Thursday, April 30, 2015

Kepolisian RI perlu REVOLUSI

Nampaknya tidak pula kunjung usai masalah di tubuh Kepolisian RI (Polri). Kasus demi kasus semakin mengancam integritas maupun kepercayaan masyarakat. Reformasi Kepolisian hanyalah mimpi di siang bolong. Seperti yang sudah pernah kita dengar tentang reformasi di tubuh TNI. Mengayomi, melayani, dan melindungi, itulah motto tentang impian kepolisian RI di masa depan.

Pokok Persoalan: Posisi Yang Dilematis
Pangkal permasalahan Polri sesungguhnya sudah terjadi sejak lama. Kedudukan kepolisian di negeri ini tidaklah pernah jelas sejak awal dibentuknya paska Proklamasi Kemerdekaan RI. Paska Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dikeluarkan Keppres No 154/1959 yang menyatakan Kepolisian Negara diberikan kedudukan menteri negara (ex-officio). Perubahan masih terus bergulir sampai pada tanggal 13 Juli 1959 melalui Keppres No 154/1959 menyebutkan Kapolri diberikan pula jabatan sebagai Menteri Muda Kepolisian.

Presiden Soekarno pernah mengutarakan keinginannya untuk membentuk ABRI yang terdiri atas Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian. Keinginan Presiden Soekarno tersebut ditentang oleh Kapolri (Menteri muda Kepolisian) Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Alasannya, dengan dimasukkan ke dalam ABRI akan mengurangi profesionalitasnya. Kemauan keras Soekarno itu pula yang menyebabkan RS Soekanto mengundurkan diri pada tanggal 15 Desember 1959. Ahirnya, melalui Tap MPRS No II dan III Tahun 1960 ditetapkan ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara.

Di masa Orde Baru terjadi perubahan yang cukup ekstrim, sekalipun masih belum banyak merubah tatanan sebelumnya. Presiden Soeharto mulai menata ulang 4 elemen di dalam ABRI. Kedudukan Kapolri (sebelumnya Kepala Kepolisian Negara atau KKN) sejajar dengan Kepala Staf angkatan bersenjata (KSAL, KSAU, dan KSAD). Istilah kepala staf tersebut untuk menggantikan penyebutan sebelumnya, yaitu panglima angkatan bersenjata (laut, udara, dan darat). Perubahan di organisasi kepolisian pun dilakukan dengan merubah tanda kepangkatan yang sama dengan kepangkatan di angkatan bersenjata.

Demi memperkuat legitimasi politiknya, rezim Orba selanjutnya meleburkan Polri ke dalam ABRI (sekarang TNI). Polri menjadi angkatan keempat yang sejajar dengan angkatan laut, angkatan udara, dan angkatan darat. Di sinilah awal dimulainya militerisme ke dalam organisasi Polri yang masih membekas hingga saat ini. Militerisme diperlihatkan dari segala aspek, mulai dari seragam, tanda kepangkatan (dan kepangkatan), perekrutan, hingga pada aspek pendidikan (seluruh jenjang pendidikan). Diterapkannya politik teroritial di mana angkatan darat mendominasi komando militer menyebabkan polisi lebih dekat dengan angkatan darat (TNI-AD).

Pokok persoalan di dalam kepolisian RI sesungguhnya terletak dari perkembangan sejarahnya. Dimulai dari terbentuknya Pasukan Polisi Istimewa yang turut serta pula dalam berbagai misi penumpasan separatis hingga misi merebut Irian Barat. Sejak saat itu perannya menjadi di persimpangan jalan, apakah menjadi polisi profesional ataukah sekalian dapat difungsikan untuk mendukung fungsi militer. Paska reformasi bukan memberikan solusi, akan tetapi permasalahan baru, yaitu dengan melepaskan Polri dari TNI dan menjadikan Polri sebagai institusi yang langsung di bawah Presiden RI. Padahal, seperti TNI-AL, TNI-AU, dan TNI-AD berada di bawah Panglima TNI. Ini berarti pula kedudukan Panglima TNI sejajar degan Kapolri.

