Sunday, April 7, 2013

KPK Harus bergerak cepat Bongkar Korupsi BLBI

JAKARTA – Publik mengharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak cepat membongkar dugaan tindak pidana korupsi pada skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Pasalnya, selain menjadi sumber ketidakadilan hukum, warisan utang BLBI telah merampas pajak rakyat dan menjadi beban APBN yang berkepanjangan. 

Apalagi, Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diterbitkan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tidak menghapus tindak pidana maupun hak tagih para pengemplang BLBI

Pengamat hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), Yesmil Anwar, menyatakan KPK harus memprioritaskan penuntasan kasus penyelewengan dana BLBI sebab syarat dua alat bukti yang cukup untuk menaikkan status sebuah kasus di KPK telah terpenuhi, yakni kekurangan bayar utang BLBI oleh para obligor pengemplang dan penyalahgunaan pe nerbitan SKL untuk obligor penilap BLBI. 

"Dua hal itu bisa dijadikan alat bukti untuk segera menaikkan status ke penyidikan dan menetapkan tersangkatersangkanya. KPK harus bergerak cepat berdasarkan dua alat bukti tersebut," kata Yesmil ketika dihubungi, Jumat (5/4). 

Yesmil melanjutkan KPK jangan membuat rakyat menunggu lebih lama lagi menunggu penuntasan kasus BLBI. Uang negara 650 triliun rupiah telah dirampok oleh para obligor yang tidak bertanggung jawab memenuhi kewajiban utang. "Jangan ulur-ulur lagi penuntasannya, jadikan prioritas. Ini sudah menjadi api dalam sekam. Penerbitan SKL itu juga telah mengiri-iris hati rakyat karena jelas-jelas utang obligor pengemplang itu belum lunas sepenuhnya," ungkap Yesmil. 

Hal senada diungkapkan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Danang Widoyoko. Dia berpendapat KPK bisa menjadikan SKL sebagai alat bukti untuk mengusut korupsi karena proses penerbitannya yang dianggap sarat rekayasa untuk melindungi obligor pengemplang uang negara. Menurut dia, SKL hanya sebuah keputusan politik yang tidak memiliki dasar hukum. Oleh karena itu, jika menggunakan UU Antikorupsi maka SKL menjadi tidak relevan. Pasalnya, yang dihitung menurut UU Antikorupsi itu besarnya kerugian negara. "Dengan adanya kerugian negara maka otomatis SKL gugur," jelas Danang. 

Terkait kerugian negara, pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, sebelumnya, juga mengungkapkan penjualan bank rekap ke investor baru ternyata merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah sebab harga penjualan bank jauh di bawah dana yang dikucurkan pemerintah dalam skema BLBI. "Kerugian negara ini bisa memenuhi unsur korupsi sehingga dapat menjadi alat bukti yang kuat bagi KPK untuk mengusut kembali kasus BLBI," jelas dia (Koran Jakarta, 5/4). 

Panggil Saksi 

Sementara itu, Pusat Studi Antikorupsi (Pukat) UGM meng apresiasi langkah KPK meminta keterangan mantan Menko Perekonomian, Kwik Kian Gie, terkait pengusutan dugaan korupsi BLBI. Peneliti Pukat, Hifdzil Alim, mengatakan KPK bisa segera memanggil saksi lain untuk segera memproses pelanggaran hukum terkait BLBI. 

Yang paling jelas, terutama, adalah dari aspek penerbitan SKL oleh Kepala BPPN, Syaruddin Tumenggung, yang tanpa persetujuan presiden dan DPR. Hal itu berarti melanggar UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 37 jo Pasal 36. 

"UU No 1/2004 itu ketentuan hukum yang kuat sebagai bekal KPK untuk segera menghentikan kerugian lebih lanjut dari skandal BLBI. Kita dukung KPK untuk berani bertindak cepat. Saya kira KPK tidak akan takut kalau bukti-buktinya sudah ditemukan," ujar Hifdzil. YK/lex/idr/eko/WP

koran-jakarta.com

No comments:

Post a Comment