JAKARTA - Pemerintah diminta melakukan moratorium atau penghentian sementara pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan sekitar 70 triliun rupiah. Selanjutnya, dana itu digunakan untuk fasilitas keringanan harga atau dikenal sebagai subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Selain itu, dana tersebut dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur pertanian, kemandirian pangan dan keamanan pangan serta pengembangan bahan bakar nabati (BBN) yang berkelanjutan sebagai energi alternatf. Moratorium tersebut perlu dilakukan, pasalnya bunga obligasi rekap sejatinya merupakan subsidi pemerintah kepada bank pemegang surat utang itu.
Bahkan, obligasi itu sudah banyak yang berpindah tangan, termasuk ke pihak luar. Sebaliknya, subsidi BBM akan dinikmati oleh 240 juta rakyat Indonesia. "Itu salah satu opsi jalan keluar karena dengan obligasi rekap yang nilainya 650 triliun rupiah, pemerintah mesti bayar cicilan bunga lebih-kurang 70 triliun rupiah. Kita tahu cicilan itu yang menikmati adalah para obligor yang sekarang mungkin sudah pada bangkit kembali usahanya," kata Arif Budimanta, anggota Komisi XI DPR, kepada Koran Jakarta, Senin (19/3).
Seperti diketahui, kini, bank pemegang obligasi rekap seakanakan menikmati subsidi berupa bunga obligasi hingga jatuh tempo pada 2033. Dengan kata lain, pemerintah lebih memilih melanggengkan subsidi bank-bank pemegang obligasi rekap yang kebanyakan sudah berpindah kepemilikannya ke pihak asing.
Menurut Arif, alangkah eloknya jika pemerintah melakukan moratorium utang tidak produktif tersebut kemudian mengalihkan cicilan bunga obligasi rekap senilai 70 triliun rupiah tersebut untuk subsidi BBM yang dinikmati jutaan rakyat dibandingkan bunga obligasi rekap yang hanya dinikmati segelintir bank, bahkan milik asing.
Sebelumnya, pemerintah menyatakan tanpa kenaikan harga BBM sebesar 1.500 rupiah per liter, anggaran subsidi BBM pada 2012 akan mencapai 178 triliun rupiah. Dengan kenaikan harga premium dan solar, nilai subsidi menjadi 137 triliun rupiah.
Angka subsidi BBM dalam APBN Perubahan 2012 itu nilainya hampir setara dengan kewajiban pembayaran utang pemerintah sekitar 170 triliun rupiah. Tahun ini, pemerintah masih menargetkan utang bruto kira-kira 300 triliun rupiah yang akan dialokasikan untuk pembayaran utang jatuh tempo atau refinancing sekitar setengahnya.
Separo sisanya untuk membayar bunga utang, termasuk bunga obligasi rekap. Mengenai posisi penerimaan negara, Arif menambahkan sebenarnya pemerintah masih punya celah fiskal tambahan penerimaan 59 triliun rupiah dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak Perdagangan Internasional.
Semua angka tersebut sudah lebih dari cukup untuk menalangi kebutuhan subsidi yang 55 triliun rupiah. "Kalau pemerintah cinta dan sayang dengan rakyat, inilah saatnya untuk berbuat lebih baik untuk menjaga keselamatan rakyat dan menjadikan APBN sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat konstitusi," pungkas Arif.
Kejar Obligor
Pemerintah sebenarnya juga bisa menambah pemasukan jika lebih serius mengejar kekurangan bayar obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Seperti diketahui, nilai aset yang diserahkan oleh bank rekap hanya sekitar 19,8 persen dari total kewajibannya.
Oleh karena itu, anggota Komisi III DPR, Akbar Faisal, mendukung langkah pemerintah melakukan moratorium bunga obligasi rekap untuk subsidi BBM dan mengejar kekurangan bayar tersebut. "Lagi pula, buat apa kita mengaku-ngaku memunyai debt to service ratio (rasio utang terhadap PDB) yang turun tapi dalam kenyataannya kita harus membayar utang pokok dan cicilan untuk utang yang tidak produktif," katanya.
Menurut Akbar, ada hal yang perlu dipahami secara mendalam, yakni pemerintah perlu mengarahkan anggarannya dengan baik. Efisiensi APBN harus dilakukan dengan meningkatkan fungsionalitas program kerja tanpa perlu membuang anggaran. lex/ran/WP
koran-jakarta.com
No comments:
Post a Comment