Thursday, June 13, 2013

SEPUTAR dan KONTROVERSI FORUM PEMRED di Bali

AJI prihatin dengan Forum Pemred


JAKARTA. Pertemuan Forum Pemred di Bali mengundang keprihatinan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Dalam siaran persnya yang ditandatangani Ketua AJI Indonesia Eko Maryadi, AJI menyatakan prihatin terhadap pertemuan Forum Pemred yang digelar 13-14 Juni 2013 di Nusa Dua. Bali. Memasuki tahun politik atau setahun menjelang Pemilu 2014, pertemuan ratusan pemred media se-Indonesia bisa menimbulkan spekulasi politik yang tidak perlu.

AJI secara organisasi menerima keluhan dari berbagai kalangan terkait sepak terjang Forum Pemred. Para pemimpin redaksi media yang berusaha menjaga independensi news-room mengeluhkan adanya upaya menggunakan Forum Pemred untuk memperjuangkan kepentingan politik tertentu. Forum ini dihadiri bukan saja oleh pemimpin redaksi media, namun juga pimpinan perusahaan, pejabat negara, dan pemilik media yang berkecimpung dalam politik

AJI mengingatkan, Forum Pemred berpotensi keluar dari jalur profesionalisme dan etika jurnalistik yang seharusnya dibangun dalam era pers bebas dan demokrasi saat ini. Di tengah berbagai masalah, seperti masih banyak wartawan digaji di bawah standar (termasuk kontributor dan freelancer), tiadanya jaminan asuransi dan perlindungan profesi, ancaman kekerasan yang menghantui pekerja pers, serta rendahnya kualitas dan etika wartawan, AJI mempertanyakan relevansi pertemuan Forum Pemred dengan fasilitas mewah di Bali. 

Menurut Tribunnews dan Kontan Online, Kamis 13 Juni 2013, peserta Forum Pemred mendapatkan tiket pesawat pulang-pergi dari tempat asal, hotel bintang selama tiga hari, dan makan gratis. Saat registrasi di Bali Nusa Dua Convention Hall, peserta mendapatkan bingkisan selain ID card sebagai peserta forum. Bingkisan itu berisi antara lain satu kilogram gula pasir, sebotol minyak angin, makanan ringan kacang goreng, dan satu bungkus kondom. Patut dipertanyakan, bagaimana dan dari mana Forum Pemred memperoleh fasilitas seperti itu.

Hadir dalam pertemuan Forum Pemred di Bali sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, seperti Menko Ekonomi Hatta Rajasa, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri BUMN Dahlan Iskan, Gubernur Bank Indonesia Agus Marwotowardojo, Dirut Pertamina Karen Agustiawan, dan sejumlah pengusaha nasional. Presiden SBY dijadwalkan menutup pertemuan pada Jumat, 14 Juni 2013.
  
Karena itu, AJI mengingatkan agar Forum Pemred tidak melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pasal 6 : Yakni “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”. Dalam hal penafsiran, "suap” adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. 

AJI juga mengingatkan agar pembentukan Forum Pemred sesuai dengan Peraturan Dewan Pers tentang Organisasi Wartawan diantaranya, poin 8 : Organisasi wartawan memiliki program kerja di bidang peningkatan profesionalisme pers. Juga poin 9 : Organisasi wartawan memiliki kode etik, yang tidak bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan Dewan Pers.

Kedua, AJI menyerukan anggotanya agar tidak mengikuti keputusan apapun dari forum tersebut, terutama jika bertentangan dengan prinsip independensi, profesionalisme, dan etika jurnalistik. AJI mendukung hak setiap orang untuk berorganisasi dan menyampaikan pendapat. Namun AJI menentang upaya pengorganisasian wartawan yang menjadikan pers sebagai corong kepentingan politik tertentu, perpanjangan tangan pemilik modal, yang menyerobot independensi ruang redaksi.

Kepada Pemimpin Redaksi yang hadir di Bali, hendaknya membahas secara serius masalah kesejahteraan wartawan, independensi redaksi di depan penguasa dan pengusaha, dan bagaimana Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menjadi marwah pers Indonesia, serta upaya serius menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap jurnalis di seluruh Indonesia. 


Forum Pemred ingin kawal Indonesia jadi lebih baik


NUSA DUA. Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) bertekad mengawal agenda mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan perkasa bagi kesejahteraan rakyat. Demikian benang merah yang disampaikan oleh Ketua Forum Pemred Wahyu Muryadi dan Ketua Panitia Pelaksana Pertemuan Puncak Pemred Se-Indonesia Muhamad Ihsan dalam pembukaan acara dua hari itu di Nusa Dua Convention Center, Bali, Rabu (13/6/2013).

