JAKARTA - Skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
dinilai merupakan upaya melumpuhkan kedaulatan negara Indonesia yang dilakukan
oleh oknum elemen masyarakat yang telah luntur nasionalismenya.
Sayangnya, pemerintah tidak segera mengungkap kejahatan perbankan yang telah menggerogoti APBN tersebut. Bahkan, pemerintah dinilai berupaya menutupi skandal itu dengan cara membuat laporan fiktif beban subsidi bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI sebesar 80,7 triliun rupiah dalam RAPBN 2013.
Hal tersebut sebenarnya bisa menjadi dasar bukti bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang adanya kerugian negara tiap tahun akibat skandal BLBI. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono, mengungkapkan hal itu kepada Koran Jakarta di Jakarta, Senin (22/4).
Menurut Sri Edi, skandal BLBI merupakan kasus kedaulatan negara yang sedang dimangsa atau suatu upaya pelumpuhan negara yang dilakukan oleh preman-preman ekonomi yang dibantu oleh DPR dan kalangan birokrat.
"Kejahatan BLBI itu suatu silent take-over dan pembiaran melalui para penegak hukum, wakil-wakil rakyat, teknokrat, dan birokrat yang luntur nasionalismenya sekaligus lengah budaya dan lengah iman," tegas dia.
Sri Edi juga mengungkapkan subsidi bunga obligasi rekap sebesar 80,7 triliun rupiah pada tahun anggaran 2013 secara fiktif disisipkan dalam pos anggaran pembayaran bunga surat utang negara.
"Ini bisa dilihat di halaman 4-108 nota keuangan RAPBN 2013 tabel 4.14 dan ada dua laporan keuangan. Ini akal-akalan pemerintah untuk menutupi skandal BLBI," papar dia. Sri Edi pun mengaku telah melaporkan ketidakberesan penyelesaian BLBI ke KPK.
"DPR juga sudah kita berikan laporan. Intinya, kita mendesak aparat hukum untuk tidak terpaku pada surat keterangan lunas (SKL) obligor BLBI. Mereka belum diadili, belum dihukum, kok sudah dibebaskan dari utang BLBI. Ini sangat bertentangan dengan sistem dan prinsip hukum Indonesia," katanya.
Profesor ekonomi itu kembali menegaskan kebijakan pemerintah memberikan obligasi rekap kepada perbankan jelas tidak benar. Menurut Sri Edi, UU jelas melarang pengalihan utang perbankan menjadi utang publik. Sangat tidak adil kalau utang konglomerat itu harus ditanggung oleh rakyat.
"Asal usul utang ini juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Saya mengatakan utang ini utang pura-pura. Seolaholah pemerintah berutang kepada bank. Apalagi , pembukuan utang ini tidak jelas, masuk ke mana balance-nya. Utang pura-pura, tetapi pemerintah dipaksa membayar bunga. Dan ini berlanjut hingga saat ini," ujar Sri Edi.
Sebelumnya, dikabarkan, skandal BLBI dan beban bunga obligasi rekap merupakan sumber utama dari segala masalah keuangan dan ekonomi negara. Untuk itu, hanya dengan menghentikan obligasi rekap masalah APBN bisa diperbaiki. "Membayar bunga obligasi rekap eks BLBI itu lebih baik dihentikan, kemudian dananya dipakai untuk program pembangunan yang prorakyat," kata pengamat ekonomi politik, Marwan Batubara.
Operasi Darurat
Senada dengan Marwan, Sri Edi pun mendesak pemerintah agar menyetop pembayaran bunga obligasi rekap. Menurut dia, pemerintah perlu meneliti kemungkinan melakukan operasi darurat, antara lain mengupayakan membekukan dana curian BLBI yang disembunyikan di perbankan luar negeri.
"Bila dana curian itu tidak dapat ditarik maka diatur agar dapat dibekukan. Jumlah uang yang sama dengan yang dibekukan itu akan membuka jalan bagi negara untuk dapat mencetak uang baru dalam jumlah yang sama," jelas dia.
