KPK akan panggil obligor penerima surat lunas BLBI
JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menyelidiki kasus penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Selain memeriksa sejumlah mantan menteri pengambil kebijakan kunci pada zaman pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, tidak tertutup kemungkinan KPK juga akan memanggil debitur BLBI yang mendapatkan surat keterangan lunas (SKL).
Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengungkapkan, penyelidikan ini bertujuan mengusut indikasi tindak pidana korupsi dalam penerbitan SKL tersebut. Hari ini (12/4), KPK meminta keterangan Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli, dan mantan Menteri Keuangan Bambang Subianto. Sebelumnya, KPK juga meminta keterangan mantan Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie.
Sekedar kilas balik, SKL dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 oleh Presiden Mengawati. Inti surat itu adalah pemberian jaminan kepastian hukum kepada obligor. Mereka yang mendapat surat lunas adalah debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya.
Inpres tersebut menyatakan, obligor BLBI dianggap telah menyelesaikan utang mereka, meskipun utang dilunasi hanya 30% dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) secara tunai dan 70% dibayar dalam bentuk sertifikat bukti hak kepada BPPN. Berdasarkan SKL itulah, Kejaksaan Agung menerbitkan surat perintah penghentian perkara (SP3) terhadap para obligor.
nasional.kontan.co.id
"Pertanyaan banyak sekali, umumnya ingin mengetahui proses penyerahan aset, apakah ada kejanggalan saat penyerahan aset BLBI," kata mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001, Rizal Ramli seusai diperiksa KPK Jakarta, Jumat (12/4).
Rizal yang menjadi menteri saat pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid tersebut memberikan keterangan untuk penyelidikan KPK mengenai kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam pemberian BLBI.
"Kami tidak pernah mengeluarkan SKL. SKL diberikan setelah kami, karena banyak (utang) yang belum lunas, banyak yang belum beres," ungkap Rizal.
Namun Rizal menolak untuk menyatakan siapa yang bertanggung jawab dalam pemberian SKL.
"Waduh, harus KPK yang memutuskan, jangan kita, Pak Kwik sebagai ketua Bappenas sama sekali tidak terlibat dan sama sekali tidak setuju dgn pemberian SKL," tambah Rizal.
Selain Rizal, KPK hari ini juga meminta keterangan mantan menteri keuangan 1998-1999 Bambang Subianto, namun Bambang tidak menyampaikan apapun kepada wartawan.
Mantan menko perekonomian 1999-2000 dan mantan kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie pada Selasa (2/4) juga dimintai keterangan oleh KPK terkait penyelidikan yang sama.
Juru Bicara KPK Johan Budi menyatakan bahwa KPK fokus untuk menyelesaikan dugaan korupsi terkait SKL.
"Ada sejumlah kasus BLBI dan ada beberapa penyelesaian BLBI, tapi ada debitur BLBI yang membayar utang ada melalui SKL, jadi KPK fokus pada terkait SKL," katanya.
KPK pada 2008 telah membentuk empat tim khusus untuk menyelesaikan kasus BLBI yang sebelumnya ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Salah satu tim bertugas untuk menangani perkara yang dihentikan kejaksaan karena telah menerima SKL, termasuk kasus Sjamsul Nursalim yaitu mantan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mempunyai utang sebesar Rp28,4 triliun.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan, nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp19,38 triliun dari Rp52,72 triliun yang harus dibayar.
Saat diperiksa di Kejaksaan pada 2007, Kwik mengatakan bahwa mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati yang mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Kwik mengaku dalam setiap rapat kabinet ia selalu memprotes rencana penerbitan SKL tapi kalah dengan meteri lain.
Alasannya menolak penerbitan SKL adalah karena ada campur tangan International Monetary Fund (IMF) terkait penyelesaian BLBI sehingga berdampak pada proses penjualan aset bekas pengutang BLBI yang tergesa-gesa, bahkan tanpa tender, misalnya, kejanggalan penjualan Bank BCA pada 2004.
Kwik mengatakan, penjualan BCA disebabkan Salim tidak mampu melunasi BLBI Rp53 triliun, BCA termasuk salah satu dari 108 aset Salim yang diserahkan yang saat dijual hanya laku Rp20 triliun karena proses penjualan BCA lebih banyak ditekan IMF.
