by Leo Kusuma
Ada pernah dikenal dengan istilah politik beras, maka ada pula dikenal dengan politik
gandum. Serupa, tetapi tidak sama bentuknya ataupun tujuannya. Kesamaannya cuma ekses atau akibat yang diciptakan, yaitu mengganggu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Gandum dikenal sebagai bahan baku utama untuk membuat roti maupun mie. Bahan makanan pokok yang sekaligus dapat menjadi alternatif pengganti beras. Lalu mengapa disebut politik gandum? Siapakah yang diuntungkan, dan apa pula tujuannya?
Sebuah departemen yang mengurusi pangan di Amerika Serikat, yaitu US Departemen of Agriculture (USDA) mengeluarkan laporan yang terulis apabila Indonesia merupakan negara pengimpor gandum terbesar kedua di dunia (sebesar 6,7 juta ton tahun 2011). Urutan pertama pengimpor gandum terbesar adalah Mesir (10 juta ton tahun 2011). Urutan ketiga antara lain Brazil dengan impor 7.000 ton, tahun lalu. Selebihnya ada Jepang, Uni Eropa, Aljazair, Maroko, Korea Selatan, Meksiko, Nigeria, Irak, Turki, Filipina dan lain-lain dengan proyeksi impor tahun ini totalnya 137.425.000 ton. Indonesia sendiri di bulan Mei 2012 diperkirakan akan melampaui angka impor gandum sebesar 7,1 juta ton. Cukup berpeluang untuk menjadi importir gandum terbesar di dunia melampaui Mesir di akhir tahun 2012.
Mengenai Gandum
Tanaman gandum (Triticum spp.) merupakan sejenis tanaman serealia dan masuk ke dalam suku padi-padian yang kaya akan kandungan karbohidrat. Biji-bijian gandum tersebut kemudian diolah terlebih dahulu melalui proses penggilingan untuk menjadi tepung terigu. Selanjutnya, dari tepung terigu tersebut akan diolah lebih lanjut untuk menjadi roti, mie, pasta, kue, dan bahan dasar pembuatan makanan olahan
Keistimewaan bahan baku yang berasal dari gandum karena tersedia dalam jumlah yang cukup besar, sehingga harganya relatif lebih terjangkau. Sejak tahun 2000 lalu di Indonesia telah dilakukan perintisan tanaman gandung di sejumlah daerah yang iklimnya dianggap cocok. Saat ini di beberapa daerah sudah secara konsisten melakukan budidaya tanaman gandum seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Sayangnya, produksi gandum di dalam negeri jauh dari memadai untuk dapat memenuhi permintaan domestik yang jumlah terus mengalami peningkatan.
Tepung terigu sebenarnya tidak selalu harus berasal atau diolah dari biji gandum. Sudah ada beberapa jenis tanaman yang dapat diolah lebih lanjut untuk menjadi tepung, seperti tepung singkong, tepung tapioka, tepung beras, tepung jagung (tepung maizena), tepung sagu, tepung talas, tepung kimpul, dan tepung garut. Masing-masing memiliki keistimewaan atau karakteristik untuk dapat diolah menjadi bahan makanan seperti mie, pembuatan roti, maupun bahan baku untuk membuat makanan olahan. Keseluruhan jenis tanaman tersebut tersebar di hampir seluruh pelosok negeri, dari Sabang sampai Merauke. Artinya, Indonesia memiliki potensi diversifikasi yang cukup luas untuk bisa memproduksi tepung terigu yang tidak tergantung pada satu jenis tanaman.
Sejarah Masuknya Gandum di Indonesia
Masuknya komoditi biji-bijian gandum ke Indonesia sudah berlangsung jauh sebelum masa kemerdekaan. Para pedagang ataupun saudagar membawanya dari Timur Tengah, Afrika, dan Australia. Biji-bijian gandum dibutuhkan sebagai bahan baku pembuatan mie maupun menjadi bahan baku untuk makanan olahan. Paska kemerdekaan, biji-bijian gandum pun masih harus didatangkan dari luar negeri. Ketika itu paling banyak didatangkan dari Australia, karena lebih dekat dan lebih murah. Hanya saja, konsumsi biji-bijian gandum tidak sebanyak seperti sekarang ini. Beberapa kelompok masyarakat masih menggunakan bahan baku yang berasal dari singkong, talas, atau beras untuk bisa diolah menjadi tepung terigu.
