TENTU tak pernah terbayang di benak pemerintah Orde Baru (Orba) kala itu, jika kampanye gemar makan terigu yang digiatkan sejak 1968, bakal berbuah runyam seperti saat ini. Memang, saat pertama kali digagas, sejumlah kalangan di era itu menyambut baik pelaksanaan program tersebut.
Sebab, kampanye makan terigu semata-mata ditujukan untuk mendorong peralihan pola konsumsi pangan masyarakat, yang masih didominasi oleh beras. Namun, alasan mengapa harus komoditas terigu yang dipilih dan bukanlah komoditas lain saja yang berbahan lokal, inilah yang ternyata menjadi sebab-musabab dimulainya kekerokan itu.
Di sisi kepentingan, tentu kita mafhum, apabila pemerintah waktu itu lebih merekomendasikan terigu sebagai pengganti beras dalam program diversifikasi pangan.
Pertama, memang jika dibandingkan beras, pasar terigu dunia lebih stabil. Alasan utama pemerintah kala itu memperkenalkan terigu sebagai pangan alternatif, juga demi kebijakan stabilisasi harga pangan dan ekonomi nasional. Indonesia di era 60-an, diakui masih kesulitan devisa.
Sementara, produksi padi belum sebanding dengan konsumsi, sehingga dibutuhkan importasi beras dalam jumlah besar. Di sisi lain, volume beras di perdagangan pasar dunia pun teramat tipis. Karenanya, untuk menghindari ketergantungan pada beras impor yang terlalu tinggi, Indonesia akhirnya memutuskan lebih baik mengimpor terigu atau gandum untuk mencapai tujuan stabilisasi pangan.
Sebab, harga gandum relatif stabil. Volume yang diperdagangkan di pasar dunia pun cukup banyak. Kontradiktif dengan beras yang harganya suka melambung dan pasokannya juga sangat terbatas. Sementara, fungsi beras dan terigu bisa saling menggantikan untuk kebutuhan pangan.
Kedua, pertimbangan pemerintah Orba lebih memilih terigu, tentu setelah terdapat jaminan jelas dari negara-negara pemasok komoditas tersebut. Amerika Serikat (AS) bisa disebut-sebut sebagai negara yang teramat berperan dalam mendorong kebijakan ini.
Waktu itu, negara paman sam itu memberikan secara cuma-cuma (grant) dan fasilitas pinjaman lunak kepada Indonesia untuk mengimpor gandum mereka, melalui insentif yang dinamai PL480. Pada akhir 1960-an, AS lantas memberikan dana konsensi untuk beli gandum dari AS (program PL 481 Title I) dengan bunga sangat ringan, dalam rangka membantu pemerintah Orba menyetabilkan kondisi pangan nasional.
Setelah pemberian fasilitas ini, pembelian komersial gandum AS di Indonesia melejit. Dari sebelumnya hanya 11 persen pada periode 1968/69-1972/73 yang sebesar 344 ribu ton per tahun menjadi 76 persen, atau mencapai 3,3 juta ton.
Di Indonesia sendiri, pada awal 1970-an mulai dibangunlah tiga pabrik pengolahan biji gandum. Sejak itulah impor gandum berkembang pesat. Pada periode 1973/74-1977/78 saja, total impor gandum mencapai 4,6 juta ton.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian (Deptan), Kaman Nainggolan mengungkapkan, semula masyarakat Indonesia sulit sekali menerima makanan yang berasal dari terigu. Namun, akibat kampanye yang terus diperluas dan diintensifkan bertahun-tahun, membuat mereka ahirnya mau mengonsumsi terigu.
“Waktu itu, terigu dijual dengan harga murah, sekitar 50 persen lebih rendah dari harga internasional. Tentu pemerintah menyubsidi. Inilah salah satu sebab, mengapa substitusi beras ke gandum cepat terealisir,” katanya.
