Saturday, April 25, 2015

Tak Dituntaskan, Skandal BLBI Bahaya Laten Kejahatan Bank

JAKARTA – Pemerintah harus segera menuntaskan penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) agar tidak menjadi bahaya laten kejahatan perbankan nasional. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus mengungkap dan menuntaskan pelanggaran hukum yang dilakukan obligor BLBI demi terwujudnya rasa keadilan rakyat.

"Kalau itu tidak dituntaskan, bankir-bankir hitam dapat saja mendirikan bank lalu mengeluarkan pinjaman untuk perusahaan atau grupnya, dan sengaja memacetkan pinjaman. Kalau pinjaman sudah macet, otomatis yang menanggung dana nasabah itu adalah LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Padahal  dana LPS itu berasal dari masyarakat sendiri," kata peneliti Pusat Studi Sosial dan Politik Indonesia (Puspol), Kusfiardi dalam diskusi Kerusakan Sistemik Akibat Kejahatan Ekonomi BLBI, Mewaspadai Moral Hazard Pengusaha Nakal di Tengah Kondisi Krisis di Jakarta, Kamis (23/4).

Karena itu, imbuh Kusfriadi, agar tidak terjadi perampokan oleh oknum bankir maka pemerintah harus berani menuntaskan dan menyelesaikan kejahatan perbankan terbesar dalam sejarah perbankan Indonesia, yaitu kasus korupsi BLBI. "Kebijakan warisan IMF ini kalau tidak dituntaskan segera akan menjadi contoh bagi bankir hitam untuk mengulangsi skandal BLBI," ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo yang menganggap Bank Dunia dan Dana Monter Internasional (IMF) tidak membawa solusi bagi persoalan ekonomi global, didesak untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan warisan lembaga internasional itu di Indonesia. Alasannya, skandal BLBI dengan obligasi rekapitalisasi perbankan pada 1998 yang merupakan warisan rekomendasi IMF terbukti memiskinkan rakyat Indonesia yang dipaksa menanggung utang pengemplang BLBI.


Menciderai Keadilan

Menjelaskan tentang pos pembayaran bunga obligasi rekap eks obligor BLBI yang di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dialokasikan 70 triliun rupiah per tahun selama 28 tahun (sampai tahun 2043), Kusfriadi menegaskan kenyataan ini merupakan rekayasa anggaran yang sangat menciderai keadilan rakyat.


“Bayangkan, akibat ulah segelintir bankir nakal, kita rakyat Indonesia yang disiplin membayar pajak, malah harus menanggung utang pengemplang BLBI itu. Anehnya lagi, selama hampir 28 tahun, pemerintah harus terus membayar 70 triliun rupiah ke bank-bank swasta pemegang obligasi rekap yang notabene sekarang sudah dimiliki pihak asing," ujar Kusfiardi.

Kusfriadi mencontohkan Bank Danamon, yang sebagian besarnya dimiliki oleh Temasek  Malaysia. "Jadi uang triliunan rupiah itu, dibayarkan ke Danamon, tapi uangnya, bukan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia tapi dinikmati negara lain," kata Kusfiardi.

Karena itu, Kusfriadi mlihat bahwa kejahatan yang timbul dari kasus BLBI itu sudah merupakan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat karena hak masyarakat untuk mendapatkan kesejahteraan terampas untuk membayar obligasi rekap BLBI.
"Karena itu perlu ada putusan politik dari pemerintahan Presiden Jokowi untuk berani menghapus kewajiban pembayaran hutang obligasi rekap tersebut. Masak mencabut subsidi BBM saja berani, tapi untuk menghapus kewajiban pembayaran utang obligasi rekap, tidak berani?" tegas Kusfiardi.eko/AR-2


No comments:

Post a Comment