Belum terdapat catatan sejarah yang menyebutkan orang Eropa membawa masuk gandum untuk ditanam di Nusantara. Belanda maupun Portugis sendiri tidak memaksakan atau mengharuskan orang bumi putera untuk harus menanamkan tanaman gandum. Tidak ada catatan sejarah pula yang menyebutkan apabila Nusantara kurang cocok untuk dibudidayakan tanaman gandum oleh Belanda maupun Portugis. Mungkin mereka beranggapan apabila kebutuhan gandum pada masa itu tidak sebesar seperti masa sekarang, sehingga belum dipandang perlu untuk dilakukan uji coba atau budidaya tanaman gandung di bumi Nusantara.
“Gandumisasi” mungkin lebih tepat untuk menyebutkan istilah lain dari masuknya politik gandum di Indonesia. Program tersebut dikenal melalui paket kerjasama ekonomi PL (public law) Nomor 480 atau dituliskan PL480. Kebijakan PL480 merupakan kebijakan pemerintah Amerika Serikat untuk memberikan bantuan pangan kepada negara-negara berkembang melalui berbagai pendekatan seperti lewat negara (“Government to Government” atau G to G), hibah (berupa humanitarian food needs), dan kredit konsesional.
Salah satu di antaranya yang cukup terkenal di masa itu adalah pemberian bantuan pangan dengan mengirimkan gandum ke negara-negara berkembang. Hal ini dilatarbelakangi adanya surplus besar-besaran produksi gandum di ladang-ladang Amerika sepanjang dekade 1960an hingga 1970an. Untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas harga gandum di Amerika, pihak pemerintah Amerika Serikat membeli kelebihan gandum tersebut untuk disimpan ke dalam lumbung milik negara. Gandum yang disimpan tadi digunakan sebagai bagian dari alat politik luar negeri di masa perang dingin yang sekaligus sebagai alat propaganda pangan.
PL480 di Indonesia secara resmi masuk ke Indonesia pada tahun 1969. Tujuannya untuk membantu pemerintah rezim Orba yang baru terbentuk (PELITA I) di bidang pangan. Bantuan pangan tersebut masuk ke dalam kategori program jangka panjang yang sekaligus menjadi satu bagian dari paket bantuan luar negeri berupa hibah. Apalagi pemerintah Indonesia ketika itu tengah mengalami kesulitan untuk mengembangkan program diversifikasi tanaman pangan. Harga beras ketika itu cukup tinggi di pasaran internasional, sehingga sangat berisiko apabila harus memprioritaskan impor beras.
Sayangnya, masuknya biji gandum dari hibah tersebut tidak diimbangi dengan upaya untuk terus melanjutkan pengembangan diversifikasi tanaman pangan. Hingga satu dekade ke depan, komoditi gandum justru menjadi komoditi pangan yang paling digemari (populer) nomor dua setelah beras. Ketika itu pula tidak dipikirkan kemungkinan untuk melakukan suatu percobaan budidaya di dalam negeri, sehingga masuknya biji gandum besar-besaran menyebabkan Indonesia berpotensi menjadi sangat tergantung dari impor di masa depan. Hal ini dikarenakan pula hibah gandum dari Amerika dianggap cukup membantu untuk mengurangi kebutuhan negara akan impor gandum yang didatangkan dari Australia.
Bantuan pangan melalui PL 480 setelah tahun 1969 bertujuan untuk membantu Indonesia
mengatasi permasalahan pangan. Seiring dengan berjalannya waktu, Amerika pun menghentikan hibah gandum ke Indonesia. Penghentian tersebut memang telah sesuai dengan kesepakatan yang tercantum di dalam PL 480. Untuk menutupi kebutuhan gandum di dalam negeri dilakukan dengan mengimpor gandum dari Australia maupun Amerika. Saat ini saja, hanya di dua negara itu produksi gandumnya dianggap masih bisa dikategorikan surplus, karena produksi gandum di negeri mereka mampu jauh melampaui konsumsi domestiknya.
