Tuesday, May 14, 2013

Privatisasi PLN, Asing Ancam Sektor Energi Listrik Indonesia


Privatisasi PLN, Asing Ancam Sektor Energi Listrik Indonesia

Privatisasi sektor kelistrikan dengan pecahan (unbundling) baik secara vertikal maupun horizontal PT. PLN akan mengakibatkan beban listrik yang harus dibayar oleh masyarakat semakin besar, selain itu membuka peluang pihak asing asing untuk menguasai sektor kelistrikan di tanah air.

Program ini pasti akan menaikan harga, sebab listrik selama ini mulai dari pembangkit, kemudian transmisi, distribusi, dan retail melalui satu tangan. Ini akan dipecah-pecah, jelas Ketua Umum DPP Serikat Pekerja PT. PLN Ahmad Daryoko dalam Acara Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan bertema Prokontra Privatisasi PLN, di Gedung YTKI,Jakarta, Senin(18/2).

Menurutnya, apabila pembangkitan listrik ditangani oleh perusahaan asing, kemudian yang mengurus transmisi oleh perusahaan lain, dan yang melakukan distribusi lain lagi, dikhawatirkan akan terjadi perebutan keuntungan dari pembayaran konsumen.

Tiap masing-masing bagian itu akan membebankan biaya kepada konsumen, yang dirugikan konsumen, apalagi ketika terjadi beban puncak, bisa seperti Kamerun naik 15-20 kali lipat biayanya. Yang untungkan mereka yang menguasai unit-unit tadi, inikan instalasi milik publik tetapi kenapa dikuasai pribadi-pribadi, tandasnya.

Sementara itu, Pengamat Ekonomi Tim Indonesia Bangkit Ichsanuddin Noorsy mengatakan, Indonesiasecara sistemik selama tiga generasi terus dijadikan sapi perahan AS, karena secara ekonomi tidak bisa bebas.

Indonesia selalu merujuk kepada mekanisme pasar, dan ini sejalan dengan konsensus Washingtonyang menuliskan bahwa tidak ada barang yang gratis, tegasnya.

Karena itu, lanjut Ichsan rencana privatisasi PLN yang nantinya akan tergantung pada mekanisme pasar ini, selalu mengukur kekuatan dari segi materi, hal itu hanya akan menguntungkan kelompok kapitalis, dan terus menyengsarakan rakyat.

Di tempat yang sama Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia M. Ismail Yusanto menegaskan, kebijakan ekonomi pemerintah terhadap sektor kelistrikan ini, kalau dibiarkan akan bertentangan dengan prinsip keadilan, sebab Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Energi ini merupakan milik rakyat.

Masyarakat harus mempunyai akses yang sama untuk memperolah hak miliknya, dan seharusnya pemerintah hanya mengatur ketersediaannya, jelasnya

Ia menilai, rencana pemerintah untuk melakukan pemecahan PLN telah mengubah fungsi negara menjalankan pengawasan terhadap SDE, namun tidak lepas dari visi pasar bebas berupa penjajahan baru melalui penguasaan sumber daya energi.

Wacana privatisasi PT. PLN ini bermula pada rapat umum pemegang saham (RUPS) PT PLN pada 8 Januari 2008. Keputusan dalam RUPS itu kali ini sangat istimewa, karena berupa restrukturisasi terhadap PLN berupa pembentukan 5 anak perusahaan distribusi (Jakarta Raya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali) serta paling lambat akhir tahun 2008 membentukan satu anak perusahaan Transmisi dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali. Juga akan dibentuk dua BUMN Pembangkitan bahwa PT Indonesia Power dan PT Pembangkit Jawa Bali yang terpisah dari PLN.

hizbut-tahrir.or.id


Privatisasi PLN Sebuah Skenario Penghancuran Bangsa oleh Kekuatan Kapitalis

I. PENGERTIAN PRIVATISASI.
Privatisasi atau lebih tegasnya Penjualan Asset Negara adalah sebuah proses pengalihan hak kepemilikan dari kepemilikan publik ( negara ) ke pemilikan pribadi/perusahaan swasta.
Contoh: Beralihnya kepemilikan PT. INDOSAT yang semula milik Indonesia menjadi milik SINGTEL Singapura, melalui penjualan saham model Strategic Sales/Strategic Partner (melalui penjualan ke mitra strategis).
Catatan: Penjualan saham lewat Strategic Sales ataupun Initial Public Offering (IPO), tetap sama, privatisasi.

