JAKARTA
– Kasus skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menyisakan
ketidakadilan yang berkepanjangan bagi rakyat Indonesia.
Melalui skema penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI pada 1998, pemerintah lewat APBN "memaksakan" pajak rakyat miskin yang tidak bersalah digunakan untuk membayar utang ratusan triliun rupiah orang kaya pengemplang BLBI.
Setiap tahun rakyat membayar subsidi bunga obligasi rekap 80 triliun rupiah hingga jatuh tempo dan menebus pokok obligasi itu pada 2033 yang kemudian diperpnjang lagi menjadi 2043.
Utang BLBI itu juga dinilai sebagai biang membengkaknya utang negara hingga empat kali lipat sejak 1998 menjadi 2.000 triliun rupiah. Selama ini, pemerintah dan DPR mengabaikan desakan rakyat agar membuat kebijakan untuk membebaskan APBN dari kewajiban obligasi rekap warisan BLBI.
Publik menilai haram hukumnya pajak rakyat digunakan terus-menerus untuk menyubsidi bankir pengemplang BLBI yang kini makin kaya raya. Pengamat perbankan, Achmad Iskandar, mengemukakan hal itu di Jakarta, Senin (15/4).
Melalui skema penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI pada 1998, pemerintah lewat APBN "memaksakan" pajak rakyat miskin yang tidak bersalah digunakan untuk membayar utang ratusan triliun rupiah orang kaya pengemplang BLBI.
Setiap tahun rakyat membayar subsidi bunga obligasi rekap 80 triliun rupiah hingga jatuh tempo dan menebus pokok obligasi itu pada 2033 yang kemudian diperpnjang lagi menjadi 2043.
Utang BLBI itu juga dinilai sebagai biang membengkaknya utang negara hingga empat kali lipat sejak 1998 menjadi 2.000 triliun rupiah. Selama ini, pemerintah dan DPR mengabaikan desakan rakyat agar membuat kebijakan untuk membebaskan APBN dari kewajiban obligasi rekap warisan BLBI.
Publik menilai haram hukumnya pajak rakyat digunakan terus-menerus untuk menyubsidi bankir pengemplang BLBI yang kini makin kaya raya. Pengamat perbankan, Achmad Iskandar, mengemukakan hal itu di Jakarta, Senin (15/4).
"Saya kira perlu diubah mindset
birokrasi kita yang tidak prorakyat itu. Ini kebijakan salah yang harus dikoreksi,"
tegas Iskandar. Menurut dia, belum
terlambat bagi pemerintah mengoreksi total kebijakan obligasi rekap karena
kebijakan pemerintah itu merugikan masyarakat Indonesia.
"Memang, mesti ada gerakan yang sifatnya masif," ujar Iskandar. Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Suroso Imam Zadjuli, menambahkan kebijakan pemerintah selama ini yang dipandang lunak bagi para obligor BLBI menyebabkan stagnasi pengembangan sektor riil akibat minimnya peran perbankan nasional.
"Rendahnya intermediasi perbankan dalam penyaluran dana ke sektor riil, seperti ke sektor UMKM, akibat mayoritas perbankan swasta telah dikuasai pemodal asing yang sebenarnya bekerja sama dengan para pengemplang dan buron BLBI. Perbankan swasta kita yang sudah go public, sahamnya banyak dikuasai para orang-orang dekat para obligor (BLBI)," jelas dia.
Iskandar menilai sudah waktunya bagi pemerintah untuk mengubah paradigma pembangunan ekonomi. Kebijakan yang selama ini memanjakan pengemplang BLBI harus diubah. Pemerintah semestinya lebih memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia.
"Sangat tidak adil jika uang pajak rakyat ini dipakai menyubsidi orang-orang kaya pengemplang BLBI," tegas dia. Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Hidayatullah Muttaqin, mengemukakan Indonesia kini terperangkap dalam kebijakan ekonomi yang salah sehingga tidak mampu tampil sebagai bangsa yang mandiri.
Kebijakan yang salah itu menyebabkan pemerintah terjepit dalam upaya menahan laju inflasi dan membendung aliran impor, khususnya komoditas pangan. Sebelum semuanya terlambat, perombakan kabinet harus secara total dilakukan karena selama ini pejabat tidak mau mengakui kesalahan.
Jika tidak diganti dengan pejabat yang reformis, tidak mau berubah. Contoh paling nyata adalah kasus BLBI yang tidak terselesaikan oleh empat presiden.
Ubah Paradigma
Iskandar yakin jika Presiden mengambil langkah tegas menghentikan subsidi obligasi rekap, beban APBN tidak terlalu berat.
"Jadi, kebijakan jangan parsial karena tidak akan menyelesaikan masalah. Perlu ada gerakan revolusioner mengubah paradigma pembantu presiden ini," jelas dia.
Beban utang, termasuk utang BLBI, menyebabkan anggaran negara selalu defisit dan terus ditutup oleh utang. Akibatnya, utang membengkak karena tanggungan bunga-berbunga. Kondisi itu menyebabkan APBN yang semestinya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat gagal menjalankan fungsinya. SB/lex/WP
"Memang, mesti ada gerakan yang sifatnya masif," ujar Iskandar. Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga, Suroso Imam Zadjuli, menambahkan kebijakan pemerintah selama ini yang dipandang lunak bagi para obligor BLBI menyebabkan stagnasi pengembangan sektor riil akibat minimnya peran perbankan nasional.
"Rendahnya intermediasi perbankan dalam penyaluran dana ke sektor riil, seperti ke sektor UMKM, akibat mayoritas perbankan swasta telah dikuasai pemodal asing yang sebenarnya bekerja sama dengan para pengemplang dan buron BLBI. Perbankan swasta kita yang sudah go public, sahamnya banyak dikuasai para orang-orang dekat para obligor (BLBI)," jelas dia.
Iskandar menilai sudah waktunya bagi pemerintah untuk mengubah paradigma pembangunan ekonomi. Kebijakan yang selama ini memanjakan pengemplang BLBI harus diubah. Pemerintah semestinya lebih memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia.
"Sangat tidak adil jika uang pajak rakyat ini dipakai menyubsidi orang-orang kaya pengemplang BLBI," tegas dia. Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Hidayatullah Muttaqin, mengemukakan Indonesia kini terperangkap dalam kebijakan ekonomi yang salah sehingga tidak mampu tampil sebagai bangsa yang mandiri.
Kebijakan yang salah itu menyebabkan pemerintah terjepit dalam upaya menahan laju inflasi dan membendung aliran impor, khususnya komoditas pangan. Sebelum semuanya terlambat, perombakan kabinet harus secara total dilakukan karena selama ini pejabat tidak mau mengakui kesalahan.
Jika tidak diganti dengan pejabat yang reformis, tidak mau berubah. Contoh paling nyata adalah kasus BLBI yang tidak terselesaikan oleh empat presiden.
Ubah Paradigma
Iskandar yakin jika Presiden mengambil langkah tegas menghentikan subsidi obligasi rekap, beban APBN tidak terlalu berat.
"Jadi, kebijakan jangan parsial karena tidak akan menyelesaikan masalah. Perlu ada gerakan revolusioner mengubah paradigma pembantu presiden ini," jelas dia.
Beban utang, termasuk utang BLBI, menyebabkan anggaran negara selalu defisit dan terus ditutup oleh utang. Akibatnya, utang membengkak karena tanggungan bunga-berbunga. Kondisi itu menyebabkan APBN yang semestinya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat gagal menjalankan fungsinya. SB/lex/WP
No comments:
Post a Comment