Revolusi Kepolisian RI
Rasanya akan lebih tepat apabila disebut revolusi ketimbang reformasi. Perlu dilakukan suatu perubahan ekstrim pada institusi Polri untuk keseluruhan aspek di dalamnya. Tujuan revolusi tidak lain untuk mewujudkan institusi kepolisian yang profesional. Seperti kita ketahui, Kepolisian RI pula hendak mewujudkan mottonya, yaitu mengayomi, melayani, dan melindungi.
Kepangkatan dan Tanda Kepangkatan
Perubahan tanda kepangkatan dan kepangkatan sudah dilakukan sejak 1 Januari 2001. Sayangnya, perubahan tersebut hanya merubah desain dan penyebutan, bukan merubah struktur kepangkatannya. Ini perlu diperhatikan, karena struktur kepangkatan Polri saat ini masih mengikuti struktur kepangkatan di TNI. Ini berarti masih menyisakan kesan militeristik di dalam Polri dan tentu personilnya.
Seragam dan Atribut
Seragam kepolisian saat ini masih identik dengan seragam yang digunakan di lingkungan angkatan bersenjata. Tentunya ini akan membawa dampak psikologis yang cukup serius, yaitu pola pikir militeristik. Atribut berupa lencana dan tanda jasa memiliki desain yang sama persis dengan yang digunakan pada angkata bersenjata. Kepolisian bahkan memiliki wing terjun dan tanda kecakapan lain yang mirip dengan militer. Ini semua harus dihilangkan. Seragam kepolisian sebaiknya merupakan seragam sipil, karena sesuai dengan mottonya adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Metode Perekrutan
Metode perekrutan saat ini terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu perekrutan di tingkat tamtama, tingkat bintara (Sekolah Kepolisian), dan di tingkat akademi (Akademi Kepolisian). Metode perekrutan seperti ini punya kemiripan dengan metode perekrutan angkatan bersenjata. Metode kualifikasi dalam perekrutan ini pun harus dilakukan perombakan total. Aspek perekrutan di kepolisian sejak lama telah menjadi isu/permasalahan yang jarang tersentuh. Metode perekrutan di dalam kepolisian sebaiknya harus menggunakan pendekatan civil society. Mirip dengan metode perekrutan pada sekolah-sekolah seperti STPDN, STAN, dan lain sebagainya. Perubahan metode perekrutan secara bertahap akan menggeser paradigma militeristik menjadi paradigma civil society.
Pendidikan Kepolisian Negara
Syarat untuk dapat masuk ke kepolisian hendaknya minimal berpendidikan terakhir setingkat SLTA. Sekolah Kepolisian sebaiknya dihapuskan, sehingga untuk pendidikan dasar hanya ada di Akademi Kepolisian (Diploma atau setara D3). Seluruh lulusannya adalah setara dengan bintara. Jika hendak menuju jenjang perwira, maka lulusan Akpol tadi harus memenuhi persyaratan menuju jenjang pendidikan sekolah lanjut yang disebut Sekolah Tinggi Kepolisian. Di sini tidak akan pernah ada istilah perwira muda seperti yang terdapat pada ketentaraan. Kepangkatan perwira setidaknya baru bisa dicapai apabila yang bersangkutan telah menempuh masa di lapangan yang cukup panjang dan tentunya dengan sedikit cacat.
Organisasi di Bawah Kementrian
Pernah disampaikan usulan, agar institusi Polri tidak berdiri sendiri di bawah langsung Presiden RI, akan tetapi di bawah kementrian atau yang setikang dengan kementrian. Ada dua kementrian yang menjadi opsi, yaitu Kementrian Dalam Negeri atau Kejaksaan. Dengan mempertimbangkan mottonya dan teknis lapangan yang akan dihadapi, maka akan lebih tepat apabila Kepolisian RI berada di bawah Kementrian Dalam Negeri. Kepolisian akan berkoordinasi langsung dengan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Agar tidak terdapat tumpang tindih dengan tugas Satpol PP, maka sebaikanya pula melakukan perombakan pada Satpol PP dengan membatasi kewenangannya atau secara bertahap dihapuskan. Dalam hal ini, Kepolisian RI akan bekerja langsung berdasarkan surat keputusan mendagri dan surat keputusan kepala daerah.
Perubahan Desain (Visual)
Perubahan yang dimaksud di sini adalah perubahan pada desain bangunan yang selama ini masih meninggalkan karakter militeristik. Misalnya dengan keberadaan pos jaga di setiap polda, polres, poltabes, dan polsek yang desainnya mirip atau menyerupai pos jaga di pos militer. Perombakan desain tersebut bertujuan untuk menghilangkan kesan militeristik pada institusi Polri maupun perspektif dari masyarakat sendiri.
Merampingkan Unit Brigade Mobil (Brimob)
Jumlah unit kesatuan Brimob saat ini dirasakan terlalu besar. Melihat motto maupun tugas pokok yang diemban nampaknya akan menjadi dilematis jika dihubungkan dengan motto ataupun tugas pokok Polri. Brimob sebaiknya secara berangsur dapat dikurangi, sehingga nantinya akan membentuk unit kesatuan khusus yang beroperasi di setiap daerah setingkat propinsi. Keberadaan Brimob yang terlalu besar ini pula yang menyebabkan terjadinya dilema pelaksanaan ataupun perwujudan motto Polri.
Alokasi Pembiayaan
Seperti pada poin yang sudah disebut sebelumnya, apabila Polri secara struktural berada di bawah Kemendagri. Oleh karenanya, pembiayaan operasional Polri di daerah akan disokong dari APBD. Ini berarti besar atau kecilnya kebutuhan akan unsur kepolisian di daerah disesuaikan pula berdasarkan kapasitas pendapatan (APBD) di daerah. Dalam hal ini, pemerintah pusat memiliki standar minimal untuk penyelenggaran kepolisian di daerah. Sokongan dana dari pusat hanya akan diberikan apabila standar minimal tidak dapat dipenuhi oleh anggaran pemerintah daerah setempat. Dalam hal ini, pembiayaan atas pendidikan kepolisian bukan domain atau kewenangan pemerintah daerah, melainkan kewenangan pemerintah pusat (melalui Kemendagri).
Membatasi Kewenangan
Kewenangan untuk menjaga keamanan nasional yang diserahkan kepada Polri dirasakan akan menjadi beban tersendiri. Aspek kewenangan Polri pada tatanan keamanan harus dibatasi hanya pada aspek pencegahan tindak pidana kriminal dan menjaga keamanan/ketertiban umum. Seperti misal terorisme sebenarnya bukanlah domain Polri, melainkan domain bidang pertahanan dan keamanan. Polri harus tetap difokuskan profesionalitasnya pada aspek pelayanan kepada masyarakat. Pembatasan kewenangan ini pula mengharuskan Polri agar bekerjasama dan mengaktifkan kembali fungsi DLLAJR di dalam jajaran Dinas Perhubungan. Artinya, hak atau kewenangan untuk mengurusi SIM maupun surat-surat kendaraan bermotor harus diserahkan kepada DLLAJR.
Struktur Pertanggungjawaban
Mengingat secara operasional bekerja di bawah naungan pemerintah daerah, maka institusi Polri di daerah bertanggungjawab langsung kepada kepala pemerintah daerah. Pertanggungjawaban kepolisian di daerah selanjutnya akan diserahkan kepada Kepolisian Pusat (Metro) yang nantinya akan menjadi pertanggungjawaban Kapolri kepada Mendagri. Sebagai catatan, keamanan nasional bukanlah domain Polri, sehingga tidak dimasukkan ke dalam laporan pertanggungjawaban Polri baik di daerah maupun pusat.