II. LATAR BELAKANG PRIVATISASI PLN.
Privatisasi yang terjadi di semua BUMN di Indonesia, adalah sebagai akibat dari kebijakan hutang rezim Orde Baru ,yang karena tidak mampu mengembalikan hutang sebagaimana perjanjian, maka terpaksa menandatangani Pacta Pengembalian Hutang secara Paksa yaitu dengan cara “menyerahkan” asset negara bernama BUMN melalui mekanisme “Lelang” yang disebut IPO maupun Strategic Sales/Strategic Partner. Disamping Pacta pengembalian hutang diatas,Pemerintah Indonesia juga dipaksa pemilik modal/Kapitalis untuk membuka pasar strategis yang selama ini di lindungi secara ketat oleh Konstitusi demi terjaminnya Kesejahteraan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Cara cara pengembalian hutang melalui penjualan asset negara, serta keharusan membuka pasar strategis tersebut, tertuang didalam suatu surat kesanggupan/komitmen Pemerintah Indonesia kepada IMF (International Monetarry Fund) yang mewakili badan keuangan dunia yang lain (ADB,IBRD dll) yang disebut Letter Of Intent (LOI).
Privatisasi PLN dimulai dengan ditandatanganinya LOI yang pertama oleh Presiden Soeharto pada tanggal 31 Oktober 1997, dimana pada butir 41 Pemerintah Indonesia akan mengevaluasi lagi belanja negara berkaitan dengan pelayanan publik (seperti listrik, air, minyak dll), dan berjanji bahwa sektor pelayanan publik tersebut akan di Privatisasi, agar tercipta pasar yang effisien,kompetitif dan transparan (ini adalah “adagium” klasik dari Kapitalis agar perusahaan negara dapat dikuasainya).
III. TAHAPAN PRIVATISASI PLN.
III.1 Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan/Power Sector Restructuring Program.
Dengan komitmen dalam LOI diatas, maka Pemerintah c.q Departemen Pertambangan dan Energi membuat “Blue Print” yang berisi rencana besar privatisasi PLN, yang kemudian lebih dikenal dengan “The white paper” atau buku putih Pertambangan dan Energi pada Agustus 1998, yang berisi Kebijakan Restrukturisasi Sektor Ketenagalistrikan atau “Power Sector Restructuring Program”. Yang intinya :
1). Privatisasi PLN Jawa- Bali ,karena wilayah ini yang laku dijual ke swasta, dan dapat di komersilkan (daerah “profit center”)
2). Penyerahan PLN Luar Jawa ke Pemda, karena wilayah ini dianggap merugi dan membebani Pemerintah Pusat (daerah “cost   center”).
III.2 Restrukturisasi Korporat
Dengan mengacu kepada White Paper tersebut, maka pada tahun 2002 meluncurlah UU No 20/ tahun 2002 tentang Ketenaga Listrikan yang intinya :
a). Membuat sistim “unbundling vertikal” untuk PLN Jawa-Bali, dengan tujuan agar supplai listrik dari hulu ke hilir di usahakan oleh badan usaha yang berbeda beda, Pembangkit oleh kelompok Genco (Generating Company), Transmisi oleh kelompok Transco (Transmission Company), Distribusi oleh kelompok Disco (Distribution Company), Dan Retail oleh kelompok Retco (Retail Company). Dengan demikian kalau semula supplai listrik mulai pembangkit,transmisi,distribusi, retail, sampai ke titik lampu, dikuasai oleh satu perusahaan (PLN), ibaratnya tanpa praktek “percaloan”. Maka setelah “unbundling vertikal” supplai listrik harus melalui ber macam macam perusahaan sebelum sampai ketitik lampu kita, padahal setiap perusahaan memungut jasa (seperti praktek “percaloan”). Akibatnya listrik sampai ke konsumen jadi sangat mahal. Contoh riil dari penerapan sistim ini adalah yang terjadi di Philipina, sehingga harga listriknya mencapai rata rata Rp 3500,- per kwh, tertinggi di dunia. Dan Perusahaan listrik negaranya (NAPOCOR) setelah di privatisasi, 60 % dikuasai oleh Mantan Presiden Arroyo.
b).Membuat sistim “unbundling horisontal” untuk PLN luar Jawa-Bali, yaitu pemisahan operasional kelistrikan berdasar geografis atau kewilayahan. Tujuannya adalah setiap wilayah kelistrikan dapat di kelola oleh Pemda tingkat II, sesuai semangat OTTODA. Untuk itu sebelum pengelolaan diserahkan ke Pemda, PLN saat ini mulai melakukan Restrukturisasi Korporat yaitu dengan membubarkan Kantor Cabang di Wilayah PLN Luar jawa, dan menggantinya dengan Area Jaringan , yang hanya berkompeten ngurus jaringan saja. Sedangkan untuk retail, setiap kabupaten didirikan Kantor Rayon yang mengurus retail tersebut. Sehingga suatu saat nanti rayon rayon ini diserahkan ke Kabupaten/Kodya.i
