Selain itu, Tap MPR No X/2001 mengamanatkan agar pengelolaan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan nilai aset. Selanjutnya, mempercepat penjualan aset di BPPN dengan tingkat pengembalian harga yang wajar dengan prosedur yang transparan dan akuntabel.
"Pernyataan seorang mantan pejabat seusai dimintai keterangan KPK yang menyebutkan aset obligor BLBI mesti dijual cepat-cepat dengan alasan ketetapan MPR merupakan upaya pemutarbalikan fakta," tegas Kepala Divisi Monitoring Kinerja Aparat Penegak Hukum KP2KKN (Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi Nepotisme), Eko Haryanto, saat dihubungi Rabu (12/6).
Bahkan, lanjut Eko, Tap MPR No VI/2002 justru mengamanatkan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah terobosan fiskal guna memperbaiki nilai aset serta tingkat pengembalian aset (asset recovery rate) yang dikuasai BPPN.
Dia memaparkan ketetapan MPR itu berarti menugaskan pemerintah untuk meningkatkan nilai aset dan tingkat pengembalian. "Dengan kata lain, tidak boleh dijual cepat-cepat selama nilai asetnya belum sesuai dengan harga pasar yang wajar," imbuh Eko.
Dia menambahkan berdasarkan informasi, presiden saat itu malah menginstruksikan untuk melakukan langkah terobosan guna meningkatkan nilai aset. Jadi, justru diminta untuk menaikkan harga aset.
Seperti dikabarkan, KPK, Selasa (11/6) memanggil mantan Menneg BUMN, Laksamana Sukardi, terkait dugaan tindak pidana korupsi pada proses penerbitan SKL untuk debitor BLBI. Sebelumnya, KPK juga telah meminta keterangan Kwik Kian Gie (menko perekonomian periode 1999–2000), Rizal Ramli (menko perekonomian periode 2000–2001), Bambang Subianto (menteri keuangan periode 1998–1999), Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (menko perekonomian periode 2001–2004), serta beberapa mantan pejabat BPPN seperti Achiran Pandu Djajanto dan I Putu Gede Ary Suta.
Belum Lunas
Pakar hukum pencucian uang Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, menilai penyelidikan KPK atas dugaan tindak pidana korupsi pada proses penerbitan SKL kepada debitor BLBI sangat tepat. Pasalnya, SKL kepada sejumlah obligor pengemplang BLBI harus ditinjau ulang karena sebenarnya kewajiban utang mereka belum sepenuhnya lunas.
"Harus dilihat dan diseleksi siapa saja obligor yang pantas menerima SKL. Ada fakta yang menyebutkan bahwa proses itu tidak melalui seleksi. Kewajiban utang mereka belum sepenuhnya lunas, tapi dibuat seakan-akan utang mereka sudah lunas," kata Yenti, Rabu.
Yenti menilai proses penerbitan SKL tersebut ada penyimpangan yang berujung pada tindak pidana korupsi. Kemungkinan pelanggaran yang bisa terjadi antara lain ada penyuapan dari obligor pengemplang BLBI terhadap sejumlah pejabat tinggi yang memiliki kewenangan menerbitkan SKL.
"Ini yang mesti ditelusuri lebih lanjut oleh KPK. Mereka (obligor) itu menjanjikan apa untuk membuat para pejabat tinggi saat itu memuluskan penerbitan SKL. Jika ditemukan bukti ke arah sana, siapa pun pejabat yang terlibat harus ditindak," tegas dia.
Untuk itu, Yenti mendesak KPK agar secepatnya memeriksa sejumlah obligor pengemplang BLBI yang belum melunasi semua utangnya. "Semua harus dipanggil untuk dimintai keterangan soal ini agar kasus BLBI dapat dibongkar semuanya. Ini megaskandal luar biasa, 600 triliun kerugiannya," tukas Yenti.
Dia berharap KPK memiliki kemauan yang kuat untuk menuntaskan kasus BLBI. Menurut dia, saat ini sudah cukup banyak bukti yang didapatkan, baik dari data maupun keterangan yang diberikan oleh para pejabat yang telah dipanggil seperti Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli. "Sekarang kembali pada kemauan KPK, saya kira bukti-bukti sudah menumpuk," tandas dia. eko/idr/WP
No comments:
Post a Comment