Lantas, persoalannya kini adalah gandum yang semula cuma ditujukan sebagai program diversifikasi pangan semata, telah berubah fungsinya menjadi benar-benar makanan pokok. Masyarakat kita sekarang kecanduan makan roti atau mi instan setiap hari.
Padahal, semua produk makanan itu berasal dari terigu yang berbahan dasar gandum. Akibatnya, setiap tahun, Indonesia mengimpor sedikitnya 4,5 juta ton gandum atau menghabiskan devisa hingga Rp12,2 triliun.
Sedangkan, untuk terigu mencapai 3,5 juta ton terigu dengan nilai Rp98 triliun. Bahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, impor komoditas gandum Indonesia pada September 2006 mencatat rekor tertinggi, yakni melonjak 81,04 persen menjadi US$135,6 juta dari US$74,9 juta pada Agustus tahun ini. Kenaikan tersebut cukup tajam di atas US$50 juta.
Di sisi lain, pasar gandum dunia kini mulai terusik. Dengan harga gadum yang tinggi, karena pasoknya terbatas, harga terigu pun meningkat. Nasib gandum, telah menyusul beras. Tak stabil seperti yang diperkirakan semula. Pasokannya pun mulai terancam.
Terutama setelah setengah lahan pertanian Australia dilanda kekeringan, dengan kondisi terparah terjadi di bagian Western Australia dan Southern Australia yang justru merupakan wilayah penghasil gandum terbesar di negara itu.
Diperkirakan kekeringan tersebut akan menyebabkan hasil panen menurun menjadi hanya sekitar 40 persen dari jumlah panen yang diperkirakan atau hanya sekitar 11 juta ton dari 28 juta ton panen gandum pada masa yang sama di tahun yang lalu.
Lalu, dimanakah letak kemandirian pangan kita? Sebab, kemandirian pangan itu berarti usaha bangsa ini menyediakan minimum pangan per kapita dari hasil produksi dalam negeri untuk menghindari ketergantungan yang mungkin tidak mampu diperoleh melalui impor at any cost.
Tentu, andai saja sedari dulu pemerintah lebih memilih mengampanyekan masyarakatnya makan singkong, urusan kuras menguras devisa dan ketergantungan terhadap impor gandum atau terigu tak bakal terjadi. Indonesia mestinya mampu membangun industri pangan yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari produksi lokal, bukan food lose industri pangan, seperti industri terigu sekarang. Karena secara tidak langsung, kita telah terjebak memanen gandum di tengah lumbung singkong petani. Ketika gandum itu sendiri, susah dibudidayakan di lahan milik petani.
Sementara, produksi padi belum sebanding dengan konsumsi, sehingga dibutuhkan importasi beras dalam jumlah besar. Di sisi lain, volume beras di perdagangan pasar dunia pun teramat tipis. Karenanya, untuk menghindari ketergantungan pada beras impor yang terlalu tinggi, Indonesia akhirnya memutuskan lebih baik mengimpor terigu atau gandum untuk mencapai tujuan stabilisasi pangan.
Sebab, harga gandum relatif stabil. Volume yang diperdagangkan di pasar dunia pun cukup banyak. Kontradiktif dengan beras yang harganya suka melambung dan pasokannya juga sangat terbatas. Sementara, fungsi beras dan terigu bisa saling menggantikan untuk kebutuhan pangan.
Kedua, pertimbangan pemerintah Orba lebih memilih terigu, tentu setelah terdapat jaminan jelas dari negara-negara pemasok komoditas tersebut. Amerika Serikat (AS) bisa disebut-sebut sebagai negara yang teramat berperan dalam mendorong kebijakan ini.
Waktu itu, negara paman sam itu memberikan secara cuma-cuma (grant) dan fasilitas pinjaman lunak kepada Indonesia untuk mengimpor gandum mereka, melalui insentif yang dinamai PL480. Pada akhir 1960-an, AS lantas memberikan dana konsensi untuk beli gandum dari AS (program PL 481 Title I) dengan bunga sangat ringan, dalam rangka membantu pemerintah Orba menyetabilkan kondisi pangan nasional.