Proses penjualan dilaksanakan tanpa tender dan calon pembeli BCA sudah ditunjuk yaitu lembaga keuangan Farallon dan Standard charter padahal selang tiga tahun kemudian aset BCA meningkat berkali-kali lipat.
Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara, namun baru 16 orang yang diproses ke pengadilan.
Dari 16 orang tersebut, tiga terdakwa dibebaskan pengadilan, 13 orang yang yang telah divonis hanya satu koruptor yang dijebloskan ke penjara, dua terdakwa lain tidak langsung masuk ke penjara dan sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri. [Ant/L-8]
www.suarapembaruan.com
"Kwik (Kian Gie) kan Kepala Bappenas sama sekali tidak terlibat dan sama sekali tidak setuju dengan pemberian SKL. Itu (yang bertanggungjawab) pejabat yang pada waktu itulah setelah saya," kata Rizal Ramli usai diperiksa di KPK, Jl Rasuna Said, Jakarta, Jumat (12/4/2013).
Rizal diperiksa penyidik KPK selama sembilan jam. Ia selesai diperiksa dan keluar dari gedung KPK pada pukul 19.00 WIB.
Rizal merupakan Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian pada saat pemerintahan almarhum Abdurrahman Wahid. Kemudian pada saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Menko Perekonomian dijabat Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Boediono selaku Menteri Keuangan.
Menurut Rizal, saat ia menjabat sebagai Menkeu maupun Menko Perekonomian di bawah pemerintahan Gus Dur, tidak pernah mengeluarkan SKL untuk kasus BLBI. Alasannya karena masih banyak pengutang yang belum melunasi utangnya.
"Karena kan banyak yang belum lunas, banyak juga yang belum beres," jelasnya.
Dalam pemeriksaan selama sembilan jam tersebut, Rizal ditanya mengenai apakah ada kejanggalan dalam penyerahan aset dan penyelesaian kasus BLBI.
detik.com
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi meminta keterangan mantan menteri koordinator perekonomian Kwik Kian Gie terkait dengan penyelidikan lanjutan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Pak Kwik sebagai ketua Bappenas sama sekali tidak terlibat dan sama sekali tidak setuju dgn pemberian SKL
[JAKARTA] Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri kejanggalan penyerahan aset sejumlah bank debitur yang menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)."Pertanyaan banyak sekali, umumnya ingin mengetahui proses penyerahan aset, apakah ada kejanggalan saat penyerahan aset BLBI," kata mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001, Rizal Ramli seusai diperiksa KPK Jakarta, Jumat (12/4).
Rizal yang menjadi menteri saat pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid tersebut memberikan keterangan untuk penyelidikan KPK mengenai kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) dalam pemberian BLBI.
"Kami tidak pernah mengeluarkan SKL. SKL diberikan setelah kami, karena banyak (utang) yang belum lunas, banyak yang belum beres," ungkap Rizal.
Namun Rizal menolak untuk menyatakan siapa yang bertanggung jawab dalam pemberian SKL.
"Waduh, harus KPK yang memutuskan, jangan kita, Pak Kwik sebagai ketua Bappenas sama sekali tidak terlibat dan sama sekali tidak setuju dgn pemberian SKL," tambah Rizal.
Selain Rizal, KPK hari ini juga meminta keterangan mantan menteri keuangan 1998-1999 Bambang Subianto, namun Bambang tidak menyampaikan apapun kepada wartawan.
Mantan menko perekonomian 1999-2000 dan mantan kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie pada Selasa (2/4) juga dimintai keterangan oleh KPK terkait penyelidikan yang sama.
Juru Bicara KPK Johan Budi menyatakan bahwa KPK fokus untuk menyelesaikan dugaan korupsi terkait SKL.
"Ada sejumlah kasus BLBI dan ada beberapa penyelesaian BLBI, tapi ada debitur BLBI yang membayar utang ada melalui SKL, jadi KPK fokus pada terkait SKL," katanya.