Menurut Ihsan, ada tiga alasan yang melatarbelakangi digelarnya Pertemuan Puncak yang dihadiri sekitar 300 pemred media cetak dan elektronik, terasuk situs berita online, itu. Pertama, perekonomian Indonesia sedang bagus-bagusnya di tengah krisis ekonomi yang melanda dunia sejak 2008 yang bermula dari Amerika Serikat kemudian menjalar ke Eropa dan beberapa negara lain.

“Momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir selalu di atas 6% harus dijaga. Saat ini pendapatan per kapita kita sekitar US$4.000, jumlah kelas menengah terus meningkat, dan 70% angkatan kerja kita ada di usia produktif, serta rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) kita termasuk di level aman,” kata Ihsan yang juga Pemimpin Redaksi Majalah warta Ekonomi.

Dia menambahkan, momentum positif itu bisa terjaga antara lain dengan mengatasi berbagai persoalan yang menghambat. “Adanya masalah yang mendesak di sisi infrastruktur dan kesenjangan pendapatan harus segera diatasi agar momentum kebangkitan -- yang mungkin tidak akan terjadi lagi dalam 50 tahun ke depan – dapat dipelihara.”

Kedua, kebebasan pers harus dijaga dengan kedewasaan kita. Saat ini kebebasan pers Indonesia boleh dibilang paling liberal di kawasan Asia. Sayangnya, kebebasan ini belum dibarengi oleh rasa tanggung jawab dari mayoritas pelakunya.  Konten berita media massa Indonesia demikian bebas, sehingga nyaris tanpa rasa sopan santun – termasuk kepada pranata-pranata negara yang seharus diberlakukan dengan rasa hormat. Bahkan, di media sosial, kondisinya lebih parah lagi. Suksesnya penetrasi internet – 63 juta pengguna pada 2012 dan kemungkinan 85 juta pada 2013 – belum dibarengi kedewasaan para pemakainya. Mengutip dari penelitian Kementerian Kominfo, untuk urusan memaki-maki orang Indonesia berada pada urutan nomor satu di dunia.

Ketiga, adanya semangat partisan para tokoh yang sedang mengejar ambisi politik. Tanpa harus menyebut nama, kita bisa dengan mudah melihat para politikus dengan bebas menyerang lawan politiknya dengan mengesampingkan akal sehat publik. Sayangnya, tingkat pendidikan masyarakat kita yang belum memadai, membuat kebohongan-kebohongan ini belum terdeteksi oleh kebanyakan masyarakat.

“Sungguh menyedihkan melihat pernyataan-pernyataan yang tidak masuk akal menghiasi media massa kita. Sebagian masyarakat – yang punya kepentingan tertentu – justru memperkuat kebohongan ini. Sungguh ironis hal ini justru terjadi di era globalization 3.0 (meminjam istilah Thomas Friedman) di mana di dunia yang lebih beradab justru individu mampu menjadi driver pengawal peradaban, bukan korban peradaban. Sedihnya, cukup banyak media massa yang berperan dalam situasi ini.”

Atas dasar kondisi ini diperlukan penyamaan visi dari para pemimpin dan pemilik media, karena – seperti yang dikatakan berbagai penelitian – media massa masih menjadi pranata publik yang paling dipercaya dibandingkan dengan pranata publik lainnya. Pertemuan Puncak ini diselenggarakan untuk menyamakan visi para pemimpin redaksi dan pemilik media untuk mengawal momentum emas menuju Indonesia perkasa yang lebih baik bagi kemakmuan dan kesejahteraan rakyat.

“Tim perumus juga sudah membuat draf Komitmen Bali. Ini adalah semacam deklarasi dan komitmen dari kami semua untuk membuat semacam himbauan agar berbagai elemen bangsa bersatu padu membangun Indonesia yang lebih baik,” kata Ihsan.

Sementara itu, Wahyu Muryadi memaparkan lima sektor kunci yang dibicarakan dalam Pertemuan Puncak Pemred 2013 guna mewujudkan cita-cita Indonesia yang lebih baik. Kelima sektor itu ialah infrastruktur, ketahanan pangan, kedaulatan energi, keuangan, dan teknologi, informasi, komunikasi (TIK).


No comments:

Post a Comment