jaksa KPK dalam sidang kali ini bertanya kepada Candra soal pembayaran pajak yang tidak masuk ke kas negara.

"Ketika pajak yang harus dibayarkan BCA tetapi tidak dilakukan sehingga hak negara mendapat pemasukan keuangan tidak ada, apakah termasuk kerugian negara," tanya Yudi kepada ahli dalam sidang gugatan praperadilan di Pengadilan Jakarta Selatan, Kamis (21/5).

Dengan meyakinkan Riawan Candara menyebut, itu termasuk kerugian negara. Dia menegaskan, jika kemudian ditemukan kerugian negara akibat penyalahgunaan wewenang Dirjen Pajak dalam kasus korupsi pajak BCA ini, maka penegak hukum yang berwenang bisa melakukan penyelidikan.

Dalam hal ini, ahli berpendapat UU Tipikor dapat menjadi landasan untuk menungkap dugaan penyalahgunan wewenang oleh Dirjen Pajak. "UU Tipikor tidak berdiri sendiri, itu bisa menjadi pintu masuk melakukan penyelidikan," kata Candra.

Dalam UU Administrasi Negara, menurut Candra, seorang pejabat tata usaha negara perlu menerapkan asas kehati-hatian dan kecermatan dalam menjalankan pemerintahan yang baik. Ketika asas tersebut diabaikan, patut diduga Dirjen Pajak telah melakukan penyalahgunaan kewenangannya.

Namun Hadi mengatakan bahwa keputusan keberatan pajak BCA merupakan kewenangan Dirjen Pajak berdasarkan UU KUP. Hadi membantah telah melakukan penyalahgunaan wewenang. Hadi mengatakan, sebagai Dirjen Pajak, pada 13/5/2004 Direktur PPh telah melakukan telaahan atas keberatan Pajak PT BCA. Hasil telaahan itu berupa pendapat/usulan dari Direktur PPh kepada Dirjen Pajak dinyatakan pajak yang harus dibayar sebesar
Rp634 miliar.

Namun Direktur PPh mengoreksi sendiri kewajiban membayar pajak BCA yang semula tertulis Rp634 miliar menjadi sebesar Rp0 dalam risalah tertanggal 17 Juni 2004. Atas pendapat Direktur PPh, selaku Dirjen Pajak telah mengeluarkan nota dinas Nomor 192/4/2014 kepada Direktur PPh yang berisi pendapat atas pendapat Direktur PPh.

"Nota dinas itu bukan intruksi untuk memerintahkan mengubah kesimpulan sebagaimana yang dituduhkan. Nota dinas dibuat sebagai bentuk transparansi dan keterbukaan dalam memutus keberatan pajak BCA," jelas Hadi.

Salah satu isi nota dinas mengadopsi ketentuan Pasal KMK 117/1999 yang menyatakan BCA menyerahkan piutang bermasalah/NPL kepada BPPN dengan nilai nihil. Dan BPPN adalah bukan wajib pajak sesuai dengan SE Direktur Jendral NO 28/1996.

Namun Direktur PPh berpndapat bahwa BCA menyerahkan piutang bermasalah kepada BPPN seharusnya dengan nilai wajar serta BPPN adalah wajib pajak. Pendapat ini diikuti dan dan dimabil KPK dalam menetapkan Hadi sebagai tersangka. Padahal tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Reporter : Ainur Rahman
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

www.gresnews.com


KPK Berhak Sidik Kasus NGEMPLANG Pajak BCA

JAKARTA – Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indriyanto Seno Adji mengatakan, KPK berhak menyidik kasus pajak. Hal itu dilakukan karena dalam kasus pajak dinilai sudah ada unsur tindak pidana korupsi.

"Kalau masalah teknis pajak memang masuk dalam ranah administrasi negara, namun dalam hal dugaan penyalahgunaan disertai mens rea (pertanggungjawaban pidana)  dengan opzet als oogmerk (tujuan), maka Tipikor sebagai basis yang menjadi wewenang KPK," kata Indriyanto menjawab Koran Jakarta, Rabu (20/5).

Plt Pimpinan KPK lainnya, Johan Budi mengatakan, KPK tidak terlalu mengambil pusing atas pendapat dari mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dan saksi ahli yang mengatakan lembaga anti rasuah tidak bisa menyidik kasus keberatan pajak. Hal ini karena Undang Undang (UU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) bersifat lex specialis terhadap UU Tipikor.

"Silahkan saja, itu kan pendapat yang bersangkutan. Itu kan pendapat dan hak dia," kata Johan.

Sesuai UU

Johan menjelaskan, KPK dalam menetapkan Hadi Poernomo sudah sesuai dengan ketentuan UU Tindak Pidana Korupsi. "KPK itu dalam menetapkan tersangka sesuai UU Tipikor, jadi nggak ada masalah," jelasnya.

Sebelumnya kuasa hukum KPK, Yudi Kristiana mengatakan KPK menunjukkan 223 dokumen yang menjadi barang bukti dalam kasus dugaan korupsi permohonan keberatan wajib pajak Bank Central Asia (BCA) tahun 1999, yang menjadikan mantan Dirjen Pajak, Hadi Poernomo sebagai tersangka.

