JAKARTA
– Pemerintah melalui menteri keuangan sebenarnya masih memegang jaminan pribadi
atau personal guarantee dari debitor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Akan tetapi, hak tagih dari sisasisa utang itu hingga kini tidak pernah dilaksanakan sehingga utang tersebut menjadi beban negara di APBN atau sama saja menjadi tanggungan pajak kepada rakyat yang tidak bersalah. Padahal, pelaksanaan hak tagih itu bisa menjadi sumber penerimaan negara sehingga bisa meringankan beban APBN yang telah menderita defi sit keseimbangan primer sehingga penerimaan negara tidak mampu menutup pengeluaran rutin di luar kewajiban utang.
Pengamat perbankan, Achmad Iskandar, mengemukakan hal itu di Jakarta, Kamis (16/5). Iskandar menjelaskan hasil audit BPK pada 1999-2006 dan MSAA (Master of Settlement And Acquisition Agreement) serta MRNIA (Master of Refi nancing And Note Issuance Agreement) menyatakan utang BLBI adalah utang pribadi atau perorangan pemilik bank rekap. Pasalnya, dana BLBI yang diterima telah diambil oleh pribadi pemilik bank sehingga, sesuai UU Perbankan, merupakan tindak pidana pelanggaran batas maksimal pemberian kredit (BMPK).
"Utang BLBI adalah utang pribadi atau perorangan bukan utang perseroan terbatas atau perusahaan, maka pertanggungjawaban hukumnya adalah perorangan," tegas dia. Iskandar menambahkan penyebab utama membengkaknya utang Indonesia hingga menembus 2.188 triliun rupiah, saat ini, adalah utang BLBI atau utang orang-orang kaya raya. "Sungguh menyedihkan, negara jelas-jelas memiliki hak tagih di tangan Menkeu, tapi tidak dimanfaatkan. Padahal, akibat pengabaian itu menimbulkan dampak berantai yang merugikan negara, menyusahkan rakyat kecil, dan menyandera bangsa dengan utang segelintir obligor pengemplang BLBI," ungkap dia.
Sebelumnya, ekonom Indef, Sri Hartati, mengemukakan bertambahnya anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) berikut kompensasi kebijakan kenaikan harga BBM sekitar 51,5 triliun rupiah membuat pemerintah menambah rencana penarikan utang baru dari 161,5 triliun rupiah menjadi 213 triliun rupiah, tahun ini. Akibatnya, utang pemerintah kian membengkak dan menembus 2.188 triliun rupiah pada 2013.
Strategi pemerintah memenuhi kebutuhan subsidi dengan menambah utang baru dinilai tidak akan menciptakan nilai tambah. Bahkan, kapasitas APBN untuk menyejahterakan rakyat akan semakin terbatas karena tergerus kewajiban pembayaran utang yang kian bertambah. Ini berarti fungsi stimulus fi skal yang diperankan APBN tidak berjalan optimal. "Ketika kita terus bergantung ke utang artinya stimulus fi skal jadi rendah makanya sektor riil tidak berkembang. Secara otomatis penerimaan sektor pajak akan menurun. Kenapa pemerintah tidak mengurangi utang saja atau stop saja pembayaran bunga obligasi rekap yang selama ini membebani anggaran negara," kata Enny.
Aparat Malas
Sementara itu, peneliti ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Zamroni Salim, menilai rencana pemerintah mencari utang tambahan baru sebanyak 213 triliun rupiah sepanjang tahun ini membuktikan para aparat malas mengoptimalkan pendapatan negara dari dalam negeri yang potensinya sangat besar. Kondisi ini juga membuktikan pengelola anggaran gagal mengeluarkan Indonesia dari jebakan utang yang telah bertahun-tahun menjerat keuangan negara.
"BUMN seperti pertambangan jangan hanya menjual barang mentah atau mineral mentah, tetapi diproses terlebih dahulu di dalam negeri. Ini salah satu cara meningkatkan potensi penerimaan negara yang bersumber dari dalam negeri," jelas Zamroni.
Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar, sebelumnya, menyatakan bertambahnya anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) berikut kompensasi kebijakan kenaikan harga BBM sekitar 51,5 triliun rupiah membuat pemerintah menambah rencana penarikan utang baru dari 161,5 triliun rupiah menjadi 213 triliun rupiah sepanjang tahun ini. Dengan penambahan itu, utang Indonesia pada 2013 menembus 2.188 triliun rupiah. YK/lex/fi a/WP
Akan tetapi, hak tagih dari sisasisa utang itu hingga kini tidak pernah dilaksanakan sehingga utang tersebut menjadi beban negara di APBN atau sama saja menjadi tanggungan pajak kepada rakyat yang tidak bersalah. Padahal, pelaksanaan hak tagih itu bisa menjadi sumber penerimaan negara sehingga bisa meringankan beban APBN yang telah menderita defi sit keseimbangan primer sehingga penerimaan negara tidak mampu menutup pengeluaran rutin di luar kewajiban utang.
Pengamat perbankan, Achmad Iskandar, mengemukakan hal itu di Jakarta, Kamis (16/5). Iskandar menjelaskan hasil audit BPK pada 1999-2006 dan MSAA (Master of Settlement And Acquisition Agreement) serta MRNIA (Master of Refi nancing And Note Issuance Agreement) menyatakan utang BLBI adalah utang pribadi atau perorangan pemilik bank rekap. Pasalnya, dana BLBI yang diterima telah diambil oleh pribadi pemilik bank sehingga, sesuai UU Perbankan, merupakan tindak pidana pelanggaran batas maksimal pemberian kredit (BMPK).
"Utang BLBI adalah utang pribadi atau perorangan bukan utang perseroan terbatas atau perusahaan, maka pertanggungjawaban hukumnya adalah perorangan," tegas dia. Iskandar menambahkan penyebab utama membengkaknya utang Indonesia hingga menembus 2.188 triliun rupiah, saat ini, adalah utang BLBI atau utang orang-orang kaya raya. "Sungguh menyedihkan, negara jelas-jelas memiliki hak tagih di tangan Menkeu, tapi tidak dimanfaatkan. Padahal, akibat pengabaian itu menimbulkan dampak berantai yang merugikan negara, menyusahkan rakyat kecil, dan menyandera bangsa dengan utang segelintir obligor pengemplang BLBI," ungkap dia.
Sebelumnya, ekonom Indef, Sri Hartati, mengemukakan bertambahnya anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) berikut kompensasi kebijakan kenaikan harga BBM sekitar 51,5 triliun rupiah membuat pemerintah menambah rencana penarikan utang baru dari 161,5 triliun rupiah menjadi 213 triliun rupiah, tahun ini. Akibatnya, utang pemerintah kian membengkak dan menembus 2.188 triliun rupiah pada 2013.
Strategi pemerintah memenuhi kebutuhan subsidi dengan menambah utang baru dinilai tidak akan menciptakan nilai tambah. Bahkan, kapasitas APBN untuk menyejahterakan rakyat akan semakin terbatas karena tergerus kewajiban pembayaran utang yang kian bertambah. Ini berarti fungsi stimulus fi skal yang diperankan APBN tidak berjalan optimal. "Ketika kita terus bergantung ke utang artinya stimulus fi skal jadi rendah makanya sektor riil tidak berkembang. Secara otomatis penerimaan sektor pajak akan menurun. Kenapa pemerintah tidak mengurangi utang saja atau stop saja pembayaran bunga obligasi rekap yang selama ini membebani anggaran negara," kata Enny.
Aparat Malas
Sementara itu, peneliti ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Zamroni Salim, menilai rencana pemerintah mencari utang tambahan baru sebanyak 213 triliun rupiah sepanjang tahun ini membuktikan para aparat malas mengoptimalkan pendapatan negara dari dalam negeri yang potensinya sangat besar. Kondisi ini juga membuktikan pengelola anggaran gagal mengeluarkan Indonesia dari jebakan utang yang telah bertahun-tahun menjerat keuangan negara.
"BUMN seperti pertambangan jangan hanya menjual barang mentah atau mineral mentah, tetapi diproses terlebih dahulu di dalam negeri. Ini salah satu cara meningkatkan potensi penerimaan negara yang bersumber dari dalam negeri," jelas Zamroni.
Wakil Menteri Keuangan, Mahendra Siregar, sebelumnya, menyatakan bertambahnya anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) berikut kompensasi kebijakan kenaikan harga BBM sekitar 51,5 triliun rupiah membuat pemerintah menambah rencana penarikan utang baru dari 161,5 triliun rupiah menjadi 213 triliun rupiah sepanjang tahun ini. Dengan penambahan itu, utang Indonesia pada 2013 menembus 2.188 triliun rupiah. YK/lex/fi a/WP
No comments:
Post a Comment