KPK pada 2008 telah membentuk empat tim khusus untuk menyelesaikan kasus BLBI yang sebelumnya ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Salah satu tim bertugas untuk menangani perkara yang dihentikan kejaksaan karena telah menerima SKL, termasuk kasus Sjamsul Nursalim yaitu mantan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mempunyai utang sebesar Rp28,4 triliun.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan, nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp19,38 triliun dari Rp52,72 triliun yang harus dibayar.
Saat diperiksa di Kejaksaan pada 2007, Kwik mengatakan bahwa mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati yang mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Kwik mengaku dalam setiap rapat kabinet ia selalu memprotes rencana penerbitan SKL tapi kalah dengan meteri lain.
Alasannya menolak penerbitan SKL adalah karena ada campur tangan International Monetary Fund (IMF) terkait penyelesaian BLBI sehingga berdampak pada proses penjualan aset bekas pengutang BLBI yang tergesa-gesa, bahkan tanpa tender, misalnya, kejanggalan penjualan Bank BCA pada 2004.
Kwik mengatakan, penjualan BCA disebabkan Salim tidak mampu melunasi BLBI Rp53 triliun, BCA termasuk salah satu dari 108 aset Salim yang diserahkan yang saat dijual hanya laku Rp20 triliun karena proses penjualan BCA lebih banyak ditekan IMF.
Proses penjualan dilaksanakan tanpa tender dan calon pembeli BCA sudah ditunjuk yaitu lembaga keuangan Farallon dan Standard charter padahal selang tiga tahun kemudian aset BCA meningkat berkali-kali lipat.
Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara, namun baru 16 orang yang diproses ke pengadilan.
Dari 16 orang tersebut, tiga terdakwa dibebaskan pengadilan, 13 orang yang yang telah divonis hanya satu koruptor yang dijebloskan ke penjara, dua terdakwa lain tidak langsung masuk ke penjara dan sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri. [Ant/L-8]
www.suarapembaruan.com
Rizal Ramli Sebut Penerbitan SKL BLBI Tanggung Jawab Pejabat Setelahnya
Jakarta - Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli memenuhi panggilan KPK untuk dimintai keterangan terkait penyelidikan kasus pemberian penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Rizal menyebut penerbitan SKL itu merupakan tanggung jawab pejabat setelah dia.
"Kwik (Kian Gie) kan Kepala Bappenas sama sekali tidak terlibat dan sama sekali tidak setuju dengan pemberian SKL. Itu (yang bertanggungjawab) pejabat yang pada waktu itulah setelah saya," kata Rizal Ramli usai diperiksa di KPK, Jl Rasuna Said, Jakarta, Jumat (12/4/2013).
Rizal diperiksa penyidik KPK selama sembilan jam. Ia selesai diperiksa dan keluar dari gedung KPK pada pukul 19.00 WIB.
Rizal merupakan Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian pada saat pemerintahan almarhum Abdurrahman Wahid. Kemudian pada saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Menko Perekonomian dijabat Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Boediono selaku Menteri Keuangan.
Menurut Rizal, saat ia menjabat sebagai Menkeu maupun Menko Perekonomian di bawah pemerintahan Gus Dur, tidak pernah mengeluarkan SKL untuk kasus BLBI. Alasannya karena masih banyak pengutang yang belum melunasi utangnya.
"Karena kan banyak yang belum lunas, banyak juga yang belum beres," jelasnya.
Dalam pemeriksaan selama sembilan jam tersebut, Rizal ditanya mengenai apakah ada kejanggalan dalam penyerahan aset dan penyelesaian kasus BLBI.
detik.com
Negara Rugi Rp138 Triliun
KPK Dalami Skandal Penerbitan SKL BLBI
JAKARTA-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengintensifkan penyelidikan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap sejumlah debitor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Terbitnya SKL tersebut diduga kuat tidak terlepas dari praktik korupsi yang merugikan negara sekitar Rp147 triliun.
Juru Bicara KPK Johan Budi menyatakan KPK tengah mendalami ada tidaknya tindak pidana korupsi atas terbitnya SKL terhadap para debitor. Karenanya siapa saja yang dinilai dapat membuat terang kasus akan dimintai keterangan.