Bogasari dan Monopoli Penggilingan Gandum
Kedatangan bantuan (hibah) gandum dari Amerika nampaknya dimanfaatkan oleh Soeharto untuk memperkuat oligarki kekuasaannya. Betapa tidak, PT Bogasari yang dimiliki oleh Sudono Salim (Liem Soe Liong) (almarhum) langsung ditunjuk untuk melakukan penggilingan gandum menjadi tepung terigu (Syahbanu dan Heroepoetri, 2012). Penunjukan tersebut tentunya tidak melalui suatu tender, sehingga Liem langsung mendapatkan hak monopoli atas penggilingan gandum di negeri ini hingga beberapa dekade.
Disebutkan dalam buku yang ditulis oleh Syahbanu dan Heroepoetri (2012) apabila Liem melalui PT Bogasari memperoleh keuntungan yang cukup besar dari hasil penguasaan atas tata niaga gandum di masa itu. Di satu sisi, gandum yang diolah tersebut merupakan bantuan dalam bentuk hibah, sehingga PT Bogasari tidak perlu melakukan pembelian atau mendatangkan gandum melalui mekanisme impor. Sementara itu, PT Bogasari mengutip ongkos penggilingan menjadi tepung terigu yang kabarnya 40 dolar lebih mahal daripada kilang-kilang gandum di negara lain di dunia.
Adapun komoditi tepung terigu yang dihasilkan dari penggilingan PT Bogasari dibutuhkan oleh banyak industri pengolahan makanan. Sebagian besar dibutuhkan untuk diolah menjadi mie instan (60%), untuk diolah menjadi roti dan kue (30%), dan sisanya sebesar 10% untuk pembuatan biskuit. Liem Soe Liong sendiri memasok ke dalam industri pengolahan makanan di bawah bendera Indofood untuk memproduksi mie instan. Indofood sendiri bisa dikatakan memonopoli produksi mie instan di Indonesia hingga lebih dari 3 dekade.
Dampak Masuknya Komoditi Biji Gandum
Komoditi gandung sebenarnya sudah masuk ke Indonesia di masa Soekarno melalui mekanisme impor. Program bantuan pangan melalui PL 480 pun sesungguhnya telah diperkenalkan di masa itu. Hanya saja, masuknya gandum ketika itu hanya untuk melengkapi konsumsi domestik, sehingga bukan menjadi bagian dari program ketahanan pangan nasional. Baru setelah tahun 1969 menjadi program utama untuk menjadi alternatif selain beras atau menjadi bagian dari program utama diversifikasi pangan nasional. Dampak yang akan dibahas di sini adalah dampak setelah gandum menjadi bagian dari program diversifikasi tanaman pangan setelah tahun 1969.
Dalam perkembangannya, hibah gandum dari Amerika melalui PL 480 tidak berlangsung lama. Tetapi dampaknya sudah cukup membuat orang Indonesia menjadi sangat tergantung dengan gandum. Pada tahun 1980, konsumsi per kapita gandum baru 8,1 kilogram per tahun. Namun, pada tahun 2010 sudah menjadi 21,2 kilogram per orang per tahun. Bahkan pada tahun 2050, jika laju konsumsi gandum terus dipertahankan seperti sekarang, konsumsi per kapita gandum di Indonesia akan menjadi 22,4 kilogram atau nyaris 2 kilo per orang per bulan. Ironisnya, melonjaknya kebutuhan akan gandum tidak diimbangi upaya serius untuk memproduksi dan sekaligus mengurangi ketergantungan akan impor gandum yang terus melonjak setiap tahunnya, bahkan menjadi preferensi (alternatif pilihan) kedua setelah beras.
Akibat dari semakin melonjaknya permintaan dan kebutuhan gandum di dalam negeri, Indonesia menjadi negara yang sangat tergantung dengan impor gandum. Diterimanya program PL 480 tanpa mempertimbangkan aspek keunggulan tanaman lokal membuat Indonesia tidak memiliki banyak pilihan, kecuali harus mengimpor setelah masa pengiriman hibah berakhir. Ketergantungan akan impor tentu saja tidak akan menguntungkan secara ekonomi, karena akan semakin menguras cadangan devisa dan sulit untuk dikendalikan.
