AJI prihatin dengan Forum Pemred
JAKARTA.
Pertemuan Forum Pemred di Bali mengundang keprihatinan Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Indonesia. Dalam siaran persnya yang ditandatangani Ketua AJI
Indonesia Eko Maryadi, AJI menyatakan prihatin terhadap pertemuan Forum Pemred
yang digelar 13-14 Juni 2013 di Nusa Dua. Bali. Memasuki tahun politik atau
setahun menjelang Pemilu 2014, pertemuan ratusan pemred media se-Indonesia bisa
menimbulkan spekulasi politik yang tidak perlu.
AJI secara organisasi
menerima keluhan dari berbagai kalangan terkait sepak terjang Forum Pemred.
Para pemimpin redaksi media yang berusaha menjaga independensi news-room
mengeluhkan adanya upaya menggunakan Forum Pemred untuk memperjuangkan
kepentingan politik tertentu. Forum ini dihadiri bukan saja oleh pemimpin
redaksi media, namun juga pimpinan perusahaan, pejabat negara, dan pemilik
media yang berkecimpung dalam politik.
AJI mengingatkan, Forum
Pemred berpotensi keluar dari jalur profesionalisme dan etika jurnalistik yang
seharusnya dibangun dalam era pers bebas dan demokrasi saat ini. Di tengah
berbagai masalah, seperti masih banyak wartawan digaji di bawah standar
(termasuk kontributor dan freelancer), tiadanya jaminan asuransi dan
perlindungan profesi, ancaman kekerasan yang menghantui pekerja pers, serta
rendahnya kualitas dan etika wartawan, AJI mempertanyakan relevansi pertemuan
Forum Pemred dengan fasilitas mewah di Bali.
Menurut Tribunnews dan
Kontan Online, Kamis 13 Juni 2013, peserta Forum Pemred mendapatkan tiket
pesawat pulang-pergi dari tempat asal, hotel bintang selama tiga hari, dan
makan gratis. Saat registrasi di Bali Nusa Dua Convention Hall, peserta
mendapatkan bingkisan selain ID card sebagai peserta forum. Bingkisan itu
berisi antara lain satu kilogram gula pasir, sebotol minyak angin, makanan
ringan kacang goreng, dan satu bungkus kondom. Patut dipertanyakan, bagaimana
dan dari mana Forum Pemred memperoleh fasilitas seperti itu.
Hadir dalam pertemuan
Forum Pemred di Bali sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu, seperti Menko
Ekonomi Hatta Rajasa, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri BUMN
Dahlan Iskan, Gubernur Bank Indonesia Agus Marwotowardojo, Dirut Pertamina
Karen Agustiawan, dan sejumlah pengusaha nasional. Presiden SBY dijadwalkan
menutup pertemuan pada Jumat, 14 Juni 2013.
Karena itu, AJI
mengingatkan agar Forum Pemred tidak melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
pasal 6 : Yakni “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak
menerima suap”. Dalam hal penafsiran, "suap” adalah segala pemberian dalam
bentuk uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi
independensi.
AJI juga mengingatkan agar
pembentukan Forum Pemred sesuai dengan Peraturan Dewan Pers tentang Organisasi
Wartawan diantaranya, poin 8 : Organisasi wartawan memiliki program kerja di
bidang peningkatan profesionalisme pers. Juga poin 9 : Organisasi wartawan
memiliki kode etik, yang tidak bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik yang
ditetapkan Dewan Pers.
Kedua, AJI menyerukan
anggotanya agar tidak mengikuti keputusan apapun dari forum tersebut, terutama
jika bertentangan dengan prinsip independensi, profesionalisme, dan etika
jurnalistik. AJI mendukung hak setiap orang untuk berorganisasi dan
menyampaikan pendapat. Namun AJI menentang upaya pengorganisasian wartawan yang
menjadikan pers sebagai corong kepentingan politik tertentu, perpanjangan
tangan pemilik modal, yang menyerobot independensi ruang redaksi.
Kepada Pemimpin Redaksi
yang hadir di Bali, hendaknya membahas secara serius masalah kesejahteraan
wartawan, independensi redaksi di depan penguasa dan pengusaha, dan bagaimana
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menjadi marwah pers Indonesia, serta upaya serius
menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap jurnalis di seluruh Indonesia.
Forum Pemred ingin kawal Indonesia jadi lebih baik
NUSA DUA. Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) bertekad mengawal agenda
mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan perkasa bagi kesejahteraan rakyat.