“Hari ini ada permintaan keterangan atas Achiran Pandu Djajanto,” ujar Johan Budi di Jakarta, Senin (15/4).
Pekan lalu KPK telah meminta keterangan dari mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli.
Dia menegaskan Achiran Pandu Djajanto Komisaris Bank BNI. KPK meminta keterangan Achiran selaku Kabiro Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). BPPN merupakan lembaga yang mengeluarkan SKL terhadap debitor penerima dana BLBI setelah dilakukan penghitungan aset yang diserahkan ke BPPN.
Belakangan diketahui aset-aset yang diterima BPPN dari pada debitor BLBI ternyata banyak yang bodong. Bahkan tak sedikit yang sudah dijual ke pihak ke tiga.
Berdasarkan SKL dari BPPN, Kejaksaan Agung ketika dipimpin Jaksa Agung MA Rachman kemudian menerbitkan SP3 (surat peneghentian penyidikan perkara) terhadap 10 tersangka kasus BLBI pada 2004. Hasil audit BPK menyebutkan, dari Rp 147,7 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan merugikan negara.
Sebelumnya ketika KPK dipimpin Antasari Azhar, lembaga super body tersebut telah membentuk empat tim untuk mengusut dugaan korupsi penerbitan SKL. Tim pernah ke Kejakgung untuk menanyakan mengenai perkara BLBI yang ditangani bagian pidsus Kejakgung. Namun pengusutan terhadap terbitnya SKL hilang seiring dengan dijebliskannya Antasari ke penjara dalam kasus pembunuhan.
www.harianterbit.com
Nilai penjualan aset Salim Grup yang diserahkan ke BPPN utk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen dari total hutang 52.72 Trilyun (Yg belum dibayar 33.34 Trilyun)
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi meminta keterangan mantan menteri koordinator perekonomian Kwik Kian Gie terkait dengan penyelidikan lanjutan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
"Kwik Kian Gie dimintai keterangan terkait KPK melakukan penyelidikan dalam kaitan dengan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam lanjutan penyelesaian BLBI yaitu pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas)," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Selasa.
Usai dimintai keterangan oleh KPK selama sekitar 9 jam, Kwik tidak mengatakan mengenai alasannya dipanggil KPK.
"Undangannya rahasia dan pertanyaannya juga rahasia," kata Kwik.
KPK pada 2008 telah membentuk empat tim khusus untuk menyelesaikan kasus BLBI yang sebelumnya ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Salah satu tim bertugas untuk menangani perkara yang dihentikan kejaksaan karena telah menerima SKL, termasuk kasus Sjamsul Nursalim yaitu mantan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mempunyai utang sebesar Rp28,4 triliun.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan, nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp19,38 triliun dari Rp52,72 triliun yang harus dibayar.
Saat diperiksa di Kejaksaan pada 2007, Kwik mengatakan bahwa mekanisme penerbitan SKL Presiden Megawati berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjaradjakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Kwik mengaku dalam setiap rapat kabinet ia selalu memprotes rencana penerbitan SKL tapi kalah dengan meteri lain.
Alasannya menolak penerbitan SKL adalah karena ada campur tangan International Monetary Fund (IMF) terkait penyelesaian BLBI sehingga berdampak pada proses penjualan aset bekas pengutang BLBI yang tergesa-gesa, bahkan tanpa tender, misalnya, kejanggalan penjualan Bank BCA pada 2004.
Kwik mengatakan, penjualan BCA disebabkan Salim tidak mampu melunasi BLBI Rp53 triliun, BCA termasuk salah satu dari 108 aset Salim yang diserahkan yang saat dijual hanya laku Rp20 triliun karena proses penjualan BCA lebih banyak ditekan IMF.
Proses penjualan dilaksanakan tanpa tender dan calon pembeli BCA sudah ditunjuk yaitu lembaga keuangan Farallon dan Standard charter padahal selang tiga tahun kemudian aset BCA meningkat berkali-kali lipat.
Editor: Suryanto
Jangan
Tutupi Kerugian Negara Akibat Kejahatan BLBI
JAKARTA - Skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dinilai merupakan upaya melumpuhkan kedaulatan negara Indonesia yang dilakukan oleh oknum elemen masyarakat yang telah luntur nasionalismenya.
