Monday, May 13, 2013

Subsidi bunga obligasi rekap sebesar Rp80,7 T thn 2013 secara fiktif disisipkan dlm pos anggaran pembayaran bunga surat utang negara

JAKARTA – Gelembung harga properti atau bubble properti yang muncul berbarengan dengan kerapuhan keuangan negara saat ini, yang ditandai dengan tren defisit keseimbangan primer, berpotensi memicu krisis ekonomi yang lebih dahsyat dibandingkan krisis keuangan 1998. 

Untuk itu, pemerintah perlu segera mengantisipasi agar gelembung properti tidak semakin membengkak kemudian pecah. Selain itu, pemerintah harus memperkokoh fondasi keuangan negara agar lebih tahan terhadap guncangan dan ancaman krisis.

Salah satu upaya efektif untuk menekan defisit keseimbangan primer adalah menghentikan pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dalam beberapa tahun terakhir, posisi keseimbangan primer anggaran pemerintah sudah negatif. Artinya, realisasi pendapatan negara tidak bisa lagi menutup realisasi belanja pemerintah di luar pembayaran kewajiban utang. Dengan demikian, pemerintah harus mencari utang baru untuk membayar bunga utang lama. Padahal, utang Indonesia kini mencapai 2.000 triliun rupiah.

"Itulah sebabnya, apabila krisis akibat gelembung harga properti terjadi sekarang, dampaknya bakal lebih dahsyat dari krisis moneter 1998. Dengan kata lain, bukan saja akan meninggalkan beban utang yang besar, tapi juga akan merusak sendi-sendi perekonomian nasional," kata pengamat sosial ekonomi dari Universitas Brawijaya, Ahmad Imron Rozuli, saat dihubungi, Minggu (12/5).

Seperti diketahui, krisis moneter 1998 mengakibatkan rakyat Indonesia dibebani pembayaran utang pengemplang BLBI sekitar 650 triliun rupiah. Beban utang konglomerat nakal itu kemudian direkayasa agar masuk beban APBN dalam skema pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan sedikitnya 60 triliun rupiah per tahun hingga surat utang itu jatuh tempo 2033 kemudian diperpanjang lagi menjadi tahun 2043. Bahkan, rakyat juga harus membayar pokok obligasi saat jatuh tempo.

Imron menyarankan pemerintah segera bertindak untuk mencegah agar tidak muncul krisis akibat pecahnya gelembung properti saat ini. "Untuk itu, pemerintah mesti tegas kepada pengembang yang sengaja melakukan mark up harga demi keuntungan semata," kata dia.

Selain itu, imbuh Imron, keseimbangan primer mesti dibuat positif agar kuat menahan serangan krisis. Lebih dari itu, pengalokasian anggaran juga harus efektif untuk menggerakkan kegiatan-kegiatan yang produktif berdasarkan skala priortas. "Agar keuangan negara positif, maka stop pembayaran bunga obligasi rekap, lalu alihkan dananya untuk program yang menggerakkan pembangunan prorakyat," papar Imron.

Sebelumnya, ada usulan untuk mengembalikan bunga obligasi rekap di bank BUMN melalui dividen. Pemikiran itu dinilai kurang efektif karena bakal muncul upaya mengakali penghitungannya. Lebih dari itu, secara teknis, kondisinya akan makin rumit jika pemerintah meminta dividen dari bank swasta pemegang obligasi rekap.

Mengenai skandal BLBI, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono, menilai skandal perbankan itu merupakan kasus kedaulatan negara yang sedang dimangsa, atau suatu upaya pelumpuhan negara yang dilakukan oleh preman-preman ekonomi yang dibantu oleh DPR dan kalangan birokrat. 

Sri Edi menegaskan kejahatan skandal BLBI itu seperti silent take-over dan pembiaran oleh penegak hukum, wakil-wakil rakyat, teknokrat, dan birokrat yang luntur nasionalismenya sekaligus lengah budaya dan lengah iman. 

"Subsidi bunga obligasi rekap sebesar 80,7 triliun rupiah pada tahun anggaran 2013 secara fiktif disisipkan dalam pos anggaran pembayaran bunga surat utang negara. Ini bisa dilihat di halaman 4-108 nota keuangan RAPBN 2013 tabel 4.14 dan ada dua laporan keuangan. Ini akal-akalan pemerintah untuk menutupi skandal BLBI," papar Sri Edi, beberapa waktu lalu.
Belajar dari China

Kepala Pusat Kajian Permukiman dan Perumahan UGM, Yogyakarta, Budi Prayitno, mengatakan pemerintah bisa meniru strategi Pemerintah China mencegah atau mengantisipasi krisis akibat pecahnya gelembung properti.

Seperti diketahui, setelah Negeri Tirai Bambu itu membuka lebar-lebar keran investasi asing, terjadi bubble properti karena patokan harga yang terjadi adalah harga acuan daya beli dari luar negeri yang berlipat-lipat tingginya sehingga tidak terjangkau pasar lokal. 

Budi menegaskan rentang harga properti sangat lebar itulah yang merupakan bubble sebenarnya. Guna mengatasi hal itu, Pemerintah China secara spesifik berhasil mengendalikan pasar properti, salah satunya dengan sistem pemanfaatan lahan telantar yang tidak sepenuhnya dilepaskan kepada kendali mafia pertanahan.

"Pemerintah China mewaspadai bubble properti justru sebelum pasar berkembang pesat. Salah satunya dengan mengendalikan sistem pertanahan di bawah komando pemerintah, bukan pasar," ungkap Budi.

koran-jakarta.com

No comments:

Post a Comment