Menurut Yudi, pihaknya menunjukkan dokumen dan bukti untuk menjawab keraguan pihak pemohon terkait dengan penyidikan Kasus BCA. Semua dokumen itu ditunjukkan ke hadapan Hakim tunggal Haswandi, sebagai bukti kalau KPK serius menyidik Kasus BCA.

"Saudara dapat menyaksikan kalau dokumen yang diserahkan sangat banyak. Ketika meningkatkan kasus (dari penyelidikan ke penyidikan) semua alat buktinya terpenuhi," kata Yudi.

Ditambahkannya, dalam sesi pembuktian tersebut, pihaknya menunjukkan semua tahapan mulai dari penyelidikan hingga penyidikan semua ada barang buktinya. "(KPK menunjukkan bukti-bukti) untuk menunjukkan bahwa progres sudah sedemikian luar biasa untuk membuktikan unsur delik. Dari situ akan terlihat jelas bahwa itu ada unsur tindak pidananya," kata Yudi.

Menurut Yudi, untuk dokumen-dokumen yang sifatnya penting, pihaknya hanya menunjukkan ke hadapan Hakim. Hanya digunakan untuk audit investigatif karena ada transaksi keuangannya.

Dalam sidang, ahli pajak Ida Zuraida yang dihadirkan sebagai saksi dalam praperadilan Hadi Poernomo menjelaskan, perkara keberatan pajak merupakan wewenang Dirjen Pajak dan jika terjadi pelanggaran hanya bisa diselesaikan lewat Pengadilan Pajak.

Posisi Dirjen Pajak yang pernah dijabat Hadi Poernomo pada 2001-2006 itu, menurut Ida, memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan hingga memutus tentang keberatan pajak yang diajukan oleh wajib pajak.

"Jika wajib pajak mengajukan alasan keberatan, maka harus dilihat apakah keberatan tersebut memenuhi syarat. Jika memenuhi syarat maka Dirjen Pajak harus menanggapi dalam kurun waktu 12 bulan," tutur Ida saat bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin.

Hal tersebut, katanya, sesuai dengan ketentuan Pasal 43A Ayat 1 UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang berbunyi Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Hadi sendiri dalam kasus ini disangka oleh KPK melakukan tindak pidana korupsi terkait penerimaan seluruh permohonan keberatan wajib pajak PT BCA, Tbk tahun pajak 1999 saat dirinya menjabat sebagai Dirjen Pajak. fdl/eko/Ant/N-3

Thursday, May 21, 2015

Faisal Basri Sebut Nama-nama Mafia Migas ke Polisi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri mengaku menyebutkan nama-nama mereka yang diduga terkait dengan mafia minyak dan gas di Indonesia kepada Polisi.


"Saya punya nama yang bisa dikait-kaitkan. Di sini (Bareskrim) ternyata juga sudah punya nama juga, kebetulan cocok namanya," ujar Faisal di Kompleks Mabes Polri, Kamis (21/5/2015).

Namun, Faisal enggan menyebutkan secara jelas siapa nama-nama yang dimaksud atau di sektor mana mereka berada. Faisal hanya mengatakan, sebaiknya nama itu dikeluarkan oleh pihak kepolisian saja.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Victor Edison Simanjuntak memastikan, keterangan Faisal merupakan pengetahuan baru bagi pihaknya. Ia pun berjanji pertemuan itu akan berujung pada tindaklanjut pihaknya.

"Nanti kita lihat bagaimananya. Yang jelas, ini pasti akan kita tindaklanjuti," ujar Victor.

Sebelumnya diberitakan, Faisal dan Victor menggelar pertemuan di gedung Bareskrim Polri, Kamis sore hingga malam. Meskipun belum mau mengungkap secara gamblang, keduanya menyiratkan pertemuan itu demi membahas keberadaan mafia minyak dan gas di Indonesia.

Salah satu poin pembahasan adalah Faisal yang membeberkan rekomendasi timnya ke presiden terkait Petral karena adanya dugaan penyimpangan di sana.

Tim reformasi migas yang diketuai Faisal itu memberikan lima rekomendasi ke presiden.

  • ·         Pertama, menata ulang seluruh proses dan kewenangan penjualan dan pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM).
  • ·         Kedua, tender penjualan dan pengadaan impor minyak mentah dan BBM tidak lagi oleh Petral, melainkan dilakukan oleh Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina. Petral dapat menjadi salah satu peserta lelang pengadaan dan penjualan minyak mentah dan BBM yang dilaksanakan ISC. Namun, dengan proses yang terbuka.
  • ·         Ketiga, mengganti secepatnya manajemen Petral dan ISC dari tingkat pimpinan tertinggi hingga manajer.
  • ·         Keempat, yakni menyusun roadmap menuju world class oil trading company oleh manajemen baru Petral serta mempersiapkan infrastruktur yang diperlukan.
  • ·         Kelima atau terakhir, yakni melakukan audit forensik agar segala proses yang terjadi di Petral menjadi terang benderang. Audit forensik dilakukan oleh institusi audit yang kompeten di Indonesia dan memiliki jangkauan kerja ke Singapura dan negara terkait lainnya. Hasil audit itu untuk membongkar dugaan keberadaan mafia migas di Indonesia.