IV. TAHAPAN PENGKONDISIAN
Sebelum PLN di Privatisasi, maka PLN akan mengalami tahapan pengkondisian antara lain: Restrukturisasi Korporat, Internal Unbundling, Profitisasi, Privatisasi.
IV.1 Restrukturisasi Korporat.
Restrukturisasi Korporat bahkan sudah dimulai pada tahun 1992, dari hasil kajian John Perkins yang akhirnya menulis buku “pengakuan dosa” berjudul “The confussion of an economic hit man”. Pada tahun itu dibentuklah anak perusahaan Pembangkitan Jawa Bali I (PJB I) dan Pembangkitan Jawa Bali II (PJB II). Pada tahun 2000 kedua anak perusahaan tersebut berganti nama menjadi PT Indonesia Power dan PT PJB (Pembangkitan Jawa Bali).
Selanjutnya pada 2001, Restrukturisasi Korporat dilanjutkan antara lain pemisahan fungsi jaringan dan retail pada Kantor Cabang PLN Jawa- Bali serta perubahan sebutan jabatan dari Jabatan yang berbau Birokrat/Infra struktur (Kepala, Pemimpin) menjadi hal hal yang berbau komersial/komoditi (General Manajer, Manajer, dll).
IV.2 Internal Unbundling
Internal Unbundling bisa terjadi bersamaan dengan restrukturisasi korporat, sebagaimana terjadi atas PT Indonesia Power dan PT PJB dan juga PT PLN Batam, PT PLN Tarahan.
Tahap Internal unbundling yang belum dilakukan adalah pembentukan Anak Anak Perusahaan Distribusi di Jawa-Bali serta Anak Perusahaan Transmisi Jawa Bali. Hal ini pernah di coba melalui Kebijakan Korporat pada Januari 2008, tetapi mendapat tentangan keras dari SP PLN dengan demo 10.000 massa didepan Istana. Sampai saat ini pembentukan anak perusahaan Distribusi di Jawa Bali,dan Transmisi Jawa Bali ini belum terlaksana,sepertinya manajemen PLN sedang mencari justifikasi dan moment yang tepat agar tidak di curigai karyawan.
IV.3 PROFITISASI
Saat ini PLN berada pada tahapan Profitisasi, sambil juga menyelesaikan tahap Restrukturisasi yang belum selesai benar akibat pembatalan UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan pada 2004, dan penentangan terhadap Program Privatisasi.
Disamping itu, terlihat manajemen PLN saat ini juga melakukan uji coba “Internal Unbundling Horizontal” dengan melakukan pembubaran Cabang Makasar dan akan diikuti Cabang lain di Indonesia Barat.
Pada tahap Profitisasi, sesuai White Paper butir 12, Pemerintah akan memberikan kucuran dana yang cukup kepada PLN guna mempersiapkan diri untuk di Privatisasi. Maka pantaslah saat ini (Era DIRUT Dahlan Iskan) PLN menerima Anggaran dari Pemerintah sebesar Rp 200 trilyun pertahun (lihat millis PLN tanggal 10 Pebruari 2011, Pernyataan Dirut PLN). Padahal di era era sebelumnya PLN hanya mendapat jatah anggaran sekitar Rp 60 s/d Rp 80 trilyun saja dari Pemerintah.
Disamping itu untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat pada saat PLN di Privatisasi nanti, maka diperlukan peningkatan “corporate image”. Sehingga bisa dimaklumi, kalau saat ini para petinggi PLN sering muncul di acara acara televisi , dan membuat program sosial serta keagamaan, terlebih bulan Romadhon, serta program lain berkaitan dengan kelistrikan, kenaikan daya gratis, pengembalian UJL, gerakan sejuta sambungan dan lain lain, semua itu bermuara pada “ Pencitraan “ untuk mendapatkan dukungan masyarakat guna suksesnya Privatisasi PLN dan penyerahan PLN Luar Jawa ke Pemda, yang dalam waktu dekat akan dilaksanakan.
IV.4 PRIVATISASI.
Tahapan yang paling ditunggu oleh para pemilik modal (ADB,IBRD,Multinational Corporation) serta kekuatan Kapitalis Lokal/Internasional yang lain, adalah kapan PLN mulai di jual/diprivatisasi. Karena sektor kelistrikan memang merupakan ladang bisnis yang sangat menjanjikan, terutama di sektor pembangkit.
