Friday, May 22, 2015

Kasus Pajak BCA, Ahli KPK Sebut Ada Kerugian Negara

JAKARTA, GRESNEWS.COM - Saksi ahli yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sidang gugatan praperadilan yang dilayangkan mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo terkait penetapan sebagai tersangka kasus korupsi pajak BCA mengungkapkan adanya kerugian negara dalam kasus itu. Riawan Candra, ahli yang diajukan KPK meyatakan, dalam hukum administrasi pembayaran pajak merupakan kewajiban wajib pajak. Negara memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran pajak tersebut.

"Ketika yang seharusnya menjadi hak negara tetapi tidak, itu bisa dikategorikan kerugian negara," kata Candra dalam sidang yang berlangsung di PN Jakarta Selatan, Kamis (21/5).

Dalam kasus korupsi pajak BCA ini, Hadi yang ditetapkan sebagai tersangka sejak
21 April 2014, diduga mengubah telaah Direktur Pajak Penghasilan mengenai keberatan SKPN PPh BCA. Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003 terkait non-performing loan (NPL atau kredit bermasalah) senilai Rp5,7 triliun kepada Direktur PPh Ditjen Pajak.

Akibatnya, berdasar hasil investisgasi Inspektorat Bidang Investigasi (IBI) Kementerian Keuangan ditemukan
kerugian negara sebesar Rp375 miliar. Atas dasar itulah, Jaksa KPK dalam sidang kali ini bertanya kepada Candra soal pembayaran pajak yang tidak masuk ke kas negara.

"Ketika pajak yang harus dibayarkan BCA tetapi tidak dilakukan sehingga hak negara mendapat pemasukan keuangan tidak ada, apakah termasuk kerugian negara," tanya Yudi kepada ahli dalam sidang gugatan praperadilan di Pengadilan Jakarta Selatan, Kamis (21/5).

Dengan meyakinkan Riawan Candara menyebut, itu termasuk kerugian negara. Dia menegaskan, jika kemudian ditemukan kerugian negara akibat penyalahgunaan wewenang Dirjen Pajak dalam kasus korupsi pajak BCA ini, maka penegak hukum yang berwenang bisa melakukan penyelidikan.

Dalam hal ini, ahli berpendapat UU Tipikor dapat menjadi landasan untuk menungkap dugaan penyalahgunan wewenang oleh Dirjen Pajak. "UU Tipikor tidak berdiri sendiri, itu bisa menjadi pintu masuk melakukan penyelidikan," kata Candra.

Dalam UU Administrasi Negara, menurut Candra, seorang pejabat tata usaha negara perlu menerapkan asas kehati-hatian dan kecermatan dalam menjalankan pemerintahan yang baik. Ketika asas tersebut diabaikan, patut diduga Dirjen Pajak telah melakukan penyalahgunaan kewenangannya.

Namun Hadi mengatakan bahwa keputusan keberatan pajak BCA merupakan kewenangan Dirjen Pajak berdasarkan UU KUP. Hadi membantah telah melakukan penyalahgunaan wewenang. Hadi mengatakan, sebagai Dirjen Pajak, pada 13/5/2004 Direktur PPh telah melakukan telaahan atas keberatan Pajak PT BCA. Hasil telaahan itu berupa pendapat/usulan dari Direktur PPh kepada Dirjen Pajak dinyatakan pajak yang harus dibayar sebesar
Rp634 miliar.

Namun Direktur PPh mengoreksi sendiri kewajiban membayar pajak BCA yang semula tertulis Rp634 miliar menjadi sebesar Rp0 dalam risalah tertanggal 17 Juni 2004. Atas pendapat Direktur PPh, selaku Dirjen Pajak telah mengeluarkan nota dinas Nomor 192/4/2014 kepada Direktur PPh yang berisi pendapat atas pendapat Direktur PPh.

"Nota dinas itu bukan intruksi untuk memerintahkan mengubah kesimpulan sebagaimana yang dituduhkan. Nota dinas dibuat sebagai bentuk transparansi dan keterbukaan dalam memutus keberatan pajak BCA," jelas Hadi.

Salah satu isi nota dinas mengadopsi ketentuan Pasal KMK 117/1999 yang menyatakan BCA menyerahkan piutang bermasalah/NPL kepada BPPN dengan nilai nihil. Dan BPPN adalah bukan wajib pajak sesuai dengan SE Direktur Jendral NO 28/1996.

Namun Direktur PPh berpndapat bahwa BCA menyerahkan piutang bermasalah kepada BPPN seharusnya dengan nilai wajar serta BPPN adalah wajib pajak. Pendapat ini diikuti dan dan dimabil KPK dalam menetapkan Hadi sebagai tersangka. Padahal tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Reporter : Ainur Rahman
Redaktur : Muhammad Agung Riyadi

www.gresnews.com


No comments:

Post a Comment