JAKARTA
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kesempatan emas untuk memperbaiki
nasib bangsa Indonesia jika berhasil menuntaskan kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI). Penuntasan
kasus BLBI bukan sekadar membongkar kasus, namun mengubah nasib Indonesia
menjadi tidak terjerat dengan pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi
perbankan itu.
Apabila tidak memiliki skandal BLBI, utang pemerintah tidak akan mencapai 2.000 triliun rupiah saat ini sehingga Indonesia berpeluang tumbuh menjadi negara hebat.
"KPK bisa menentukan masa depan bangsa Indonesia jika mampu menuntaskan kasus BLBI. Keberhasilan KPK itu sangat bersejarah, apalagi bangsa Indonesia sudah terjerat utang akibat obligasi rekap eks BLBI," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, di Jakarta, Kamis (18/4).
Untuk itu, Emerson mendesak KPK untuk mengejar para pengemplang BLBI. Sebab, patut diduga uang hasil korupsi BLBI menjadi sumber korupsi baru. "Indonesia akan menjadi negara yang hebat jika mampu menuntaskan sumber segala sumber korupsi, yakni kasus BLBI," ungkap dia.
Pemimpin KPK yang hanya memiliki waktu 4–5 tahun menjalankan amanat rakyat dalam pemberantasan korupsi semestinya sepakat untuk fokus mengungkap kasus korupsi BLBI. Utang yang tidak pernah lunas wajib ditagih dan tidak mungkin dihapus. Di Indonesia, tidak ada pihak yang bisa menghapuskan perkara pidana selain grasi. Presiden pun baru bisa memberikan grasi setelah ada vonis bersalah.
Sementara itu, puluhan aktivis dari Himpunan Masyarakat untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) berunjuk rasa mendesak KPK menuntaskan kasus penerbitan surat keterangan lunas (SKL) untuk obligor BLBI.
Humanika menilai SKL yang diterbitkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) era Syafruddin Arsyad Temenggung tidak sah dan cacat hukum.
"Kami tegaskan bahwa SKL tidak sah karena Salim dan kawan-kawan belum melunasi utang-utangnya. Mereka harus segera ditangkap dan dijebloskan ke penjara," ujar Sobarul Fajar, Koordinator Presidium Humanika.
Menurut Fajar, megakorupsi BLBI sangat membebani rakyat Indonesia sebab setiap tahun APBN harus membayar bunga obligasi rekap sedikitnya 60 triliun rupiah hingga surat utang itu jatuh tempo 2043 (setelah diperpanjang 10 tahun).
Hemat Anggaran
Penuntasan skandal BLBI diyakini menjadi titik balik yang sangat menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Utang BLBI dinilai sebagai biang membengkaknya utang negara hingga empat kali lipat sejak 1998 menjadi 2.000 triliun rupiah.
Karena itu, pemerintah didesak menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap yang harus ditanggung dari pajak rakyat sekitar 60 triliun rupiah setiap tahun daripada harus menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang hanya menghemat anggaran sekitar 21 triliun rupiah.
Seperti diketahui, pemerintah berencana menaikkan harga BBM jenis premium dari 4.500 menjadi 6.000 per liter. Tujuannya, untuk menghemat anggaran subsidi 21 triliun rupiah. Meski begitu, pemerintah tidak bisa menyangkal jika kenaikan harga BBM akan menyeret kenaikan harga barang dan jasa, sementara nilai rupiah masih tetap.
Lebih memprihatinkan lagi apabila kenaikan inflasi itu melebihi suku bunga neto (setelah dipotong pajak) deposito. Rata-rata bunga deposito satu tahun di Tanah Air sebelum pajak maksimal adalah enam persen. Hal itu berarti inflasi yang melebihi bunga deposito ditambah dengan pelemahan kurs rupiah telah membuat deposan rugi.