Sayangnya, pemerintah tidak segera mengungkap kejahatan perbankan yang telah menggerogoti APBN tersebut. Bahkan, pemerintah dinilai berupaya menutupi skandal itu dengan cara membuat laporan fiktif beban subsidi bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI sebesar 80,7 triliun rupiah dalam RAPBN 2013.
Hal tersebut sebenarnya bisa menjadi dasar bukti bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang adanya kerugian negara tiap tahun akibat skandal BLBI. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono, mengungkapkan hal itu kepada Koran Jakarta di Jakarta, Senin (22/4).
Menurut Sri Edi, skandal BLBI merupakan kasus kedaulatan negara yang sedang dimangsa atau suatu upaya pelumpuhan negara yang dilakukan oleh preman-preman ekonomi yang dibantu oleh DPR dan kalangan birokrat.
"Kejahatan BLBI itu suatu silent take-over dan pembiaran melalui para penegak hukum, wakil-wakil rakyat, teknokrat, dan birokrat yang luntur nasionalismenya sekaligus lengah budaya dan lengah iman," tegas dia.
Sri Edi juga mengungkapkan subsidi bunga obligasi rekap sebesar 80,7 triliun rupiah pada tahun anggaran 2013 secara fiktif disisipkan dalam pos anggaran pembayaran bunga surat utang negara.
"Ini bisa dilihat di halaman 4-108 nota keuangan RAPBN 2013 tabel 4.14 dan ada dua laporan keuangan. Ini akal-akalan pemerintah untuk menutupi skandal BLBI," papar dia. Sri Edi pun mengaku telah melaporkan ketidakberesan penyelesaian BLBI ke KPK.
"DPR juga sudah kita berikan laporan. Intinya, kita mendesak aparat hukum untuk tidak terpaku pada surat keterangan lunas (SKL) obligor BLBI. Mereka belum diadili, belum dihukum, kok sudah dibebaskan dari utang BLBI. Ini sangat bertentangan dengan sistem dan prinsip hukum Indonesia," katanya.
Profesor ekonomi itu kembali menegaskan kebijakan pemerintah memberikan obligasi rekap kepada perbankan jelas tidak benar. Menurut Sri Edi, UU jelas melarang pengalihan utang perbankan menjadi utang publik. Sangat tidak adil kalau utang konglomerat itu harus ditanggung oleh rakyat.
"Asal usul utang ini juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Saya mengatakan utang ini utang pura-pura. Seolaholah pemerintah berutang kepada bank. Apalagi , pembukuan utang ini tidak jelas, masuk ke mana balance-nya. Utang pura-pura, tetapi pemerintah dipaksa membayar bunga. Dan ini berlanjut hingga saat ini," ujar Sri Edi.
Sebelumnya, dikabarkan, skandal BLBI dan beban bunga obligasi rekap merupakan sumber utama dari segala masalah keuangan dan ekonomi negara. Untuk itu, hanya dengan menghentikan obligasi rekap masalah APBN bisa diperbaiki. "Membayar bunga obligasi rekap eks BLBI itu lebih baik dihentikan, kemudian dananya dipakai untuk program pembangunan yang prorakyat," kata pengamat ekonomi politik, Marwan Batubara.
Operasi Darurat
Senada dengan Marwan, Sri Edi pun mendesak pemerintah agar menyetop pembayaran bunga obligasi rekap. Menurut dia, pemerintah perlu meneliti kemungkinan melakukan operasi darurat, antara lain mengupayakan membekukan dana curian BLBI yang disembunyikan di perbankan luar negeri.
"Bila dana curian itu tidak dapat ditarik maka diatur agar dapat dibekukan. Jumlah uang yang sama dengan yang dibekukan itu akan membuka jalan bagi negara untuk dapat mencetak uang baru dalam jumlah yang sama," jelas dia.