Untuk menuju Privatisasi maka sesuai Undang Undang Energi No 30/Tahun 2007 tentang Energi pasal 7) ayat (2) yang menyatakan : “harga energi ditetapkan sesuai harga keekonomian yang berkeadilan” , maka tarip listrik akan dinaikkan sampai ketingkat harga keekonomian ,dimana dapat menutupi biaya produksi ditambah margin , yaitu menjadi sekitar Rp 1500/kwh. Pada saat kondisi harga/tarip listrik sudah seperti itu, maka penjualan asset asset PLN dari Pembangkit,Transmisi, Distribusi dimulai. Sedangkan proses penyerahan retail ke swasta sudah dimulai dari sekarang ,saat Dahlan Iskan menjadi DIRUT PLN, yaitu dengan adanya program retail dengan sistim Pra bayar.
V. DAMPAK PRIVATISASI LISTRIK
V.1 Dampak kelistrikan Jawa-Bali
- Dengan adanya Unbaundling Vertikal, maka harga listrik di Jawa-Bali akan mencapai Rp 3500/kwh (butir III.2. a).
- Penaggung jawab ketenagalistrikan hanya pada level Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik (BAPETAL/BP Listrik) yang tidak memiliki ottoritas langsung ke system, karena tidak memiliki jaringan kelistrikan. Sehingga pada saat terjadi gangguan listrik, terjadi saling lempar tanggung jawab.
- Mekanisme jual beli listrik melalui tender terbuka yang dinamakan “Multi Buyer Multi Seller”(MBMS) yang di koordinir oleh BAPETAL/BP Listrik. Pengalaman yang terjadi di California dan Kamerun menunjukkan bahwa pada saat beban puncak/peak load (di Indonesia antara jam 5 sore s/d jam 10 malam ) harga listrik melonjak menjadi 15 kali lipat (kesaksian Prof.David Hall dari Greenwich University, UK, pada sidang Mahkamah Konstitusi tahun 2003).
- Rentan sabotase, apalagi kalau mayoritas Pembangkit dikuasai Asing.
V.2 Dampak kelistrikan Luar Jawa-Bali
- Biaya produksi kelistrikan Luar Jawa- Bali pada sisi pembangkit sangat besar, yaitu sekitar Rp 2500,- per kwh, mengingat sebagian besar pembangkit adalah diesel (PLTD). Memang ada beberapa PLTA namun “catchment area”/daerah tangkapan airnya sudah gundul,sehingga debit air pada pipa pesat/penstock untuk pembangkitan sangat kecil. Sehingga listrik yang berasal dari PLTA kurang signifikan.
- Bila biaya produksi listrik tinggi, sementara argumentasi penyerahan Rayon PLN ke Pemda adalah dalam rangka agar Pemda dapat memberdayakan peran BUMD nya (UU No 30/Th 2009), maka dampak kenaikan tarip listrik akan ditanggung konsumen luar Jawa-Bali. Perlu diketahui bahwa selama ini ada mekanisme “cross subsidy” dari Jawa- Bali yang untung kepada Luar Jawa-Bali yang masih rugi, namun dengan di privatisasinya kelistrikan Jawa-Bali maka cross subsidy tersebut terhenti.
- Akibat lebih lanjut dari lepasnya “kendali kontrol” ketenagalistrikan oleh Pemerintah Pusat adalah bahaya disintegrasi bangsa.
VI. KESIMPULAN
1). Kebijakan Privatisasi ketenagalistrikan ini benar benar hanya dipicu oleh keinginan negara negara Kapitalis yang ingin menguasai kembali sumber daya alam dan mengkooptasi secara politis negara berkembang seperti Indonesia (Pof Jeffry Winters, North Western University,AS, pada seminar di Hotel Mulia Senayan 2006).
2). Kebijakan privatisasi yang sudah melanda hampir keseluruh BUMN di Indonesia, disamping dorongan kekuatan Kapitalis, juga karena tidak adanya Visi/Ideologi para Pemimpin Bangsa ini.
3). Di Philipina – sesuai kesaksian dari Louis Corral,anggota parlemen Philipina di MK – akibat privatisasi kelistrikan dengan model “unbundling” ( seperti Indonesia ) maka harga listriknya termahal di dunia yaitu sekitar Rp 3500,- per kwh.
4). Di Kamerun – sesuai kesaksian Prof David Hall, dari University of Greenwich,UK, di MK – akibat “unbundling vertikal” maka terjadi “overpricing” hingga 15 kali lipat harga listrik kondisi normal, pada saat terjadi beban puncak, dan memicu Revolusi Sosial di Kamerun.
5). Dari paparan diatas disimpulkan bahwa privatisasi PLN akan membawa kehancuran Bangsa Indonesia, kalau tetap dipaksakan. UNTUK ITU HARUS DITOLAK OLEH SELURUH RAKYAT INDONESIA.
Penulis: Ahmad Daryoko, Presiden Konfederasi Serikat Nasional.


No comments:

Post a Comment