Dampak yang paling strategis adalah semakin membuat tanaman lokal menjadi semakin sulit untuk bersaing memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebagaimana telah diketahui apabila tepung terigu bisa diciptakan bukan semata dari olahan biji-bijian gandum, melainkan masih bisa diperoleh dari olahan tapioka, maizena, sagu, singkong, ataupun talas. Tanaman-tanaman tersebut relatif lebih mudah tumbuh di seluruh pelosok negeri, sesuai dengan karakteristik keunggulan tanaman lokal. Dampak yang paling nyata dan terasa hingga sekarang ini, bahwa ketahanan pangan nasional menjadi sulit untuk diwujudkan, karena preferensinya telah dikalahkan oleh keberadaan gandum.
Mendominasinya gandum sebagai bahan dasar pembuatan tepung terigu menyebabkan bahan alternatif lain menjadi sulit berkembang. Keengganan untuk mengembangkan produksi tepung yang berasal dari maizena, tapioka, ataupun sagu dikarenakan tingginya biaya produksi, sehingga akan semakin sulit untuk bersaing dengan tepung terigu atau tepung yang berasal dari gandum. Sekalipun hibah gandum telah dihentikan, tetapi biaya impor gandum masih relatif lebih rendah dibandingkan apabila harus memproduksi tepung yang berasal bukan dari gandum. Jika pun ada jenis tepung non gandum yang lebih rendah harganya, selisihnya tidak terlalu besar. Permasalahanya, masyarakat sudah sangat terbiasa disuguhkan bahan baku atau produk makanan olahan yang berasal dari tepung terigu (gandum).
Produksi mie instan besar-besaran oleh Indofood dan distribusi tepung terigu oleh PT Bogasari tanpa disadari telah mengubah perilaku konsumsi masyarakat akan jenis tanaman pangan. Konsumsi mie instan senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya di mana gandum olahan untuk mie instan sendiri mencapai 60% dari total olahan gandum. Pergeseran pun mulai terlihat dari berkurangnya konsumsi beras ke konsumsi gandum yang berarti telah terjadi kecenderungan ketergantungan konsumsi pangan dari beras ke gandum. Tentu saja bukan sesuatu yang baik, karena selain akan semakin menguras cadangan devisa, pergeseran ke konsumsi gandum akan semakin menjauhkan dari keunggulan tanaman lokal yang dapat menggantikan gandum.
Suatu Jalan Tengah
Perlu dipahami bersama, apabila gandum seharusnya menjadi bagian dari preferensi sumber bahan makanan untuk karbohidrat, bukan menjadi seolah satu-satunya setelah beras. Gandum sudah masuk dan dimanfaatkan sejak lama, jauh sebelum masa kemerdekaan RI. Tetapi keberadaan gandum tidak berarti harus menyingkirkan atau meminggirkan peran dan potensi tanaman pangan lokal. Jumlah penduduk Indonesia masih jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah penduduk China, tetapi konsumsi gandum di Indonesia justru jauh melampaui konsumsi rata-rata masyarakat China. Tentu saja ini bukanlah sesuatu yang baik, sehingga diperlukan segera upaya mencari jalan tengah untuk mengurangi ketergantungan atas gandum.
Budidaya tanaman gandum boleh jadi perlu dipikirkan, tetapi bukan berarti prioritaskan. Percobaan budidaya gandum melalui benih yang diambil dari India pada tahun 2000 lalu ternyata tidak mampu untuk menjadikannya sebagai komoditi unggulan. Ini menunjukkan apabila keunggulan komparatif tanaman gandum masih relatif lebih rendah di mana ongkos produksinya akan lebih mahal apabila ditanam dan dikembangkan sebagai tanaman pangan nasional di Indonesia. Rencana ulang budidaya gandum dengan benih dari Slovakia oleh pemerintah di tahun 2014 harus dipikirkan kembali dampak dan manfaat strategisnya. Dalam arti kata, akan lebih baik mengembangkan tanaman pangan lokal yang relatif lebih mudah tumbuh dan memiliki potensi yang cukup baik untuk menjadi alternatif pilihan pemenuhan konsumsi tepung di dalam negeri. Jangan lupa, benih gandum tersebut harus didatang (impor) dari luar negeri, sehingga biaya untuk produksi tanaman gandum ini pun nantinya tidak murah.