Merubah Mindset Pada Sistem Pendidikan
Diberlakukan perubahan tanda kepangkatan dan penyebutannya di tahun 2001 tidak diikuti dengan perubahan yang menyeluruh, terutama perubahan pada pola mikir institusi maupun personilnya. Salah satu pangkal persoalan cara berpikir (mindset) dari personil kepolisian terletak pada aspek kependidikan. Para personilnya sejak lama dibina sebagai alat negara, bukan dibina sekaligus sebagai pelayan masyarakat. Itu sebabnya pada poin di atas disebutkan apabila salah satu sasaran revolusi di kepolisian adalah pada pendidikan kepolisian.
Akademi Kepolisian dan Sekolah Tinggi Kepolisian
Sekolah Kepolisian sebaiknya dihapuskan dan keseluruhannya dileburkan ke dalam Akademi Kepolisian (Akpol) dengan masa pendidikan standar selama 3 tahun. Di sini tidak dikenal istilah perwira remaja/muda yang bisa ditemukan pada kependidikan militer. Seluruh lulusan Akpol berpangkat Sersan. Mereka harus menjalani masa percobaan resmi di lapangan minimal 5 tahun setelah pendidikan, sebelum nantinya memperoleh lencana kepolisian. Masa percobaan di lapangan yang cukup panjang di sini merupakan bagian dari pendidikan jangka panjang, yaitu pengamatan. Dalam hal ini, masyarakat yang nantinya akan berperan langsung memberikan penilaian, baik penilaian kepada individu (personil Polri) maupun institusinya. Untuk menuju jenjang kependidikan perwira setidaknya harus mengemban tugas lapangan minimal 10 tahun. Selain perombakan di atas, seragam pendidikan untuk Akpol harus pula dibedakan dari AAL, AAU, maupun Akmil. Sejak pendidikan dasar hendaknya sudah ditanamkan apabila mereka adalah abdi masyarakat, bukan militer.
Materi Pendidikan Dasar (Kurikulum)
Sebagai institusi yang memiliki sasaran pada aspek civil society, maka materi pendidikan kepolisian harus menitikberatkan pada aspek pelayanan sosial. Titik kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh setiap personila adalah kemampuan dasar komunikasi. Aspek bela diri dan ketangkasan lain bisa jadi kemampuan standar, akan tetapi komunikasi interpersonal harus menjadi kemampuan wajib yang memiliki skor (poin kualifikasi) paling tinggi. Ini berarti harus dilakukan perombakan besar-besaran dalam kurikulum pendidkan kepolisian. Perombakan tersebut bertujuan untuk mengubah dan sekaligus menanamkan tugas dan tanggungjawab kepolisian sesuai dengan mottonya, mengayomi, melayani, dan melindungi. Prinsip dasar dalam perubahan kurikulum pendidikan dasar kepolisian merubah mindset kepolisian dan personil. Mindset yang hendak ditanamkan bahwa polisi bukan semata alat negara, akan tetapi lebih dititikberatkan sebagai pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat. Paradigma alat negara seringkali disalahgunakan dan menciptakan persepsi negatif, tanpa dibarengi tugas pokoknya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Mindset semacam ini dilandasi suatu kesadaran dan pemahaman apabila Polri selaku institusi dibiayai oleh rakyat.
Pengawasan Tugas Kepolisian
Dalam revolusi total di dalam organisasi Kepolisian RI, masyarakat memiliki tanggungjawab yang secara langsung terlibat ke dalam pengawasan. Secara struktural, tanggungjawab pengawasan terletak pada institusi legislatif di daerah, yaitu DPRD di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Kemendagri akan membentuk lembaga khusus yang berfungsi mewadahi segala fungsi dan tindakan pengawasan terhadap kepolisian di daerah. Lembaga independen tersebut akan berkomunikasi (bukan bekerjasama) dengan pihak legislatif di daerah. Review akan dilakukan setiap bulan yang bertempat di balai kota di masing-masing daerah tingkat propinsi dan kabupaten/kota.