Upaya lain, tambah Sri Edi, bank-bank penyandang obligasi rekap dilarang dijual dan yang telah telanjur terjual harus dibeli kembali seperti BCA. Dan, diusahakan dibeli kembali dengan harga yang sama tanpa kerugian pihak Pemerintah Indonesia. sah/lex/idr/WP
Sayangnya, pemerintah tidak segera mengungkap kejahatan perbankan yang telah menggerogoti APBN tersebut. Bahkan, pemerintah dinilai berupaya menutupi skandal itu dengan cara membuat laporan fiktif beban subsidi bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI sebesar 80,7 triliun rupiah dalam RAPBN 2013.
Hal tersebut sebenarnya bisa menjadi dasar bukti bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang adanya kerugian negara tiap tahun akibat skandal BLBI. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono, mengungkapkan hal itu kepada Koran Jakarta di Jakarta, Senin (22/4).
Menurut Sri Edi, skandal BLBI merupakan kasus kedaulatan negara yang sedang dimangsa atau suatu upaya pelumpuhan negara yang dilakukan oleh preman-preman ekonomi yang dibantu oleh DPR dan kalangan birokrat.
"Kejahatan BLBI itu suatu silent take-over dan pembiaran melalui para penegak hukum, wakil-wakil rakyat, teknokrat, dan birokrat yang luntur nasionalismenya sekaligus lengah budaya dan lengah iman," tegas dia.
Sri Edi juga mengungkapkan subsidi bunga obligasi rekap sebesar 80,7 triliun rupiah pada tahun anggaran 2013 secara fiktif disisipkan dalam pos anggaran pembayaran bunga surat utang negara.
"Ini bisa dilihat di halaman 4-108 nota keuangan RAPBN 2013 tabel 4.14 dan ada dua laporan keuangan. Ini akal-akalan pemerintah untuk menutupi skandal BLBI," papar dia. Sri Edi pun mengaku telah melaporkan ketidakberesan penyelesaian BLBI ke KPK.
"DPR juga sudah kita berikan laporan. Intinya, kita mendesak aparat hukum untuk tidak terpaku pada surat keterangan lunas (SKL) obligor BLBI. Mereka belum diadili, belum dihukum, kok sudah dibebaskan dari utang BLBI. Ini sangat bertentangan dengan sistem dan prinsip hukum Indonesia," katanya.
Profesor ekonomi itu kembali menegaskan kebijakan pemerintah memberikan obligasi rekap kepada perbankan jelas tidak benar. Menurut Sri Edi, UU jelas melarang pengalihan utang perbankan menjadi utang publik. Sangat tidak adil kalau utang konglomerat itu harus ditanggung oleh rakyat.
"Asal usul utang ini juga tidak bisa dipertanggungjawabkan. Saya mengatakan utang ini utang pura-pura. Seolaholah pemerintah berutang kepada bank. Apalagi , pembukuan utang ini tidak jelas, masuk ke mana balance-nya. Utang pura-pura, tetapi pemerintah dipaksa membayar bunga. Dan ini berlanjut hingga saat ini," ujar Sri Edi.
Sebelumnya, dikabarkan, skandal BLBI dan beban bunga obligasi rekap merupakan sumber utama dari segala masalah keuangan dan ekonomi negara. Untuk itu, hanya dengan menghentikan obligasi rekap masalah APBN bisa diperbaiki. "Membayar bunga obligasi rekap eks BLBI itu lebih baik dihentikan, kemudian dananya dipakai untuk program pembangunan yang prorakyat," kata pengamat ekonomi politik, Marwan Batubara.
Operasi Darurat
Senada dengan Marwan, Sri Edi pun mendesak pemerintah agar menyetop pembayaran bunga obligasi rekap. Menurut dia, pemerintah perlu meneliti kemungkinan melakukan operasi darurat, antara lain mengupayakan membekukan dana curian BLBI yang disembunyikan di perbankan luar negeri.
"Bila dana curian itu tidak dapat ditarik maka diatur agar dapat dibekukan. Jumlah uang yang sama dengan yang dibekukan itu akan membuka jalan bagi negara untuk dapat mencetak uang baru dalam jumlah yang sama," jelas dia.
Upaya lain, tambah Sri Edi, bank-bank penyandang obligasi rekap dilarang dijual dan yang telah telanjur terjual harus dibeli kembali seperti BCA. Dan, diusahakan dibeli kembali dengan harga yang sama tanpa kerugian pihak Pemerintah Indonesia. sah/lex/idr/WP
No comments:
Post a Comment