Sunday, August 11, 2013

Pemerintah Lamban Sesuaikan Struktur Ekonomi

JAKARTA – Pemerintah dinilai terlambat menyesuaikan struktur perekonomian Indonesia agar lebih tahan terhadap guncangan dan tekanan dari faktor eksternal maupun internal.

Akibatnya, ketika ekonomi China melambat dan permintaan serta harga komoditas primer di pasar global menyusut, Indonesia ikut terkena getahnya. 

Pasalnya, selama ini, pemerintah tidak berupaya melepaskan diri dari kebergantungan pada ekspor komoditas primer sebagai sumber pendapatan sehingga penurunan ekspor itu bakal memperburuk defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan.

Selain itu, ketika muncul tekanan dari dalam negeri seperti melejitnya laju inflasi akibat penaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pertumbuhan ekonomi pun langsung tersendat. Hal itu disebabkan strategi pemerintah yang hanya mengandalkan konsumsi domestik sebagai motor pertumbuhan.

"Ekonomi kita masih bergantung pada konsumsi. Akibatnya, kita belum mencapai masyarakat industri karena impor begitu besar di sektor konsumsi. Selain itu, pertumbuhan akan terganggu ketika konsumsi menyusut," jelas pengamat ekonomi dari FEUI, Telisa Aulia Falianty, di Jakarta, Minggu (4/8).

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2013 turun 0,22 persen menjadi 5,81 persen (year-on-year), dibandingkan dengan yang dicapai pada triwulan II-2012 yang mencapai 6,03 persen. Kinerja itu di luar perkiraan banyak kalangan sehingga target pertumbuhan sepanjang 2013 sebesar 6,3 persen diperkirakan juga tidak tercapai.

Menurut Telisa, dari sisi angka pertumbuhan ekonomi, Indonesia sebenarnya sudah baik. Namun, pertumbuhan ekonomi hanya ditopang oleh konsumsi akibat pertumbuhan jumlah penduduk kelas menengah tanpa diimbangi oleh kemandirian, baik kemandirian pangan, kemandirian energi, maupun kemandirian struktur industri. 

Oleh karena itu, Telisa menyarankan pemerintah segera mewujudkan kemandirian guna mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia. "Kemandirian pangan, energi, dan industri harus diselesaikan oleh pemerintah. Impor bahan baku kita masih sangat besar. Kita belum siap memenuhi bahan baku dari lokal. Meski ada investasi asing (FDI), tetapi bahan bakunya masih impor," papar dia.

Kebergantungan Indonesia pada beragam impor seperti pangan, BBM, bahan baku, serta barang modal akhirnya memukul neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan.

Bahkan, Bank Indonesia (BI) memprediksi defisit transaksi berjalan pada triwulan II tahun ini akan melebar dibandingkan dengan ekspektasi sebelumnya karena pertumbuhan ekspor melambat dan penurunan impor setelah penaikan harga BBM belum terasa.

Deputi Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengatakan defisit transaksi berjalan pada triwulan II akan menembus 9 miliar dollar AS, lebih tinggi dari perhitungan sebelumnya, yakni 8,6 miliar dollar AS atau 3,6 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Telisa menambahkan defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan menjadi gambaran struktur ekonomi Indonesia belum baik. "Kita bisa menekan defisit kalau struktur ekonomi kita diperbaiki," tutur dia.

Dia juga mengungkapkan sektor jasa yang terlalu bergantung pada luar negeri juga menggerus cadangan devisa kita. 


"Konsep struktrur ekonomi Indonesia salah arah karena tidak ditopang oleh kemampuan domestik. Kita bangun pabrik, tetapi bahan bakunya dari impor. Jadi, struktur industri kita tidak jelas. Kebijakan industrialisasi kita tidak jelas," katanya. lex/WP

No comments:

Post a Comment