Upaya lain, tambah Sri Edi, bank-bank penyandang obligasi rekap dilarang dijual dan yang telah telanjur terjual harus dibeli kembali seperti BCA. Dan, diusahakan dibeli kembali dengan harga yang sama tanpa kerugian pihak Pemerintah Indonesia. sah/lex/idr/WP
Jangan
Tutupi Kerugian Negara Akibat Kejahatan BLBI
JAKARTA - Skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dinilai merupakan upaya melumpuhkan kedaulatan negara Indonesia yang dilakukan oleh oknum elemen masyarakat yang telah luntur nasionalismenya.
Sayangnya, pemerintah tidak segera mengungkap kejahatan perbankan yang telah menggerogoti APBN tersebut. Bahkan, pemerintah dinilai berupaya menutupi skandal itu dengan cara membuat laporan fiktif beban subsidi bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI sebesar 80,7 triliun rupiah dalam RAPBN 2013.
Hal tersebut sebenarnya bisa menjadi dasar bukti bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang adanya kerugian negara tiap tahun akibat skandal BLBI. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono, mengungkapkan hal itu kepada Koran Jakarta di Jakarta, Senin (22/4).
Menurut Sri Edi, skandal BLBI merupakan kasus kedaulatan negara yang sedang dimangsa atau suatu upaya pelumpuhan negara yang dilakukan oleh preman-preman ekonomi yang dibantu oleh DPR dan kalangan birokrat.
"Kejahatan BLBI itu suatu silent take-over dan pembiaran melalui para penegak hukum, wakil-wakil rakyat, teknokrat, dan birokrat yang luntur nasionalismenya sekaligus lengah budaya dan lengah iman," tegas dia.
Sri Edi juga mengungkapkan subsidi bunga obligasi rekap sebesar 80,7 triliun rupiah pada tahun anggaran 2013 secara fiktif disisipkan dalam pos anggaran pembayaran bunga surat utang negara.
"Ini bisa dilihat di halaman 4-108 nota keuangan RAPBN 2013 tabel 4.14 dan ada dua laporan keuangan. Ini akal-akalan pemerintah untuk menutupi skandal BLBI," papar dia. Sri Edi pun mengaku telah melaporkan ketidakberesan penyelesaian BLBI ke KPK.
"DPR juga sudah kita berikan laporan. Intinya, kita mendesak aparat hukum untuk tidak terpaku pada surat keterangan lunas (SKL) obligor BLBI. Mereka belum diadili, belum dihukum, kok sudah dibebaskan dari utang BLBI. Ini sangat bertentangan dengan sistem dan prinsip hukum Indonesia," katanya.
Profesor ekonomi itu kembali menegaskan kebijakan pemerintah memberikan obligasi rekap kepada perbankan jelas tidak benar. Menurut Sri Edi, UU jelas melarang pengalihan utang perbankan menjadi utang publik. Sangat tidak adil kalau utang konglomerat itu harus ditanggung oleh rakyat.
Sebelumnya, dikabarkan, skandal BLBI dan beban bunga obligasi rekap merupakan sumber utama dari segala masalah keuangan dan ekonomi negara. Untuk itu, hanya dengan menghentikan obligasi rekap masalah APBN bisa diperbaiki. "Membayar bunga obligasi rekap eks BLBI itu lebih baik dihentikan, kemudian dananya dipakai untuk program pembangunan yang prorakyat," kata pengamat ekonomi politik, Marwan Batubara.
Operasi Darurat
Senada dengan Marwan, Sri Edi pun mendesak pemerintah agar menyetop pembayaran bunga obligasi rekap. Menurut dia, pemerintah perlu meneliti kemungkinan melakukan operasi darurat, antara lain mengupayakan membekukan dana curian BLBI yang disembunyikan di perbankan luar negeri.
"Bila dana curian itu tidak dapat ditarik maka diatur agar dapat dibekukan. Jumlah uang yang sama dengan yang dibekukan itu akan membuka jalan bagi negara untuk dapat mencetak uang baru dalam jumlah yang sama," jelas dia.
Upaya lain, tambah Sri Edi, bank-bank penyandang obligasi rekap dilarang dijual dan yang telah telanjur terjual harus dibeli kembali seperti BCA. Dan, diusahakan dibeli kembali dengan harga yang sama tanpa kerugian pihak Pemerintah Indonesia. sah/lex/idr/WP
No comments:
Post a Comment