"Inilah yang menyebabkan pemilik dana mengalihkan investasinya ke properti. Persoalannya kemudian, harga properti tidak riil sehingga berpotensi terjadinya bubble. Jika ini terakumulasi maka tidak menutup kemungkinan bisa meletus menjadi krisis ekonomi," kata pengamat perbankan dari Universitas Airlangga Surabaya, Tjuk K Sukiadi. idr/eko/lex/WP
Apabila tidak memiliki skandal BLBI, utang pemerintah tidak akan mencapai 2.000 triliun rupiah saat ini sehingga Indonesia berpeluang tumbuh menjadi negara hebat.
"KPK bisa menentukan masa depan bangsa Indonesia jika mampu menuntaskan kasus BLBI. Keberhasilan KPK itu sangat bersejarah, apalagi bangsa Indonesia sudah terjerat utang akibat obligasi rekap eks BLBI," kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, di Jakarta, Kamis (18/4).
Untuk itu, Emerson mendesak KPK untuk mengejar para pengemplang BLBI. Sebab, patut diduga uang hasil korupsi BLBI menjadi sumber korupsi baru. "Indonesia akan menjadi negara yang hebat jika mampu menuntaskan sumber segala sumber korupsi, yakni kasus BLBI," ungkap dia.
Pemimpin KPK yang hanya memiliki waktu 4–5 tahun menjalankan amanat rakyat dalam pemberantasan korupsi semestinya sepakat untuk fokus mengungkap kasus korupsi BLBI. Utang yang tidak pernah lunas wajib ditagih dan tidak mungkin dihapus. Di Indonesia, tidak ada pihak yang bisa menghapuskan perkara pidana selain grasi. Presiden pun baru bisa memberikan grasi setelah ada vonis bersalah.
Sementara itu, puluhan aktivis dari Himpunan Masyarakat untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) berunjuk rasa mendesak KPK menuntaskan kasus penerbitan surat keterangan lunas (SKL) untuk obligor BLBI.
Humanika menilai SKL yang diterbitkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) era Syafruddin Arsyad Temenggung tidak sah dan cacat hukum.
"Kami tegaskan bahwa SKL tidak sah karena Salim dan kawan-kawan belum melunasi utang-utangnya. Mereka harus segera ditangkap dan dijebloskan ke penjara," ujar Sobarul Fajar, Koordinator Presidium Humanika.
Menurut Fajar, megakorupsi BLBI sangat membebani rakyat Indonesia sebab setiap tahun APBN harus membayar bunga obligasi rekap sedikitnya 60 triliun rupiah hingga surat utang itu jatuh tempo 2043 (setelah diperpanjang 10 tahun).
Hemat Anggaran
Penuntasan skandal BLBI diyakini menjadi titik balik yang sangat menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Utang BLBI dinilai sebagai biang membengkaknya utang negara hingga empat kali lipat sejak 1998 menjadi 2.000 triliun rupiah.
Karena itu, pemerintah didesak menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap yang harus ditanggung dari pajak rakyat sekitar 60 triliun rupiah setiap tahun daripada harus menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) yang hanya menghemat anggaran sekitar 21 triliun rupiah.
Seperti diketahui, pemerintah berencana menaikkan harga BBM jenis premium dari 4.500 menjadi 6.000 per liter. Tujuannya, untuk menghemat anggaran subsidi 21 triliun rupiah. Meski begitu, pemerintah tidak bisa menyangkal jika kenaikan harga BBM akan menyeret kenaikan harga barang dan jasa, sementara nilai rupiah masih tetap.
Lebih memprihatinkan lagi apabila kenaikan inflasi itu melebihi suku bunga neto (setelah dipotong pajak) deposito. Rata-rata bunga deposito satu tahun di Tanah Air sebelum pajak maksimal adalah enam persen. Hal itu berarti inflasi yang melebihi bunga deposito ditambah dengan pelemahan kurs rupiah telah membuat deposan rugi.
"Inilah yang menyebabkan pemilik dana mengalihkan investasinya ke properti. Persoalannya kemudian, harga properti tidak riil sehingga berpotensi terjadinya bubble. Jika ini terakumulasi maka tidak menutup kemungkinan bisa meletus menjadi krisis ekonomi," kata pengamat perbankan dari Universitas Airlangga Surabaya, Tjuk K Sukiadi. idr/eko/lex/WP
No comments:
Post a Comment