Penutup: Polisi Profesional Tanpa Dilema
Sebagaimana kita ketahui bersama, institusi Kepolisian RI memang cukup bermasalah. Kita tidak bisa hanya cukup sekedar menyalahkan satu pihak atau pihak lain di saat ini. Dilema kepolisian merupakan dilema di masa lalu yang tidak pernah terselesaikan. Jaman semakin berubah, tantangan pun semakin berbeda. Tidak hanya sekedar melempar wacana dan menciptakan hanya retorika semata. Siapapun pihak yang telah menyepakati berkewajiban memenuhi dan mengikuti tahapan transisinya.

Permasalahan yang sekaligus menjadi penghambat menuju revolusi kepolisian Indonesia akan cukup berat. Tidak sedikit kepentingan-kepentingan politik yang selama memanfaatkan institusi kepolisian. Tidak sedikit pula nantinya kepentingan bisnis yang akan gunakan segala cara untuk menghambat, bahkan menggagalkan transisi tersebut. Dari internal kepolisian sendiri pun akan dimungkinkan pula melakukan tindakan serupa untuk menghambatnya. Tentunya untuk dapat menjamin keberlangsungan dan konsistensi harus dibarengi pula dengan adanya upaya untuk melakukan pembersihan total.


leo4kusuma.blogspot.com

No comments:

Post a Comment