Demikian benang merah yang disampaikan oleh Ketua Forum Pemred Wahyu Muryadi
dan Ketua Panitia Pelaksana Pertemuan Puncak Pemred Se-Indonesia Muhamad Ihsan
dalam pembukaan acara dua hari itu di Nusa Dua Convention Center, Bali, Rabu (13/6/2013).
Menurut Ihsan, ada tiga alasan yang melatarbelakangi digelarnya
Pertemuan Puncak yang dihadiri sekitar 300 pemred media cetak dan elektronik,
terasuk situs berita online, itu. Pertama, perekonomian
Indonesia sedang bagus-bagusnya di tengah krisis ekonomi yang melanda dunia
sejak 2008 yang bermula dari Amerika Serikat kemudian menjalar ke Eropa dan
beberapa negara lain.
“Momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dalam beberapa tahun
terakhir selalu di atas 6% harus dijaga. Saat ini pendapatan per kapita kita
sekitar US$4.000, jumlah kelas menengah terus meningkat, dan 70% angkatan kerja
kita ada di usia produktif, serta rasio utang terhadap produk domestik bruto
(PDB) kita termasuk di level aman,” kata Ihsan yang juga Pemimpin Redaksi
Majalah warta Ekonomi.
Dia menambahkan, momentum positif itu bisa terjaga antara lain
dengan mengatasi berbagai persoalan yang menghambat. “Adanya masalah yang
mendesak di sisi infrastruktur dan kesenjangan pendapatan harus segera diatasi
agar momentum kebangkitan -- yang mungkin tidak akan terjadi lagi dalam 50
tahun ke depan – dapat dipelihara.”
Kedua, kebebasan pers harus
dijaga dengan kedewasaan kita. Saat ini kebebasan pers Indonesia boleh dibilang
paling liberal di kawasan Asia. Sayangnya, kebebasan ini belum dibarengi oleh
rasa tanggung jawab dari mayoritas pelakunya. Konten berita media massa
Indonesia demikian bebas, sehingga nyaris tanpa rasa sopan santun – termasuk
kepada pranata-pranata negara yang seharus diberlakukan dengan rasa hormat.
Bahkan, di media sosial, kondisinya lebih parah lagi. Suksesnya penetrasi
internet – 63 juta pengguna pada 2012 dan kemungkinan 85 juta pada 2013 – belum
dibarengi kedewasaan para pemakainya. Mengutip dari penelitian Kementerian
Kominfo, untuk urusan memaki-maki orang Indonesia berada pada urutan nomor satu
di dunia.
Ketiga, adanya semangat
partisan para tokoh yang sedang mengejar ambisi politik. Tanpa harus menyebut
nama, kita bisa dengan mudah melihat para politikus dengan bebas menyerang
lawan politiknya dengan mengesampingkan akal sehat publik. Sayangnya, tingkat
pendidikan masyarakat kita yang belum memadai, membuat kebohongan-kebohongan
ini belum terdeteksi oleh kebanyakan masyarakat.
“Sungguh menyedihkan melihat pernyataan-pernyataan yang tidak
masuk akal menghiasi media massa kita. Sebagian masyarakat – yang punya
kepentingan tertentu – justru memperkuat kebohongan ini. Sungguh ironis hal ini
justru terjadi di era globalization 3.0 (meminjam istilah Thomas Friedman) di
mana di dunia yang lebih beradab justru individu mampu menjadi driver pengawal
peradaban, bukan korban peradaban. Sedihnya, cukup banyak media massa yang
berperan dalam situasi ini.”
Atas dasar kondisi ini diperlukan penyamaan visi dari para
pemimpin dan pemilik media, karena – seperti yang dikatakan berbagai penelitian
– media massa masih menjadi pranata publik yang paling dipercaya dibandingkan
dengan pranata publik lainnya. Pertemuan Puncak ini diselenggarakan untuk
menyamakan visi para pemimpin redaksi dan pemilik media untuk mengawal momentum
emas menuju Indonesia perkasa yang lebih baik bagi kemakmuan dan kesejahteraan
rakyat.
“Tim perumus juga sudah membuat draf Komitmen Bali. Ini adalah
semacam deklarasi dan komitmen dari kami semua untuk membuat semacam himbauan
agar berbagai elemen bangsa bersatu padu membangun Indonesia yang lebih baik,”
kata Ihsan.
Sementara itu, Wahyu Muryadi memaparkan lima sektor kunci yang
dibicarakan dalam Pertemuan Puncak Pemred 2013 guna mewujudkan cita-cita
Indonesia yang lebih baik. Kelima sektor itu ialah infrastruktur, ketahanan
pangan, kedaulatan energi, keuangan, dan teknologi, informasi, komunikasi
(TIK).
No comments:
Post a Comment