Setelah pemberian fasilitas ini, pembelian komersial gandum AS di Indonesia melejit. Dari sebelumnya hanya 11 persen pada periode 1968/69-1972/73 yang sebesar 344 ribu ton per tahun menjadi 76 persen, atau mencapai 3,3 juta ton.
Di Indonesia sendiri, pada awal 1970-an mulai dibangunlah tiga pabrik pengolahan biji gandum. Sejak itulah impor gandum berkembang pesat. Pada periode 1973/74-1977/78 saja, total impor gandum mencapai 4,6 juta ton.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian (Deptan), Kaman Nainggolan mengungkapkan, semula masyarakat Indonesia sulit sekali menerima makanan yang berasal dari terigu. Namun, akibat kampanye yang terus diperluas dan diintensifkan bertahun-tahun, membuat mereka ahirnya mau mengonsumsi terigu.
“Waktu itu, terigu dijual dengan harga murah, sekitar 50 persen lebih rendah dari harga internasional. Tentu pemerintah menyubsidi. Inilah salah satu sebab, mengapa substitusi beras ke gandum cepat terealisir,” katanya.
Lantas, persoalannya kini adalah gandum yang semula cuma ditujukan sebagai program diversifikasi pangan semata, telah berubah fungsinya menjadi benar-benar makanan pokok. Masyarakat kita sekarang kecanduan makan roti atau mi instan setiap hari.
Padahal, semua produk makanan itu berasal dari terigu yang berbahan dasar gandum. Akibatnya, setiap tahun, Indonesia mengimpor sedikitnya 4,5 juta ton gandum atau menghabiskan devisa hingga Rp12,2 triliun.
Sedangkan, untuk terigu mencapai 3,5 juta ton terigu dengan nilai Rp98 triliun. Bahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, impor komoditas gandum Indonesia pada September 2006 mencatat rekor tertinggi, yakni melonjak 81,04 persen menjadi US$135,6 juta dari US$74,9 juta pada Agustus tahun ini. Kenaikan tersebut cukup tajam di atas US$50 juta.
Di sisi lain, pasar gandum dunia kini mulai terusik. Dengan harga gadum yang tinggi, karena pasoknya terbatas, harga terigu pun meningkat. Nasib gandum, telah menyusul beras. Tak stabil seperti yang diperkirakan semula. Pasokannya pun mulai terancam.
Terutama setelah setengah lahan pertanian Australia dilanda kekeringan, dengan kondisi terparah terjadi di bagian Western Australia dan Southern Australia yang justru merupakan wilayah penghasil gandum terbesar di negara itu.
Diperkirakan kekeringan tersebut akan menyebabkan hasil panen menurun menjadi hanya sekitar 40 persen dari jumlah panen yang diperkirakan atau hanya sekitar 11 juta ton dari 28 juta ton panen gandum pada masa yang sama di tahun yang lalu.
Lalu, dimanakah letak kemandirian pangan kita? Sebab, kemandirian pangan itu berarti usaha bangsa ini menyediakan minimum pangan per kapita dari hasil produksi dalam negeri untuk menghindari ketergantungan yang mungkin tidak mampu diperoleh melalui impor at any cost.
Tentu, andai saja sedari dulu pemerintah lebih memilih mengampanyekan masyarakatnya makan singkong, urusan kuras menguras devisa dan ketergantungan terhadap impor gandum atau terigu tak bakal terjadi. Indonesia mestinya mampu membangun industri pangan yang sebagian besar bahan bakunya berasal dari produksi lokal, bukan food lose industri pangan, seperti industri terigu sekarang. Karena secara tidak langsung, kita telah terjebak memanen gandum di tengah lumbung singkong petani. Ketika gandum itu sendiri, susah dibudidayakan di lahan milik petani.
No comments:
Post a Comment