JAKARTA,
RIMANEWS - Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal Ramli
berharap Komisi Pemberantasan korupsi sungguh-sungguh menuntaskan kasus
penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) beberapa obligor Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI). Dia mengatakan, hingga kini negara masih membayarkan
bunga obligasi BLBI itu sekitar Rp 60 triliun per tahun.
“Perlu
diketahui bahwa negara itu masih membayar bunga subsidi BLBI sekitar Rp 60
triliun per tahun. Itu masih 20 tahun mendatang. Kita kan masih ramaian subsidi
BBM (bahan bakar minyak) buat rakyat dan segalam macam, kok subsidi terhadap
bunga BLBI masih berlanjut?,” kata Rizal di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta,
Jumat (12/4/2013) saat memenuhi panggilan KPK.
Rizal
dipanggil KPK untuk diimintai keterangan terkait penyelidikan atas penerbitan
SKL BLBI tersebut. Lebih jauh Rizal mendesak KPK mengungkapkan kasus ini
seterang-terangnya. KPK, kata dia, harus dapat mengembalikan kerugian negara
akibat pemberian bantuan pinjaman BI kepada bank-bank yang mengalami masalah
likuiditas tersebut.
“Saya
kira perlu diluruskan supaya adil lah. Jangan bangkir-bangkir kaya yang terus
disubsidi, sementara rakyat dipaksa untuk menerima kenaikan BBM,” tambah Rizal.
Ketika ditanya siapa yang bertanggung jawab atas kerugian negara ini, Rizal
mengatakan, “Kita akan lihat nanti.”
Untuk
diketahui, bantuan BLBI merupakan skema bantuan (pinjaman) yang diberikan BI
kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis
moneter 1998. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF
dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI menyalurkan BLBI
sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Dari Rp
147,7 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4
triliun dinyatakan merugikan negara. Penggunaan dana-dana tersebut kurang
jelas. Selain itu, terdapat penyimpangan dalam penyaluran maupun penggunaan
dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara langsung maupun tidak
langsung, melalui grup bank tersebut.
Berdasarkan
catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam lima tahun terakhir,
upaya menyeret para koruptor dana BLBI selalu terbentur kendala penegakan
hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para konglomerat
hitam. Untuk penanganan perkara korupsi BLBI, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan
kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.
Penyimpangan
BLBI
Kejaksaan
Agung saat dipimpin MA Rachman menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian
penyidikan) terhadap 10 tersangka kasus BLBI pada 2004. SP3 diterbitkan atas
dasar SKL yang dikeluarkan BPPN berdasar Inpres No 8/2002. SKL tersebut berisi
tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah
menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak
menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham,
dikenal dengan inpres tentang release
and discharge.
Berdasar
inpres tersebut, debitor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun hanya
30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70
persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti itu,
mereka yang diperiksa dalam penyidikan akan mendapatkan surat perintah
penghentian perkara (SP3).
Tercatat
beberapa nama konglomerat papan atas, seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King,
dan Bob Hasan, yang telah mendapatkan SKL dan sekaligus release and discharge
dari pemerintah. Padahal, Inpres No 8/2002 yang menjadi dasar kejaksaan
mengeluarkan SP3 itu bertentangan dengan sejumlah aturan hukum, seperti UU No
31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. [kps]
No comments:
Post a Comment