Pada akhir dekade 1980an sebenarnya pernah dilakukan pengembangan produksi untuk tepung maizena (tepung jagung), tepung sagu, dan tepung singkong (tapioka). Sayangnya, pengembangan produksi tepung alternatif selain yang berasal dari gandum tersebut tidak digarap secara serius. Artinya, potensi pengganti gandum untuk pembuatan tepung cukup terbuka lebar menjadi kesempatan atau peluang untuk dikembangkan lebih lanjut. Di sinilah dibutuhkan desain kebijakan di bidang pertanian dan pangan untuk bisa mengembangkan budidaya tanaman-tanaman pangan pengganti gandum di sejumlah daerah. Manfaat ekonomi yang bisa diperoleh akan cukup besar, serta mampu secara bertahap akan mendorong kualitas kesejahteraan penduduk di daerah.
Sudah saatnya semua pihak, terutama perancang kebijakan pembangunan untuk membuka mata kembali tentang pentingnya upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Mengurangi ketergantungan atas tanaman gandum dan bahan olahannya tidak bisa dipandang sebagai kebijakan di bidang produksi tanaman pangan, melainkan harus menjadi satu kesatuan sikap nasional.Tidak sedikit orang Indonesia yang sudah terbiasa dengan cita rasa dari mie instan, tetapi perlu dipahami pula apabila mie instan pun bisa dikembangkan tidak semata dari gandum. Tidak sedikit pula di antara kita yang mungkin telah menikmati cukup lama cita rasa hidangan roti atau kue yang diolah dari tepung terigu. Tetapi perlu dipahami pula apabila sebagai bangsa yang memiliki potensi multi holtikultura memiliki peluang lebih besar untuk bisa memenuhi sendiri sumber karbohidrat yang bukan semata berasal dari tanaman gandum.
Waktu 40 tahun lamanya program ‘gandumisasi’ bukanlah waktu yang singkat, karena sudah dilintasi oleh lebih dari tiga generasi. Tentu saja akan butuh waktu yang tidak singkat pula untuk bisa mewujudkan upaya mengurangi ketergantungan terhadap tanaman gandum.
Dua puluh tahun yang lalu sebenarnya sudah diingatkan oleh berbagai kalangan pengamat ekonomi dan pakar pertanian, dan terus diperingatkan, tetapi sayangnya kita bangsa Indonesia lebih memilih untuk tenggelam menikmati cita rasa gandum. Tanpa disadari, ketergantungan tersebut jauh lebih buruk, ketimbang ketergantungan dari komoditi beras, karena 100% harus diimpor atau didatangkan dari luar negeri yang berarti menguras cadangan devisa. Kita sangat berharap suatu saat kelak akan bangkit industri-industri pengolahan makanan berupa tepung di berbagai daerah yang berasal dari pengembangan tanaman pangan lokal. Sebut saja sebagai upaya untuk mewujudkan nostalgia yang hilang akan tepung maizena, tepung tapioka, tepung sagu, tepung ketela, dan masih banyak lainnya untuk memperkaya cita rasa dan selera akan makanan di dalam negeri.
REFERENSI
Berita DetikFinance, Selasa, 12 Juni 2012 (10.37), "Laporan dari Slovakia: RI Pengimpor Gandum Terbesar Kedua di Dunia" (tautan berita).
Berita DetikFinance, Selasa, 12 Juni 2012 (10.37), Laporan dari Slovakia: Kurangi Impor, RI Produksi Gandum Secara Massal Mulai 2014 (tautan berita).
Syafputri, Ella, 2012, “Mencandu Gandum”, Artikel Online, Rabu, 25 Januari 2012 (tautan artikel).
Husodo, S.Y. Muchtadi, 2004, “Alternatif Solusi Permasalahan dalam Ketahanan Pangan”,
Makalah Pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII, Jakarta, 17-19 Mei 2004.
Suyastiri, Ni Made, 2008, “Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Pedesaan di Kecamatan Semin, Kabupaten Gunung Kidul”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume 13, Nomor 1 (51-60).
Syahbanu, Aditya dan Arimbi Heroepoetri, 2012, Sebulir Gandum, Segudang Derita, Penerbit Debt Watch, Jakarta.
leo4kusuma.blogspot.com
No comments:
Post a Comment